"Tapi ... kan sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia perdukunan, aroma kemenyan dan bunga kukira sudah menjadi bagian dari hidupnya, sih!"
"Hmm, iya juga. Tapi, komentarnya ketika memetik kuntum-kuntum itu sebenarnya menunjukkan dia pecinta lingkungan, 'kan?"
"Ho-oh, bener! Mungkin juga punya jiwa pebisnis, tetapi tak ada modal. Eh, Mbak, apa beliau masih hidup atau sudah meninggal, ya?"
"Nah, aku kehilangan kontak sejak puluhan tahun. Aku pun tidak tahu lagi alamat rumahnya!"
"Aku dengar selentingan, Mas Joko malah yang jadi dukun palsu. Kabarnya menipu, sempat menjadi buronan, dan sudah wafat dalam kondisi memprihatinkan!"
"Oh, iya. Aku juga dengar. Padahal saat itu Mas Joko cuma ikut-ikutan di komunitas!"
"Golongan iku galangan, Mbak! Siapa teman sepergaulan kita, seperti itulah dunia kita! Dengan siapa kita bergaul, menentukan masa depan kita."
"Kalau Mas Yasmidi itu pernah menjadi sales parfum, loh! Saat Mbak sudah kuliah, dia masih gentayangan ke rumah Mbah dengan membawa dagangan benih parfum!" imbuhnya.
"Oh, iya ... iya! Aku juga ingat, pernah diajaknya membeli benih parfum di toko orang Arab! Dia bilang biar bapak enggak menggunakan minyak wangi cap Serimpi dengan bau menyengat, tetapi tak sedap!"
"Nah, ... benar! Lelaki beraroma melati itu memang dukun thok cer!"
"Thok cer gimana?"