Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hati yang Gembira

30 Agustus 2024   18:55 Diperbarui: 30 Agustus 2024   18:58 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hati yang Gembira
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Pagi itu beberapa ekor burung beterbangan di dahan pohon amazone. Ada kawanan burung kutilang dan trocokan yang sedang berburu buah manis berwarna merah ranum. Mereka bersliweran sambil bersiul-siul bahagia.

"Halo, Kawan!" sapa seekor kucing orange yang diberi nama si Cantik.

"Halo, juga Cantik!" balas salah seekor trocokan dari atas dahan.

"Kalian ... tumben bisa bersama-sama datangnya!" lanjut si kucing penasaran.

"Iya, Kawan. Warna jingga dan merah buah amazone ini tampak merona dilihat dari angkasa. Itulah sebabnya kami datang dan terbang dari segala arah!" jawab seekor kutilang menimpali.

"Memang, enakkah?" selidik si kucing betina itu.

"Manis banget! Hanya sayangnya daging buahnya sangat tipis!" seru salah seekor trocokan yang tidak sedang makan.

"Bener! Kalau buah yang matang rantingnya gampang sekali patah. Ketika kami patuk, langsung jatuh, deh!" seru burung trocokan yang lain.

"Iya, aku pikir tangkai buah masak ini sangat rapuh!" timpal yang lain.

"Kalau mau, bijinya bisa digoreng juga, loh!" ujar salah seekor burung kutilang senior.

"Memang, bisa?" tanya trocokan.

"Aku melihat di tempat lain, Kawan. Si ibu pemilik lahan itu mengumpulkan biji-biji amazone yang jatuh, dibersihkan, dijemur, lalu digoreng sangrai. Namanya kacang arab!" jawab burung senior.

"Wuahh ... kalau begitu, Allah menumbuhkan pohon dan buah ini sangat berguna bagi semua makhluk ciptaan-Nya, ya?" seekor trocokan merasa bersyukur.

"Iya! Bahkan, codot pun yang disebut sebagai pemangsa buah-buahan itu juga berguna bagi manusia, loh!" urai si senior bangga.

"Mosok, sih?" beberapa burung liar lain keheranan.

"Iyalah. Empedu dan daging codot itu sebagai obat bagi penderita asma. Konon di Kediri banyak anggota masyarakat yang menjual daging codot sebagai obat ini!"

"Wuaahh ... kita harus bilang ke kerabat codot, nih. Hati-hati dengan manusia!" ujar salah seekor kutilang muda.

"Hahaha ... Kediri sangat jauh dari sini, Kawan! Jangan berita itu kita beritakan pada mereka. Biarkan saja mereka hidup bahagia. Sejelek dan sejahat apa pun, para codot juga menyebarkan benih tanaman buah kok sebenarnya. Hanya, sayangnya ... manusia lebih menyukai benih yang cepat tumbuh, misalnya dengan model setek. Kalau menunggu dari biji, bisa jadi berbuahnya puluhan tahun kemudian!" jelas si senior serius.

"Oh, begitu, ya! Kalau begitu kita beruntung ya, pemilik lahan ini menanam pohon amazone dibiarkan tinggi seperti ini. Sepertinya dikhususkan untuk kita!"

"Ya, betul. Namun, mereka juga menginginkan mendengar kicau kita. Kalau mendengar suara kita berkicau riang, hati mereka pun ikut senang!"

"Begitukah?" tanya trocokan muda.

"Iya. Aku kan senior! Harusnya kita take and give, ya. Saling memberi dan menerima. Simbiosis mutualisme, gitu! Apalagi, aku juga sering mendengar para manusia itu mencari kegembiraan dengan cara apa pun. Katanya, sih ... hati yang gembira itu adalah obat!"

"Waow! Kamu burung hebat! Banyak mengetahui seluk-beluk kondisi manusia!" seru seekor kutilang muda.

"Simbiosis mutualisme itu apa?" tanya seekor burung muda.

"Oh, artinya saling membantu. Sama-sama berguna, gitu. Kalau mereka menyediakan makanan, kita wajib berterima kasih dengan memberikan nyanyian, kicauan merdu! Begitu!" jelasnya rinci.

"Waahh ... hebat-hebat!" puji beberapa ekor hewan bersamaan.

Kutilang dan trocokan liar sebagai sesama burung pekicau memang selalu akur, kawanan mereka tidak pernah bertempur.

"Kamu pun bisa hebat. Syaratnya ... banyak mendengar dan menyimpan apayang didengar itu di dalam hati. Lalu, diterapkan pada situasi yang sesuai!" ujar si senior merendah.

"Hai, kucing betina yang cantik!" sapa senior kepada kucing yang sedang melamun di bawah pohon.

"Kamu sedang ngapain?" lanjutnya.

"Hmm ... sebenarnya ... aku sedang berduka. Anakku tiga hari lalu meninggal dunia!" cerita si Cantik dengan mata berkaca-kaca.

"Oh, begitu. Aku ikut berbela sungkawa, ya! Tapi ... saranku, jangan terlalu larut dalam duka. Ingat, hati yang gembira adalah obat! Bergembiralah, Kawan!"

"Iya, terima kasih!" jawab si kucing mengangguk.

"Anggaplah belum rezekimu. Segala sesuatu kalau memang dikehendaki Allah, pasti akan terjadi sesuai kehendak-Nya itu. Pasti ada maksud baik. Jangan berburuk sangka kepada-Nya!"

"Iya, mungkin ... aku masih terlalu muda. Usiaku memang belum setahun, tetapi aku sudah hamil. Entahlah, dua bulan lalu ada kucing jantan yang membuatku hamil. Karena itu, air susuku tidak keluar. Jadi, anakku cuma bertahan 50 jam saja," ujar si Cantik.

"Ya, sudah. Ikhlaskan saja! Biarlah yang telah terjadi itu sebagai pembelajaran. Hati-hati saja kalau ada pejantan," nasihat si burung senior.

"Baiklah, Kawan. Terima kasih atas nasihatmu! Aku izin masuk ke dalam rumah. Barangkali Majikanku mencariku. Kalian lanjutkan acaranya!" pamitnya santun.

"Iya, jangan bersedih lagi, ya! Ingatlah hati yang gembira adalah obat!"

"Siap, bye bye!" si kucing pun melambaikan tangan sambil berlalu menuju rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun