Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, Asrar Atma, dll. Buku solo 30 judul, antologi berbagai genre 176 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Cuma Catatan Kecil

17 Oktober 2024   19:05 Diperbarui: 20 Oktober 2024   03:13 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Cuma Catatan Kecil   
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Ketika hamil anak pertama, aku masih berusia 19 tahun. Saat itu, tidak secanggih saat ini. Aku sendiri sangat kuper alias kurang pergaulan. Tidak ada bacaan yang membantuku mengetahui bagaimana seharusnya menghadapi masa kehamilan dan persalinan. Tidak ada sama sekali. Aku juga tidak memperoleh informasi lisan apa pun dari siapa pun. Tidak ada saudara yang memberi tahu aku bagaimana seharusnya menghadapi dan menata waktu selama menunggu empat puluh minggu hingga masa kelahiran. Tidak ada seorang pun.

Saat itu, aku masih kuliah. Aku duduk di semester enam, namun tidak ada mata kuliah lagi yang bisa kuambil karena sudah habis lima semester sebelumnya. Apalagi, program kampus berubah, tidak ada lagi program sarjana muda; semua diubah menjadi program strata satu (S-1). Karena itu, aku terpaksa menganggur hingga program baru tersebut dibuka, tahun ajaran baru. Selama tidak ada masa kuliah itulah ternyata aku diberi-Nya kesempatan berbadan dua. Tugas akhir sarjana muda tidak boleh dilanjutkan lagi sehingga aku menganggur.

Sejak menikah, karena suamiku anak tunggal, kami ikut dengan orang tua. Di rumah mertua indah, ceritanya. Beruntunglah, mertua perempuanku seorang pedagang sayur dan ikan laut di pasar sehingga masalah makanan cukup melimpah.

Sejak hamil muda tersebut aku gemar sekali mengonsumsi makanan laut yang disediakan oleh mertuaku. Sebelumnya, selama masih kost dan hidup sendiri, kondisiku sangat sederhana. Apa yang kumakan hanyalah apa yang bisa kubeli dengan dana minimku.
Namun, sejak ikut mertua itu, aku merasa dimanjakan perihal makanan. Ada ikan tinta alias nus, kepiting, kerang, ikan tongkol, dan beberapa macam ikan lagi, sisa dagangan yang sengaja disisihkannya dan pasti dibeli oleh suamiku. Ikan laut tersebut diolah sendiri dan menjadi makananku sehari-hari. Sangat nikmat! Ternyata, konsumsi ikan laut tersebut bagus untuk pertumbuhan dan kesehatan janinku. Kandungan omega 3 yang sangat penting bagi perkembangan kecerdasan janin terpenuhi setiap hari. Karenanya, janinku tumbuh sehat dan begitu aktif dengan ditandai oleh pergerakannya yang luar biasa.

Karena menganggur, setiap hari yang kulakukan hanya main kartu. Jika suamiku ada, aku pasti mengajaknya remi atau empat satu. Mengumpulkan nilai tertinggi dengan menggunakan kartu yang bergambar segi empat, daun waru, daun semanggi berwarna hitam dan merah itu. Jika sedang sendiri, aku pun bermain sendiri di kamar sempitku.

Ternyata, apa yang kulakukan tersebut berpengaruh terhadap janin yang ada di dalam kandunganku. Belakangan kuketahui bahwa sulungku tersebut jago matematika dan bahkan memperoleh kesempatan berkuliah program magister dan doctor hingga ke mancanegara. Ikan laut yang kukonsumsi tersebut sangat membantu perkembangan otaknya sehingga saat balita hingga dewasa ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Selain itu, aku pun gemar mendengarkan musik klasik seperti gending Jawa, siter, dan seruling yang menentramkan sehingga aku merasa tenang. Dalam bahasa Jawa, ayem tentrem alias damai sejahtera. Ternyata, belakangan kuketahui bahwa musik seperti ini juga sangat berpengaruh terhadap janin. Kupikir saat itu hanya sekadar hobi sesaat atau masa ngidam saja. Apalagi, suami memiliki koleksi lagu instrumentalia dengan musik yang tenang atau slow.

Ya, setelah mengikuti perkuliahan di pascasarjana dengan mengambil tema tesis manfaat musik dan lagu dalam pembelajaran, barulah kuketahui bahwa musik klasik dan musik instrumentalia ini sangat bagus untuk kesehatan dan pertumbuhkembangan otak janin.

Di atas kukatakan bahwa saat kehamilanku tersebut aku tidak memperoleh akses apa pun yang menginformasikan bagaimana menunggu saat kelahiran tiba. Aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal itu. Terasa sekali betapa bodohnya aku karena kurang membaca! Beruntung, nenekku yang kupanggil "ibu" berpesan agar selama hamil aku tidak mengonsumsi es apalagi es krim. Selain itu, dari desa beliau mengirimiku lengo projol, yakni minyak kelapa murni yang diproduksi sendiri. Kelapa yang cukup tua setelah diparut, diambil santannya, kemudian direbus hingga berubah menjadi minyak. Minyak kelapa murni buatan sendiri tersebut harus kuminum dengan campuran kunyit, kuning telur ayam kampung, dan madu. Empu kunyit seukuran dua ibu jari diparut, tambahkan sedikit air, diambil airnya, lalu dituang ke dalam sebuah cangkir kira-kira setengah cangkir. Masukkan kuning telur, diaduk hingga merata, tambahkan sesendok teh minyak kelapa murni tadi dan satu sendok makan madu. Ramuan ini dikonsumsi dua hari sekali.

"Ini untuk membantu elastisitas jalan lahir," kata orang-orang tua kami. Dengan mengonsumsi kunyit madu ini, diharapkan saat melahirkan tidak akan mengalami pengguntingan dan penjahitan jalan lahir.

Ramuan di atas dikonsumsi sejak kehamilan lima bulan. Selain itu, harus rajin mengepel lantai dengan cara membungkuk atau merangkak agar posisi janin segera sempurna dan tidak sungsang. Ritual jalan-jalan pagi pun wajib dilakukan sejak kehamilan lima bulan hingga menjelang kelahiran. Itu saja yang dipesan oleh orang tuaku dari desa. Tidak boleh malas, tidak boleh terlalu banyak tiduran.

Aku berasal dari daerah yang berhawa panas, sedangkan sejak kuliah aku tinggal di daerah yang berhawa dingin. Pada saat kehamilan, aku sering merasa kedinginan. Karena itu, suamiku selalu memintaku untuk mandi air hangat. Saat mandi tersebut, tanpa seorang pun memberi tahu, secara insting aku membersihkan puting payudaraku dengan cara kuseka. Dua sapu tangan handuk kurendam sebentar pada air hangat, lalu kutempelkan pada kedua payudaraku. Ternyata, memang demikian seharusnya pemeliharaan payudara ibu hamil. Awalnya, payudaraku terasa keras. Namun, dengan kukompres demikian, terasa nyaman. Itu saja. Maka, kulakukan yang nyaman saja tanpa tahu teorinya.

Sebelum memasuki minggu-minggu akhir, aku kesakitan karena anyang-anyangen. Rasa hendak buang air kecil selalu ada, padahal tidak bisa buang air kecil. Saat kontrol, diberi tahu Dokter bahwa janin sudah mulai menata diri. Janin menekan kandung kemih sedemikian rupa sehingga aku menderita anyang-anyangen. Namun, posisi janin sudah siap, katanya.

Malam itu sekitar pukul 21.00-an, tiba-tiba baju dalamku basah seperti mengompol. Mertua meminta suamiku untuk mengantarku ke rumah sakit bersalin. Sesampai di rumah sakit, aku yang begitu bodoh ini ketakutan. Sungguh, jika mengingatnya, ingin tertawa. Ketika dicari, eh... aku malah bersembunyi di balik pintu! Aku sudah mahasiswa, namun ulahku masih seperti kanak-kanak. Itu karena aku ketakutan, tidak tahu harus bagaimana melahirkan itu. Tidak ada pengetahuanku sama sekali! Bodohnya! Inilah akibat jika kurang membaca, bagai katak di dalam tempurung!

Aku dicari dan dibimbing seorang suster untuk tiduran di kamar bersalin. Hanya satu yang kuingat, pesan nenekku, jika melahirkan pantat jangan diangkat. Jujur, saat itu aku masih tidak mengetahui mengapa pantat tidak boleh diangkat. Karena itu, yang kuingat hanyalah posisi pantat saja! Ternyata, belakangan kuketahui bahwa jika pantat tidak diangkat alias ditekankan ke bawah, posisi jalan lahir benar, tidak perlu digunting dan tidak akan sobek!

Sepanjang malam itu, aku tidak merasakan apa-apa, tidak sakit sama sekali. Namun, tetap saja tidak dapat memicingkan mata! Yang kutahu, ketuban sudah pecah, kata bidan yang mendampingiku dengan sabar.

Keesokan harinya, kira-kira pukul empat pagi, suster memintaku untuk ke kamar mandi. Aku dibimbingnya turun dari ranjang dan melepas pakaianku pelan-pelan. Maksudnya agar aku terdorong untuk buang air sekalian mandi. Saat itulah aku mulai merasakan kesakitan sehingga hanya menggeliat saja tanpa mampu mandi. Ketika mengetahuinya, suster berinisiatif membantuku mandi, sementara aku sudah mulai poyang-paying, kesakitan luar biasa.

Bidan dan suster membimbingku agar aku tidak mengeluarkan suara dan menghabiskan energi. Aku hanya diminta untuk mendesis dan berdoa di kala kesakitan tiba.

"Jangan berteriak, Mbak. Malu didengar orang!" kata keduanya sambal tersenyum. "Biarlah orang hanya mendengar tangisan bayi saja saat lahiran nanti! Jangan tangisan ibunya!" lanjutnya.

Menjelang pukul enam pagi, Dokter sudah tiba dan membantu persalinan normalku. Ya, bersyukur sekali, pembukaan jalan lahir terjadi dengan sangat cepat sehingga pukul enam pagi lebih sedikit sulungku lahir. Lega rasanya!

Ketika mendengar aku sudah melahirkan, nenekku yang diinterlokal datang dari desa dengan membawakan tim ayam. Kebetulan, nenekku etnis Tionghoa sehingga dibuatkannya aku resep masakan Tionghoa. Ayam muda dimasak dengan model ditim, direbus beberapa jam hingga dagingnya lumer. Dibumbui arak beras, kecap manis, kecap asin, ditambahkan sedikit jahe, dan bawang putih. 

Wah, luar biasa enaknya. Masakan itu untuk menggantikan energi yang terkuras karena melahirkan sehingga cepat pulih seperti sediakala.

Saat sulungku berusia satu tahun dan masih mengonsumsi ASI, tiba-tiba saja dia rewel. Aku tidak paham apa maksudnya karena dia belum pandai berbicara. Karena itu, ASI pun ditambah dengan susu formula.

Sulung ini benar-benar dimanjakan oleh ayahnya. Aku dibelikannya alat penggiling makanan bayi produk luar negeri karena saat itu belum ada blender. Maka, makanan bayi yang kami buat dengan sistem digiling menggunakan alat steinless manual itu sangat berkualitas. Alat ini sangat membantu tugasku sebagai ibu muda, sementara sulung pun tumbuh kembangnya lumayan bagus.
Ketika Sulung berusia lima belas bulan, aku jatuh sakit. Kepalaku pusing luar biasa hingga aku tidak mampu bangun. Ternyata, aku hamil anak kedua. Ini benar-benar tidak kusadari. Dalam bahasa Jawa, kesundulan. Artinya, bayi berusia tujuh bulan, ibunya hamil empat bulan. Sementara, yang terjadi padaku, balitaku masih berusia setahun aku mulai hamil lagi.

Padahal, kuliahku pun belum selesai. Ya, sudahlah. Akhirnya, aku menerima kehadiran putra kedua dengan senang hati dan berharap diberi-Nya cewek. Kasihan jika ada perasaan tidak dikehendaki, bukan? Namun, sayang aku terlambat mengetahuinya. Trimester pertama, saat keemasan pembentukan otak dan kecerdasan telah terlewatkan.

Jika sedang hamil, aku meminta suamiku memperhatikan pola makananku dengan lebih istimewa karena mempersiapkan janin agar pertumbuhannya maksimal. Artinya, dana untuk belanja makanan "Empat Sehat Lima Sempurna" harus dilebihkan. khusus untukku.
Saat kehamilan putra kedua ini, kami sudah berumah sendiri, mengontrak jauh dari mertua. Karena itu, dua hari sekali pasti suami memesan lauk seafood dari ibunya, khusus untukku.

Pada kehamilan anak kedua ini, kondisi kesehatanku sangat prima. Aku masih melanjutkan kuliahku yang belum selesai, mengikuti program baru (S-1) dengan mata kuliah drama sebagai matakuliah minor. Karena itulah, saat hamil besar, aku harus tampil bermain peran. Sayangnya, aku tidak memperoleh naskah drama dengan pelaku bumil sehingga kelulusanku ditangguhkan. Aku harus mengikuti semester berikutnya meskipun hanya mengambil satu matakuliah: drama!

Ritual mengepel lantai dengan cara merangkak, jalan-jalan pagi, masih tetap aku ikuti sebagaimana kehamilan si Sulung. Demikian juga penggunaan resep kuno dari orang tua: konsumsi lengo projol seperti kehamilan Sulung dahulu.

Beruntungnya, ada satu keluarga (ibu dan dua anak perempuannya) yang ikut keluarga kami sehingga urusan pengasuhan Sulung ada di tangan saudara suami tersebut. Jadi, ada enam kepala dalam keluarga kami. Tiga orang dewasa, satu praremaja, dan dua balita sekitar dua tahunan. Usia sulungku dengan anak kedua saudara suamiku ini hanya terpaut beberapa bulan saja.

Jika persalinan si Sulung dahulu ditandai dengan pecahnya air ketuban, tidak demikian dengan anak kedua ini. Usia kandunganku sudah lebih dari sembilan bulan, memasuki bulan kesepuluh. Perutku tampak besar sekali. Demikian juga berat badanku, naik melebihi target. Namun, saat kontrol terakhir, semuanya baik-baik saja.

Sepulang jalan-jalan pagi, sekitar pukul 06.00, suami siap-siap hendak ke kantor. Tiba-tiba, saat di kamar kecil, ada flek di baju dalamku. Beberapa saat kemudian, ada sedikit darah seperti menstruasi. Karena tidak enak hati, siang itu aku minta diantar suami untuk siap-siap opname di rumah sakit. Tidak ada rasa sakit sama sekali. Keluhannya hanya sedikit pendarahan saja.

Rumah sakit dan perawat hingga dokternya kami kenal dengan baik. Karena itu, mereka memintaku untuk tinggal saja daripada bolak-balik menggunakan sepeda motor. Mereka membebaskan biaya kamar. Beruntung sekali, bukan? Tuhan sedemikian baiknya kepada kami. Bahkan, sejak kelahiran Sulung, dokternya pun gratis!

Sehari semalam aku berada di rumah sakit, tidak ada tanda-tanda apa pun. Siang, saat Dokter visite, beliau mengatakan terpaksa di-drip. Ternyata, aku harus diinfus obat perangsang. Sekitar pukul sepuluh pagi, setelah masa kunjung usai, aku diminta berbaring di kamar bersalin dan diinfus. Dokter mengatakan persalinan ditunggu dua jam lagi.

Benar. Sekitar pukul dua belas siang, Dokter sudah siap. Selama dua jam setelah diinfus itulah aku merasakan kesakitan yang luar biasa. Pembukaan jalan lahir terjadi melalui perangsang tersebut. Sebagaimana saat kelahiran Sulung, kali ini aku sudah paham bahwa tidak diizinkan berteriak, mengaduh, atau mengeluh. Aku harus mendesis dan berdoa. Itu kuncinya. Diberikan juga sapu tangan lembut untuk bisa digigit agar tidak berteriak. Jika berteriak, tenaga akan terkuras dan pada saat mengejan bisa-bisa tidak kuat untuk melakukannya.

Bersyukur kepada Tuhan, persalinan anak kedua pun selamat dan lancar. Jika Sulung dengan berat badan 3,3 kg dan panjang 49 cm, anak kedua ini cowok lagi dengan berat badan 3,97 kg dan panjang 50 cm. Luar biasa besar. Beratnya tersebut hampir sama dengan berat Sulung ketika berusia dua bulan!

Sama dengan persalinan Sulung, kali ini aku tidak mengalami pengguntingan dan penjahitan jalan lahir. Semuanya normal alami, hanya sedikit lecet. Namun, karena berat badan baby besar, aku langsung diminta puasa. Sebab, dikhawatirkan memiliki riwayat gula darah tinggi alias diabetes. Setelah diuji klinis, ternyata gula darahku normal, tidak tinggi. Mengapa bayinya besar? Kata dokter, karena terlalu lama di dalam kandungan, lebih dari sembilan bulan, dan terlalu banyak konsumsi vitamin.

Setelah melahirkan putra kedua ini, mau tidak mau aku harus mengikuti program Keluarga Berencana. Awalnya, aku diminta menggunakan pil, namun dampaknya air susuku tidak disukai baby sehingga terpaksa diganti dengan susu formula. Air susuku pun mampet! Tak pelak, pengeluaran untuk pembelian susu lumayan banyak. Untungnya, kami selalu memperoleh support dari rumah sakit dengan diberi susu sampel dan produk makanan bayi dari pabrik secara berlimpah. Jika baby orang lain tidak cocok dengan susu dan makanan bayi tersebut, kedua putra kami sangat gemar akan makanan hadiah tersebut.

Setelah satu tahun lebih menggunakan pil KB, aku disarankan untuk ganti dengan KB suntik. Namun, sepertinya ragaku kurang cocok dengan program ini. Satu dua kali suntik, pasti ada efek yang kurang menyenangkan; stop menstruasi dan munculnya rasa mual berkepanjangan. Dokter pun menyarankan jika suntik sekali lagi masih ada masalah, beliau meminta dan mengajarkan penggunaan sistem kalender.

Belum sampai ganti metode KB kalender, tiga kali suntik KB, ternyata aku hamil lagi. Kata dokter, ini KB yang gagal! Sementara, kehamilan ketiga ini bermasalah. Aku selalu pendarahan sehingga harus bedrest di rumah sakit. Tidak main-main; tujuh bulan! Bisakah Anda membayangkan betapa jenuhnya opname tujuh bulan?

Saat sampel darahku yang dikirim ke Kedokteran Unair belum turun, ada keluarga suamiku di Surabaya yang meninggal dunia. Karena itu, dua balitaku yang kutitipkan keluarga (selama aku opname tujuh bulan) terpaksa dikembalikan sehari untuk kami asuh sendiri karena semua sanak keluarga takjiah ke Surabaya. Saat itulah aku pulang paksa.

Saat itu, putra keduaku sedang lucu-lucunya. Usia sulung hampir lima tahun dan adiknya belum tiga tahun. Kami membawa mereka berdua ke taman bermain Senaputra. Di situlah kakiku sedikit terpeleset tanpa jatuh. Akibatnya, sesampai di rumah, senja hari itu, aku mengalami keguguran. Kali ini, tidak ada tenaga medis, hanya ada tetangga yang membantu. Ternyata, aku tidak melahirkan janin sama sekali. Hanya mengeluarkan darah bergumpalan yang banyak sekali. Sungguh mengerikan.

Diperoleh satu ember besar bak mandi, darah bergumpal dan bergelembung-gelembung kehitaman yang keluar dari rahimku. Darah bergelembung-gelembung merah kehitaman tersebut seperti dompolan buah anggur. Itulah sebabnya disebut hamil anggur. Istilah medisnya mola hydatidosa.

Konon, hamil anggur adalah kelainan kehamilan yang jarang terjadi, yaitu ketika sel telur yang sudah dibuahi dan plasenta tidak berkembang dengan sempurna. Harusnya aku dioperasi, namun oleh kasih karunia Tuhanlah, gumpalan darah penyakit tersebut keluar melalui proses keguguran. Setelah itu, malam itu juga, aku langsung ke rumah sakit untuk menjalani pengurasan alias kuret. Selesai. Lega!

Saat itu tahun 1982. Tentu saja aku sudah bekerja sebagai guru tetap yayasan. Kali ini, aku memperoleh akses bacaan dari rumah sakit, bahkan salah seorang temanku juga membawakan majalah kesehatan. Di dalam majalah tersebut, kubaca mengenai hamil anggur dan bahwa setelah mengalaminya, seseorang diprediksi tidak dapat hamil lagi. Aku tidak ambil pusing dan tidak memperhatikannya. Pikirku, bagiku cukuplah dua orang anak lelaki yang sudah dianugerahkan-Nya. Namun, ternyata, dua setengah tahun kemudian, aku hamil lagi. Usia Sulung sekitar tujuh tahun dan anak keduaku sekitar empat setengah tahun. Kali ini, Dokter menanganinya secara ekstra. Tidak diberinya aku banyak vitamin.

"Nanti saja setelah lahir. Kamu 'kan cenderung melahirkan bayi besar!" kata dokter kesayangan kami. Kukatakan demikian karena hubungan kami dengan Dokter tersebut sangatlah akrab, melebihi hubungan keluarga! Hampir dua hari sekali kami bertandang ke rumah dokter pribadi tersebut untuk urusan keagamaan dan pelayanan. Bahkan, kepada anak-anak kami pun, keluarga mereka sangat sayang. Putra kami dihadiahinya berbagai mainan, salah satunya alat kedokteran! Dengan demikian, putra pertama dan kedua kami bisa bermain dokter-dokteran!

Adapun ritual mengonsumsi kunyit, madu, minyak kelapa, dan kunir telur ayam kampung masih tetap berlangsung! Jalan-jalan dan tidak bermalasan pun masih tetap berlanjut!

Kehamilan si bungsu ini agak rewel, kata orang Jawa medeking! Sejak usia kandungan tujuh bulan, baby tidak mau ditata dengan posisi kepala di bawah. Setelah ditata oleh Dokter, selalu saja kepalanya kembali ke posisi atas. Karena itu, Dokter menyarankan agar aku selalu nungging setiap hari. Menungging dan menungging, serta banyak mengepel lantai dengan posisi merangkak! Kalau tidak, tentu dia akan lahir sungsang!

Siapa pun pasti resah dan cemas jika diberi tahu kondisi baby sungsang karena akan menjadi kesulitan tersendiri saat meminta model kelahiran normal tanpa operasi. Karena itu, dengan sabar aku pun melakukan terapi menungging sebanyak mungkin.
Saat itu, aku sudah bekerja, sudah tercatat sebagai ASN. Karenanya, saat usia kandungan tujuh bulan, aku segera meminta cuti karena posisi baby yang sedemikian riskan. Syukurlah, ketika menjelang kelahiran posisi baby-ku sudah mapan.

Memang, Dokter mengatakan baby-ku kecil karena sudah diniati sejak awal. Aku tidak diberinya vitamin agar tidak besar seperti baby sebelumnya. Setelah si baby lahir, baru akan digelontor dengan vitamin katanya.

Hari-H persalinan pun tiba. Jika Sulung ditandai dengan ketuban pecah, anak kedua dengan flek dan perdarahan, nah anak ketiga ini dengan mules yang luar biasa. Seperti biasa, aku pun segera meluncur ke rumah sakit dengan kondisi penanganan yang melebihi VVIP karena kami dianggap sebagai keluarga dokter!

Sesampai di rumah sakit, justru aku tidak lagi merasakan kesakitan. Dengan demikian, pembukaan jalan lahir pun macet. Hal itu mungkin berkaitan dengan kondisi psikologisku. Ada sesuatu (sisi lain) yang kurasakan karena ternyata di tempat sama, istri mantan pacarku (yang sengaja kutinggalkan karena aku memperoleh suami mendadak) baru saja melahirkan putri keduanya! Aneh, tetapi nyata! Di kamar bersalin itu aku menangis bukan karena kesakitan hendak melahirkan, melainkan merenungkan betapa Tuhan mencelikkan hatiku untuk berjuang sebisa mungkin agar bertindak ramah kepada siapa pun, termasuk kepada mantan pacar dan istrinya.

Sehari semalam tidak ada perubahan apa pun! Maka, sekali lagi, pagi itu Dokter memberi tahu via telepon bahwa aku harus di-drip sama seperti kelahiran sebelumnya. Namun, setelah pemasangan infus, Dokter tidak bisa hadir karena diare berat. Penanganan partus pun diserahkan kepada bidan yang bertugas. Beruntung, tidak ada masalah. Dua jam kemudian, baby- ku lahir dengan berat badan 2,99 kg dan panjang 49 cm. Normal, tanpa jahitan!

Demikianlah, pengalamanku selama melahirkan ketiga buah hati yang semuanya cowok itu. Kini, mereka telah sukses meniti karier di bidang masing-masing. Ketiganya memperoleh predikat cum laude saat menyelesaikan sarjana S-1. Bahkan, Sulung dan Bungsu berkesempatan menimba ilmu melalui beasiswa ke Negeri Paman Trump untuk menyelesaikan program magister dan doktornya. Sementara, si Tengah yang tidak mau melanjutkan kuliah, pernah berkesempatan bekerja di negeri jiran berbasis bahasa Inggris.

Syukur kepada Tuhan. Jika dokter sahabat dan langganan, menganggap kami sebagai keluarga dan pernah memberikan mainan alat kedokteran bagi putra kami, ternyata salah satu di antara putra kami benar-benar menjadi dokter menggantikan beliau yang sangat baik dan berjasa bagi kami.

Menurutku, yang terpenting saat menunggu si buah hati hadir adalah menyiapkan kondisi hati sebaik mungkin. Hanya karena bertemu mantan pacar yang sedang mengantar istrinya (melahirkan putri kedua di rumah sakit yang sama) saja, pembukaan jalan lahir macet, bukan? Karena itu, harus kita upayakan kondisi hati Ibunda selalu prima. Juga paparan musik yang menentramkan jiwa itu wajib! Itu juga merupakan salah satu sarana pembentukan karakter anak sejak usia dini!

Terima kasih, semoga bermanfaat bagi calon ibu! Jangan pernah takut karena Tuhan Yang Mahasegala pasti bercampur tangan dalam segala urusan kita. Amin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun