"Terima kasih, ya, Allah ... atas suami yang Tuhan pasangkan buat menemani hidupku ini!" syukurku bertambah-tambah.
Menjalin persahabatan dua tahun sebelum menikah hingga akhirnya menikah, kusadari betapa bahagia hati ini memiliki dan memilih dia sebagai seseorang yang menemani hidupku. Bahkan, hingga lima tahun belum dikaruniai momongan pun, ia tetap menyayangi dan mendukungku.
"Apa kita perlu program bayi tabung, Mas?" tanyaku suatu saat.
"Hmm ... menurutku kita cukup memohon kepada pemberi hidup dan kehidupan saja. Sekalipun menggunakan program tersebut, jika Allah belum mengizinkan, kita juga tidak memperolehnya. Benar, enggak?" sambutnya lembut sambil mencolek hidung bangirku.
*** Â
Perasaan dan pikiran berkelana ke mana-mana sambil menunggu namaku dipanggil. Antrean panjang sudah kulalui, nomor register sudah kudapat, kini kududuk di ruangan cukup besar menunggu dipanggil dokter untuk memeriksa sesuai keluhan.
Kulihat beberapa pasien dengan berbagai kondisi. Cukup ngeri juga. Ada yang sebagian mukanya ditutupi saputangan. Ya, pipi yang hilang sebelah karena digerogoti penyakit. Jujur, melihat pasien di ruang onkologi ini membuat hatiku kian nyeri dan ngeri.
Bersyukur kepada Allah,  setelah menunggu cukup lama, dokter menyatakan  keluhanku tidak mengkhawatirkan. Setelah dokter meraba ketiakku yang abses, beliau mengemukakan sangat menenteramkan hati.
"Tidak apa-apa, Bu. Ini hanya abses biasa. Kalau suatu saat terasa sakit, Ibu bisa kembali ke sini!" senyum dan anggukan dokter sepuh ini sangat melegakan.
Mengucapkan terima kasih merupakan hal wajib, 'kan? Jadi, kusalami sang dokter dengan ungkapan terima kasih tulus, sambil mengucapkan selamat bertugas. Sekali lagi senyum dan anggukan dokter tampan yang tampak gagah dan berwibawa tersebut sempat membuatku bahagia.
Pulanglah aku ke rumah bersama sopir pribadi melalui perjalanan panjang kembali. Hampir senja barulah sampai di gerbang rumah. Disambut gonggongan dua ekor anjing  yang setia menemaniku, hati ini terasa sungguh damai.