Berita  barusan bagai halilintar membahana. Petir yang menyambar dengan cepat dan sangat tiba-tiba. Mataku membelalak lebar. Amarahku pun tersulut.
"Apa benar demikian, Rahmi?" tanyaku kesal sambil berdiri menatap Rahmi yang duduk di samping ibu.
"Sabar, Rahma ...," ayah berusaha mendamaikan suasana. "Tenangkan dirimu!"
Adapun ibu langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan, "Oh, ... ya, Allah!"
Rahmi hanya menunduk sambil mempermainkan ujung blus berenda yang dikenakan. Ia tidak berani menatap siapa pun. Wajahnya pias.
"Jadi? Selama ini kamu malas-malasan itu ...?" ibu tergagap tanggap.
"Iya, Ibu. Maafkan Dik Rahmi, Bu. Adik  sering mengeluh pusing. Mungkin bawaan baby. Tapi ... kami sudah memeriksakan kandungan Dik Rahmi. Adik positif hamil, dengan usia kandungan empat minggu," lanjut Rony dengan tegas dan jelas memotong ucapan ibu yang belum selesai.
"Maka, izinkan saya untuk bertanggung jawab dan mohon berkenan membantu merawat fisik dan psikis, terutama kandungan Dik Rahmi dengan sebaik-baiknya, Mbak!" lanjut Rony sambil menatap tajam padaku. Â
***
Aku tahu, Rahmi lebih baik dalam segala hal bila dibandingkan dengan diriku ini. Ia bukan hanya lebih muda tujuh setengah tahun daripadaku, melainkan juga lebih segala-galanya. Wajahnya sangat cantik. Kulitnya putih bersih, mulus tanpa noda sedikit pun. Â
Tubuhnya sangat proporsional. Tinggi 160 cm dan berat badan ideal. Apalagi ditambah dengan rambut terurai sepinggang, menambah penampilannya terkesan elegan. Sifatnya pun sangat manis. Ia gadis yang periang dan peramah. Siapa yang berdekatan dengannya dapat dipastikan akan merasa nyaman dan senang.
Sangat berbeda denganku. Aku terlahir dengan kulit hitam manis, dan raga mungil. Konon warna kulit ini menurun dari ayah. Jika ibuku berwajah ayu, dan berkulit putih, ayahku kebalikannya. Kulitnya lebih kelam. Justru akulah yang memiliki warisan warna kulit dari ayah, tetapi tubuh mungil dari ibu. Dari sini saja sudah membuatku iri setengah mati. Karena kondisi tubuh ini tidak memungkinkan aku bisa memilih cita-cita menjadi pramugari. Bahkan, berprofesi menjadi guru pun kondisi tinggi badan sangat pas-pasan, 150 cm saja! Sungguh sangat mengenaskan, bukan?