Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 173 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelegar Halilintar Tengah Hari

8 Januari 2025   14:41 Diperbarui: 8 Januari 2025   23:05 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gelegar Halilintar Tengah Hari

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Sore itu aku sudah berdandan dengan baik berusaha agar terlihat lebih cantik. Mengenakan gaun yang lumayan bagus karena kupikir pasti akan menjadi moment spesial.

"Sedang otw," tulis  Rony di gawai membuat jantungku makin dag dig dug.

"Semoga kali ini menjadi acara paling manis dalam hidupku," harap-harap cemasku.

Betapa tidak? Ini adalah kali kedua ketika seseorang berjanji hendak menemui kedua orang tuaku, untuk memastikan hubungan kami. Kalau tiga tahun silam seseorang yang datang justru membatalkan niatnya, kali ini aku ingin sebaliknya. Rony kuharap memenuhi janjinya untuk memintaku menjadi istrinya. Itu saja.

***

"Dengan terlebih dahulu memohon maaf, khususnya kepada Mbak Rahma, kali ini Rony ingin jujur ...."

"Mbak? Kenapa dia memanggilku dengan sebutan Mbak?" batinku sedikit memberontak. "Apalagi, dia tidak ingin duduk bersebelahan denganku. Aneh!" Namun, aku hanya pasrah dan mengurungkan niat untuk memotong kalimatnya.

"Beberapa saat lalu, saya dan Dik Rahmi secara tidak sengaja bertemu di sebuah acara semacam young camp. Karena sudah saling kenal,  kami menjadi satu kelompok. Berawal dari situlah, kami saling menyukai dan merasa cocok satu sama lain. Mohon maaf, saat ini Dik Rahmi sudah berbadan dua. Jadi, kedatangan saya ini hendak bertanggung jawab atas perbuatan kami ...."

"Apa?" aku tidak bisa menoleransi lagi.

Berita  barusan bagai halilintar membahana. Petir yang menyambar dengan cepat dan sangat tiba-tiba. Mataku membelalak lebar. Amarahku pun tersulut.

"Apa benar demikian, Rahmi?" tanyaku kesal sambil berdiri menatap Rahmi yang duduk di samping ibu.

"Sabar, Rahma ...," ayah berusaha mendamaikan suasana. "Tenangkan dirimu!"

Adapun ibu langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan, "Oh, ... ya, Allah!"

Rahmi hanya menunduk sambil mempermainkan ujung blus berenda yang dikenakan. Ia tidak berani menatap siapa pun. Wajahnya pias.

"Jadi? Selama ini kamu malas-malasan itu ...?" ibu tergagap tanggap.

"Iya, Ibu. Maafkan Dik Rahmi, Bu. Adik  sering mengeluh pusing. Mungkin bawaan baby. Tapi ... kami sudah memeriksakan kandungan Dik Rahmi. Adik positif hamil, dengan usia kandungan empat minggu," lanjut Rony dengan tegas dan jelas memotong ucapan ibu yang belum selesai.

"Maka, izinkan saya untuk bertanggung jawab dan mohon berkenan membantu merawat fisik dan psikis, terutama kandungan Dik Rahmi dengan sebaik-baiknya, Mbak!" lanjut Rony sambil menatap tajam padaku.  

***

Aku tahu, Rahmi lebih baik dalam segala hal bila dibandingkan dengan diriku ini. Ia bukan hanya lebih muda tujuh setengah tahun daripadaku, melainkan juga lebih segala-galanya. Wajahnya sangat cantik. Kulitnya putih bersih, mulus tanpa noda sedikit pun.  
Tubuhnya sangat proporsional. Tinggi 160 cm dan berat badan ideal. Apalagi ditambah dengan rambut terurai sepinggang, menambah penampilannya terkesan elegan. Sifatnya pun sangat manis. Ia gadis yang periang dan peramah. Siapa yang berdekatan dengannya dapat dipastikan akan merasa nyaman dan senang.

Sangat berbeda denganku. Aku terlahir dengan kulit hitam manis, dan raga mungil. Konon warna kulit ini menurun dari ayah. Jika ibuku berwajah ayu, dan berkulit putih, ayahku kebalikannya. Kulitnya lebih kelam. Justru akulah yang memiliki warisan warna kulit dari ayah, tetapi tubuh mungil dari ibu. Dari sini saja sudah membuatku iri setengah mati. Karena kondisi tubuh ini tidak memungkinkan aku bisa memilih cita-cita menjadi pramugari. Bahkan, berprofesi menjadi guru pun kondisi tinggi badan sangat pas-pasan, 150 cm saja! Sungguh sangat mengenaskan, bukan?

Namaku Rahma, lengkapnya Rahmawati Putri. Sulung dari sepasang suami istri yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Ayahku mengajar di sekolah swasta berbasis agama, sementara ibuku di sekolah negeri. Mereka sama-sama sebagai pegawai negeri sipil. Ayahku berstatus PNS diperbantukan -- disebut dpk. -- sehingga tempat dinasnya berada di sekolah swasta.

Sebenarnya, aku mempunyai dua orang adik. Namun, adik lelaki yang lahir tepat tiga tahun setelah aku, meninggal saat masih berusia beberapa hari. Katanya ada kelainan dengan rongga mulut sehingga tidak bisa menyusu dengan baik. Setelah itu orang tuaku memiliki seorang momongan lagi, dinamai Rahmi Rahayu, adik bungsuku si jelita itu.

Ia lahir ketika aku berusia hampir delapan tahun. Saat aku masih duduk di kelas 3 sekolah dasar. Tentu saja saat itu aku merasa sangat senang karena kupikir  bakal mempunyai teman bermain dan bercanda.  Dengan bangga aku sambut adik bayi cantik itu sambil mengucap syukur berkali-kali. Jelas, kalau aku sangat menyayanginya.

Ketika masih kanak-kanak, Rahmi gemar sekali meminta barang-barang pribadi yang kusukai. Misalnya saja jepit rambut lucu, bando, tas, atau beberapa mainanku. Bagaimanapun, aku harus bisa berbagi dengannya karena kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Jadi, mau tak mau aku harus merelakan barang-barang itu menjadi miliknya. Tujuannya, agar dia tidak menangis bahkan hingga tantrum segala. Apalagi karena ibu pun mendidik agar kami senantiasa rukun dan mengutamakan kebersamaan dalam segala hal. Tampak sekali, bukan ... kalau keluarga ini sangat menyayangi, bahkan cenderung memanjakan si bungsu itu?

Lalu ... salahkah kalau aku  merasa iri kepadanya? Wajar, kan? Namun, perasaan tersebut kupendam dalam-dalam di dalam sanubariku, tidak aku beri ruang sama sekali sehingga tampak baik-baik saja. Fakta yang ada, rupanya seperti isi magma di perut bumi yang mendorong-dorong, menunggu saat tepat saja untuk meletup. Bahkan bisa jadi hingga meletus sepuasnya!

***

"Oh, ya ... Allah! Mengapa aku selalu harus mengalah? Kalau barang-barang remeh temeh, aku selalu bisa merelakan untuk dia miliki, tetapi kali ini ... sungguh keterlaluan sekali!" batinku merintih.

"Mau bagaimana lagi, Mbak? Nasi sudah menjadi bubur. Lagi pula harusnya Mbak juga dengan pria yang lebih dewasa daripada saya. Mbak sudah 27 tahun, sementara saya masih 24 tahun. Tidak layak kalau wanita berusia lebih tua dari lelakinya, 'kan? Sementara, Dik Rahmi 'kan masih 19 tahun!"

Rasanya ingin kutampar wajah tampan Rony atas ucapan yang sangat menohok itu. Namun, ragaku gemetar, sendi-sendiku melemas seketika, dan lidahku kelu untuk memberikan jawaban logis kepadanya.

"Kalau memang gegara faktor usia, mengapa selama setahun berjalan denganku tidak pernah dikemukakannya?" batinku merintih. 

"Mengapa baru sekarang hal itu dikemukakan?" sekali lagi aku mengeluh di dalam hati. Namun, mulut ini serasa terkunci mati.

Air mataku tak dapat kubendung lagi. Pertahananku ambrol. Aku bergeming. Ingin sekali segera beranjak pergi, tetapi rasanya diri ini terpaku dengan kuatnya di kursi pesakitan ini.

"Rahma ...," ayah menimpali, "Ayah mohon, relakan hatimu melepas Nak Rony untuk adikmu Rahmi, ya! Kasihan ... adikmu lagi hamil, Nak! Izinkanlah mereka segera meresmikan hubungan sebelum perutnya membuncit! Kasihani kami juga, Nak. Di mana akan ditaruh muka kami berdua yang berprofesi sebagai  'guru' ini kalau adikmu tidak segera diresmikan? Bukankah aib juga bagi kita, Rahma?"

Air mata ibu makin terburai. Isak dan sesenggukan yang terdengar sangat memilukan.

"Ya, aku ikhlaskan!" akhirnya aku bisa mengucapkan kalimat pendek ini dengan susah payah.

Secara spontan kutinggalkan ruang tamu tempat menjamu Rony yang selanjutnya membahas pernikahan mendadak mereka. Aku bergegas ke kamar tidur. Kutumpahkan air mata dan kekesalanku di atas bantal. Kepada siapa aku harus mengadu? 

"Aku harus segera pergi!" senandikaku langsung bergegas berkemas-kemas.

Tanpa sepengetahuan mereka, aku pun langsung packing hampir semua baju bagus yang kumiliki. Hanya kusisakan beberapa baju rumahan saja. Semua barang-barang itu segera kumasukkan ke dalam sebuah koper besar dengan rapi. Tinggal menunggu waktu saja.

"Akan ke mana aku? Hmmm, ... entahlah. Yang penting harus segera meninggalkan tempat ini. Tak mungkin aku bisa melihat mereka duduk di pelaminan, 'kan?"

 Mau tak mau aku segera menyusun rencana secepatnya. Yang pertama-tama tentu saja membuang diri sejauh-jauhnya agar tidak melihat mereka berdua. Selanjutnya,  aku ingin memperbaiki dan menyembuhkan  hati ini. Hati yang sudah terkoyak sekoyak-koyaknya, apalagi dihina sedemikian rupa oleh seorang lelaki yang sebelumnya sangat kucintai dan kudambakan menjadi rajaku selama hidup.

"Apakah kamu tidak ingin melihat adikmu berbahagia, Rahma?" mungkin ayahku akan menanyakan hal itu padaku.
Namun, jika ditanya seperti itu, pasti aku tidak bisa menjawabnya dengan baik.  
 
***

Penulis seorang grandma yang sedang getol belajar menulis  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun