"Mas, kita harus menabung untuk pulang ke tanah air, 'kan?" ujar Dinda.
"Hmm, ... jangan terlalu kau pikirkan. Kalau tidak bisa pulang pun, jangan membuatmu kecewa. Yang penting kita baik-baik dan sehat-sehat saja! Jaga kesehatan, maksudku!"
"I-iya!"
Dinda tahu. Biaya pulang ke tanah air tentulah sangat besar. Sementara, ia belum bisa membantu menghasilkan pemasukan. Hanya Hertadi sendiri yang banting tulang untuk keluarga. Dinda berencana, jika Tata telah usia sekolah, ia akan bekerja.
Setahun, dua tahun, tanpa terasa kini Tata sudah saatnya bersekolah. Dinda mulai bisa meninggalkan kesibukan rumah tangga. Ia melamar pekerjaan di restoran tidak jauh dari rumahnya. Syukurlah, nasib baik berpihak kepadanya. Apalagi dari segi bahasa pun, Dinda sudah lancar. Sudah tujuh tahun berada di lingkungan keluarga Jerman, Dinda pun sudah paham adat-istiadat dan bahasanya.
Suatu saat seorang ibu paruh baya mengajaknya mengobrol sambil berbelanja beberapa kudapan di restoran tempatnya bekerja.
"Mein name ist Gabriella. Wie heiBen Sie?"  ibu itu memperkenalkan dirinya  kepada Dinda. Â
"Ich heiBe Dinda!" jawab Dinda.
Selanjutnya, beliau menanyakan apakah Dinda masih sanggup memasak setiap hari.
"Ich koche taglich!" jawab Dinda.
"Wah, Dinda masih mempunyai waktu untuk memasak, ya?" tanya selanjutnya.