Saat itu tahun 1982. Tentu saja aku sudah bekerja sebagai guru tetap yayasan. Kali ini, aku memperoleh akses bacaan dari rumah sakit, bahkan salah seorang temanku juga membawakan majalah kesehatan. Di dalam majalah tersebut, kubaca mengenai hamil anggur dan bahwa setelah mengalaminya, seseorang diprediksi tidak dapat hamil lagi. Aku tidak ambil pusing dan tidak memperhatikannya. Pikirku, bagiku cukuplah dua orang anak lelaki yang sudah dianugerahkan-Nya. Namun, ternyata, dua setengah tahun kemudian, aku hamil lagi. Usia Sulung sekitar tujuh tahun dan anak keduaku sekitar empat setengah tahun. Kali ini, Dokter menanganinya secara ekstra. Tidak diberinya aku banyak vitamin.
"Nanti saja setelah lahir. Kamu 'kan cenderung melahirkan bayi besar!" kata dokter kesayangan kami. Kukatakan demikian karena hubungan kami dengan Dokter tersebut sangatlah akrab, melebihi hubungan keluarga! Hampir dua hari sekali kami bertandang ke rumah dokter pribadi tersebut untuk urusan keagamaan dan pelayanan. Bahkan, kepada anak-anak kami pun, keluarga mereka sangat sayang. Putra kami dihadiahinya berbagai mainan, salah satunya alat kedokteran! Dengan demikian, putra pertama dan kedua kami bisa bermain dokter-dokteran!
Adapun ritual mengonsumsi kunyit, madu, minyak kelapa, dan kunir telur ayam kampung masih tetap berlangsung! Jalan-jalan dan tidak bermalasan pun masih tetap berlanjut!
Kehamilan si bungsu ini agak rewel, kata orang Jawa medeking! Sejak usia kandungan tujuh bulan, baby tidak mau ditata dengan posisi kepala di bawah. Setelah ditata oleh Dokter, selalu saja kepalanya kembali ke posisi atas. Karena itu, Dokter menyarankan agar aku selalu nungging setiap hari. Menungging dan menungging, serta banyak mengepel lantai dengan posisi merangkak! Kalau tidak, tentu dia akan lahir sungsang!
Siapa pun pasti resah dan cemas jika diberi tahu kondisi baby sungsang karena akan menjadi kesulitan tersendiri saat meminta model kelahiran normal tanpa operasi. Karena itu, dengan sabar aku pun melakukan terapi menungging sebanyak mungkin.
Saat itu, aku sudah bekerja, sudah tercatat sebagai ASN. Karenanya, saat usia kandungan tujuh bulan, aku segera meminta cuti karena posisi baby yang sedemikian riskan. Syukurlah, ketika menjelang kelahiran posisi baby-ku sudah mapan.
Memang, Dokter mengatakan baby-ku kecil karena sudah diniati sejak awal. Aku tidak diberinya vitamin agar tidak besar seperti baby sebelumnya. Setelah si baby lahir, baru akan digelontor dengan vitamin katanya.
Hari-H persalinan pun tiba. Jika Sulung ditandai dengan ketuban pecah, anak kedua dengan flek dan perdarahan, nah anak ketiga ini dengan mules yang luar biasa. Seperti biasa, aku pun segera meluncur ke rumah sakit dengan kondisi penanganan yang melebihi VVIP karena kami dianggap sebagai keluarga dokter!
Sesampai di rumah sakit, justru aku tidak lagi merasakan kesakitan. Dengan demikian, pembukaan jalan lahir pun macet. Hal itu mungkin berkaitan dengan kondisi psikologisku. Ada sesuatu (sisi lain) yang kurasakan karena ternyata di tempat sama, istri mantan pacarku (yang sengaja kutinggalkan karena aku memperoleh suami mendadak) baru saja melahirkan putri keduanya! Aneh, tetapi nyata! Di kamar bersalin itu aku menangis bukan karena kesakitan hendak melahirkan, melainkan merenungkan betapa Tuhan mencelikkan hatiku untuk berjuang sebisa mungkin agar bertindak ramah kepada siapa pun, termasuk kepada mantan pacar dan istrinya.
Sehari semalam tidak ada perubahan apa pun! Maka, sekali lagi, pagi itu Dokter memberi tahu via telepon bahwa aku harus di-drip sama seperti kelahiran sebelumnya. Namun, setelah pemasangan infus, Dokter tidak bisa hadir karena diare berat. Penanganan partus pun diserahkan kepada bidan yang bertugas. Beruntung, tidak ada masalah. Dua jam kemudian, baby- ku lahir dengan berat badan 2,99 kg dan panjang 49 cm. Normal, tanpa jahitan!
Demikianlah, pengalamanku selama melahirkan ketiga buah hati yang semuanya cowok itu. Kini, mereka telah sukses meniti karier di bidang masing-masing. Ketiganya memperoleh predikat cum laude saat menyelesaikan sarjana S-1. Bahkan, Sulung dan Bungsu berkesempatan menimba ilmu melalui beasiswa ke Negeri Paman Trump untuk menyelesaikan program magister dan doktornya. Sementara, si Tengah yang tidak mau melanjutkan kuliah, pernah berkesempatan bekerja di negeri jiran berbasis bahasa Inggris.
Syukur kepada Tuhan. Jika dokter sahabat dan langganan, menganggap kami sebagai keluarga dan pernah memberikan mainan alat kedokteran bagi putra kami, ternyata salah satu di antara putra kami benar-benar menjadi dokter menggantikan beliau yang sangat baik dan berjasa bagi kami.