Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Abai dan Lalai hingga Pucuk Terkulai?

2 Desember 2024   02:57 Diperbarui: 2 Desember 2024   08:19 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa Abai dan Lalai hingga Pucuk Terkulai?
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Kalender sampai  halaman terakhir. Kurang beberapa hari tahun berganti. Bisa dibilang kesan dan kenangan akhir menjelang awal tahun! 

Kulihat penunjuk waktu di  laptopku, tepat pukul 01.55. Tak lama kemudian, terdengar kentongan dipukul dua kali. Namun, tetiba bulu kudukku berdiri tanpa permisi. Tak kuketahui penyebabnya.  Mendadak aroma melati lewat ....

Otomatis  teringat puzzle memori beberapa tahun silam. Di bulan sama. Saat  tengah malam yang sama. Situasi  mirip, tetapi tempat dan kondisi berbeda. Saat itu kusedang menunggui putri angkat yang terkulai lunglai di pembaringan.

***

Aneka selang bertebaran. Ada dua macam infus. Satu di pergelangan tangan kiri, satu lagi di kaki. Termasuk selang kateter menjuntai di kolong ranjang. Tabung oksigen seukuran manusia berdiri kokoh di atas kepala lengkap dengan peralatan pernapasan.

Ranjang berpagar sempurna. Kedua kaki pasien dan tangan kiri pun diikat dengan besi pagar ranjang. Praktis  tinggal tangan kanan saja yang terkadang digerak-gerakkan seolah mengusir nyamuk.

Ini kali pertama bagiku menjaga pasien di rumah sakit. Mana bau obat menyengat. Asli, sejujurnya membuat mual.

Beruntung sekali ruang kamar dengan tiga bed tersebut kosong setelah dua hari lalu salah seorang pasien memaksa pulang. Dengan demikian, praktis kondisi sangat hening, cocok untuk berdoa dan bersenandung lirih, mengumandangkan puji-pujian.  

Saat penyembahan, sering kudengar secara audibel suara tanpa sosok, 'Tutup tahun, tutup usia!' berulang-ulang. Hal yang kami percayai sebagai suara ilahi. Namun, aku abai. Lalai bahwa itu petanda simbolis.

Sudah seminggu ini aku terlibat jaga malam. Kalau pagi,  pulang. Bergantian dengan ibu pasien yang jaga siang hari. Urusan dokter yang selalu visite siang hari, aku tak berwenang menjawab pertanyaan atau apa pun berhubungan dengan  pasien.

*** 

"Ma ... ngantuk!" pamitnya pukul delapan lebih sedikit sore kemarin.

"Hmmm, iya ... bubuk aja. Jangan mikir macam-macam. Yang penting cepat sembuh!"

Ia mengangguk sambil mengerjap-ngerjap. Kutahu bebannya berat.  Kubelai tangan kanan, satu-satunya anggota gerak yang tak diikat. 

Beberapa hari ketika kujaga, biasanya Tita -- anak angkat kami -- sering banget mengigau. Dalam bahasa Jawa ndleming, berhitung dari satu hingga seratus, tetapi tak berurutan dan kacau.

Meracau tidak dapat diprediksi maknanya. Tumben malam ini ia bisa tertidur dengan tenang dan begitu nyenyak. Hanya bunyi alat-alat medis dan suara oksigen yang menghiasi malam.

Beruntung saat itu sedang libur semester  bergabung libur Natal sehingga terasa panjang. Tak ada kewajiban untuk ke kantor atau urusan dinas  lain. Merdeka.

"Ma, titip ... titip ... ya," kemarin malam dengan sangat kesulitan Tita berpesan.

Namun, kucandai saja aku tidak sedang hendak ke pasar. Tidak akan membeli sesuatu sehingga tak bisa dititipi.

"Eh, kamu mau titip apa, Nak?"

Ketika  sadar kalau dia tidak sedang bercanda kulanjutkan pertanyaan, tetapi tidak dijawabnya. Ternyata ....

***

"Mama kan sudah bilang, tinggalkan lelaki itu! Pilih kami orang tua angkatmu, atau dia! Kalau nggak bisa diomongi, sudah! Silakan semaumu! Jangan panggil aku Mama lagi!" petuahku sedikit keras mengingat ia sebagai gadis beranjak dewasa.

Aku sengaja memberi ultimatum karena pertama diperkenalkan lelaki yang berasal dari Indonesia timur itu beraroma alkohol. Apalagi matanya merah dan busananya, maaf, berantakan. Alih-alih menyebutnya sebagai gaya punk seronok.

Gertakku  tak mempan. Dia memilih meninggalkan kami dan kembali pada orang tuanya, seorang single parent. Asisten rumah tangga kami. Rumah mereka  berada persis di belakang rumah kami.  

Terdengar pula ibunya merepet, "Ya, sudah! Sekalian aku keluar!"

Tak lama kemudian datang tergopoh-gopoh sambil berseru lantang. Si ibu minta keluar detik itu juga demi membela putri tunggal mencintai kekasihnya tanpa kami recoki.

Kukatakan  bahwa pacarnya  bukan orang baik-baik. Namun, rupanya hubungan mereka telah telanjur jauh. Tita lebih memilih si pacar daripada aku yang mengambilnya sebagai anak angkat. Bahkan memberikan pendidikan sejak bersekolah di SD.

Ya, sudahlah, aku angkat tangan.  Aku  tidak peduli lagi! Melepasnya sebagai anak angkat hingga tak bertanggung jawab atas kehidupannya!

Tita makin nekat, justru memamerkan kemesraan dengan sang pacar di depanku. Anehnya, ibunya pun ikut-ikutan tidak menyapaku. Ya, aku bisa apa?

Hanya ingin kulihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Meski tidak mendoakan jelek, berdasarkan kisah hidup si ibu sebelum ini, sebenarnya aku sangat khawatir akan terjadi hal yang tidak kami inginkan.

***

Setelah putus hubungan dengan kami, beberapa kali mereka harus berurusan dengan rumah sakit. Pertama kali masuk rumah sakit, tepatnya sekitar dua tahunan sebelumnya, si ibu mengatakan kepada semua tetangga bahwa Tita menjalani operasi usus buntu. Akan tetapi, aku tidak percaya. Aku curiga! Intuisiku berkata lain!

Kurasa  ada gelagat yang tidak beres melihat kedekatannya dengan sang pacar. Kupikir, pasti ada sesuatu di balik itu. Benar saja!

***

"Mbak Endah, ya? Waaahh, lama banget tidak bertemu!" sapaku pada kepala ruang di suatu sore jam besuk.

"Haiii ... iya, lama banget! Siapa yang sakit?" selidiknya.

"Anu ... sebenarnya pasien sudah pulang, kayaknya, maaf. Anak angkatku, mantan siswa Mas Tris, suami Mbak, diopname di sini. Katanya usus buntu!"

"Ha? Usus buntu? Ya, bukan di ruang ini!" elaknya.

"Nah, itulah! Makanya aku curiga. Kata tetangga di ruangan ini. Kayaknya bukan usus buntu, deh!" dalihku.

"Siapa?"

Setelah kusebut nama, temanku si bidan kepala ruang segera menyeretku agak menjauh. Dikemukakanlah bahwa pasien hamil di luar kandungan. Deg! Apa yang selama ini kutakutkan terjadi juga. Bersyukur aku bertemu sumber informasi akurat! Tita hamil tanpa dinikahi? Duh ....

***

Jadi teringat kembali saat terakhir itu ....

Ya, pertanyaanku dua malam sebelumnya tak dijawab. Tampak ia sangat kelelahan. Napasnya tersengal-sengal. Segera kuminta perawat untuk memasang oksigen. Beberapa detik kemudian dia pun diam ... tertidur.  Aku melupakan 'titip apa' yang ia maksudkan. Belum terjawab. Mungkin baby-nya yang konon dibawa si lelaki tanpa menikahi karena punya istri yang sedang hamil besar.

Malam itu aku tak bisa tidur. Sore tadi ada keluarga pasien lain, menawarkan kopi hangat padaku. Sebagai rasa solidaritas, para penjaga pasien segera akrab satu dengan yang lain. Jika ada makanan atau minuman, kami yang tidak bisa keluar pasti akan ditawari. Jika berkenan, kami diizinkan mencicipi juga.

Kulihat arloji sekitar jam dua malam. Tetiba bulu kudukku berdiri. Entahlah, aku merasa sangat ketakutan. Seperti ada sosok yang datang, tetapi entah siapa. Perasaan sangat tidak nyaman. Belum pernah aku merasakan seperti ini.

Pasien yang baru datang sore tadi, tergolek di ranjang sebelah, tanpa suara. Mungkin sedang tidur. Yang bertugas menunggu pasien berada di luar, mungkin di teras depan ruangan. Mungkin juga sedang tidur.

Di teras lumayan luas itu berkumpul para penjaga pasien, baik yang berasal dari daerah dekat maupun dari tempat jauh. Mereka ada yang tidur, ada yang terjaga, ada  yang berbincang bisik-bisik. Juga ada yang berada di musala. Bahkan ada yang sedang makan minum.

Aku di ruang rawat sendirian dengan dua orang pasien. Kuarahkan pandangan ke kiri kanan, kutelusuri ke setiap sudut, tetapi memang tidak ada sesiapa. Anehnya, serasa ada sosok yang hadir di tengah kami. Merinding, asli! Bulu kuduk benar-benar meregang!

Jam dinding menunjuk angka tiga. Tetiba kulihat pada tabung oksigen yang dipasang, botol birunya tidak bergelembung-gelembung seperti biasa. Aku bingung sekali. Ada apa? Merasa sungguh bodoh! Spontan kupencet bel pemanggilan perawat.

Saat perawat datang, memeriksa nadi, lubang hidung, mata, dan mengatakan dengan serius, "Bu, dia sudah pergi. Sepertinya barusan! Masih hangat!"

"Ohh, ... !" aku lemas.

Dia mengembuskan napas terakhir di depanku, ya ... di depan mataku, tetapi aku tidak mengetahui dan tidak pula menyadarinya!

Penunggu  pasien sekamar tergopoh-gopoh masuk ruang ketika perawat masuk. Saat mengetahui anak angkatku sudah pergi, disalaminya aku.

"Innalilahi wa inalilihi rojiun ... Dia sudah tidak kesakitan lagi!" sambutnya lirih.

"Ya, Allah ...," bisikku melemas.

Aku baru tahu bahwa ternyata, selama mengandung anak kedua yang baru dilahirkan sepuluh hari lalu, dia selalu batuk di sepanjang kehamilan. Batuk yang tidak kunjung sembuh. Kudengar  bocoran dari perawat yang melaporkan kematiannya, pasien adalah penderita kanker peparu stadium empat.

"Ya, Tuhan ... jadi dia pamit tidur padaku  kemarin untuk selamanya? Berpisah untuk selamanya dengan pamit yang tak kusadari!" sesalku.

Lemas semua sendiku.  Tak  punya kekuatan lagi. Terduduk di situ tanpa daya menyaksikan jasadnya dibawa dengan brankar ke kamar mayat. Di pagi buta itu aku harus pulang. Mengabarkan kepada ibunya,  keluarga besar suamiku bahwa dia telah tertidur untuk  selamanya ....

Benar-benar nyata, "Tutup tahun, tutup usia!"

***

Ninik Sirtufi Rahayu  dengan nama kunyah Ni Ayu, lahir di Tulungagung, 23 November dan tinggal di Malang, Jawa Timur. Karya tulisnya pernah dimuat berbagai koran lokal, memiliki 29 buku solo dan 170  antologi berbagai genre, tetapi masih eksis belajar menorehkan karya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun