Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Dia Tiada

28 Agustus 2024   10:25 Diperbarui: 28 Agustus 2024   10:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah Dia Tiada
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Sudah begitu lama tidak ada beritanya, sekitar setahunan, tiba-tiba hari ini terjadi peristiwa mengejutkan. Baru saja dia mengirimkan pesan via Whatsapp.

"Hai, apa kabar?"

"Oh, kabar baik. Semoga kamu juga baik-baik saja."

"Terima kasih sudah dibalas. Kukira nomorku dihapus."

"Ooh, aku bukan pendendam. Masa lalu sudah kulupakan semuanya."

Beberapa saat kemudian dikirimlah foto seseorang berada di peti mati. Seorang perempuan. Aku kaget.

"Siapa ini?"

"Beby."

"Oh, RIP ...!"

"Maafkan semua kesalahannya."

"Iya, aku sudah melupakan semuanya kok."

***

Empat tahun silam ....

Sejak sekitar tahun 2011 silam, aku suka dengan aplikasi satu ini: facebook. Media tersebut menjadi tempat rekreasi dan relaksasi di malam hari ketika lepas dari rutinitas kantor. Bahkan, aku memiliki dua akun dengan nama berbeda. Satu dengan menggunakan nama dan profil foto sendiri, sedang satunya lagi dengan nama dan foto bukan nama sendiri.

Aku menggunakan nama samaran, salah satunya karena ingin berteman dengan para siswa untuk mengamati aktivitas mereka di dunia maya. Foto profilku gambar bunga yang kubuat dari bunga-bunga indah, baik dari taman bungaku maupun dari milik orang lain. Aku memang maniak bunga sehingga kalau ada bunga bagus, cantik, unik, dan indah pasti menjadi sasaran empuk kamera gawaiku. Nah, dua akun tersebut eksis kugunakan karena aku memiliki dua handphone berbeda. Dengan demikian, dua-duanya selalu aktif sehingga tidak kelihatan kalau pemiliknya hanya satu.

Selama itu, dua akunku aman-aman saja. Namun, tentu saja ada perbedaan kegunaan. Akun duplikatku, aku tidak menyebut sebagai akun palsu, aku gunakan untuk misi tersembunyi, mengikuti aktivitas siswaku. Dengan demikian, aku berteman dengan mereka, mengikuti tanpa setahu mereka. Aku juga mempergunakannya sebagai sarana berlatih berbahasa Inggris. Karena itu, aku berteman dengan beberapa orang yang berasal dari luar negeri, seperti India, Filipina, dan lainnya.

Di akun tersebut aku menggunakan nama bunga, tanpa usia, dan tanpa keterangan lengkap. Yang kuunggah berbagai quotes, puisi, dan lelucon sesuai usia remaja. Maklum, misiku memasuki dunia remaja para siswaku. Sekalian sebagai bahan laporan untuk aktivitas bimbingan konseling di sekolah.

Menggunakan dua akun facebook-ku ini aku berteman dengan banyak orang, beberapa berasal dari Pulau Nias. Temanku ini baik dan sangat sopan. Aku pun selalu memberikan apresiasi kalau dia mengunggah aktivitas di beranda facebook-nya. Kalau tidak sedang sibuk, aku pun memberikan komentar secara santun. Kadang juga bergurau sewajarnya.

Selain temanku itu, beberapa orang dari berbagai daerah lain juga menjadi teman facebook-ku. Banyak sekali, hampir lima ribuan ....  Nah, salah seorang teman sering berkeluh kesah tentang kehidupannya. Seorang pemuda yang awalnya mengaku lajang dengan kemampuan sebagai organis di gereja setempat. Dia mengemukakan betapa sulit hidup di daerah tersebut. Tanpa kemampuan lain, menjadi penadah getah karet atau pekerjaan serabutan lain.

Penghasilan sebagai organis, hanya kalau sedang ramai acara adat, tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Dari gereja pun tidak memperoleh honor tetap untuk pelayanannya. Maka, layak 'kan kalau aku ikut merasa prihatin membaca kesaksiannya?

"Kalau ke Medan, aku bisa memperoleh pekerjaan," tulisnya.

"Kerja apa?" selidikku.

"Dulu aku pernah ikut salon. Aku bisa potong rambut di Barbershop ternama. Gajinya lumayan."

"Wah, baguslah."

"Tapi ... aku tidak punya ongkos untuk ke sana."

Itu antara lain inti percakapan kami di messenger.

Aku tidak menghiraukannya. Namun, suatu saat entah bagaimana, aku memberikan komentar pada unggahannya saat sedang siaran langsung memainkan keyboard pada suatu pesta. Berawal dari komentarku itu, seseorang tiba-tiba mengirimkan pesan pada messenger-ku.

"Hai, perempuan gila! Dasar perempuan gatal! Ingatlah suamimu. Jangan ganggu lelakiku!"

Aku tersentak dengan pesan tersebut. Berintrospeksi diri. Siapakah orang ini sehingga mengataiku seperti itu. Tidak menunda-nunda, aku menanyakan kepada pemuda itu, mengapa seseorang mengatai aku seperti itu. Siapa dia dan ada hubungan apa dengannya?

Di sisi lain, aku  pun meminta berteman dengan perempuan itu menggunakan akun yang satu. Diterima. Rupanya perempuan itu tidak mengetahui kalau itu aku. Nah, dari sana aku ketahui foto-foto yang diunggah oleh ibu tersebut. Masih lumayan muda, cantik, berusia sekitar empat puluhan, seorang tenaga pendidik berstatus PNS. Sekaligus janda tanpa anak. Suaminya  meninggal beberapa bulan sebelumnya.

Memperoleh pesan dengan kata-kata menyakitkan itu, sebenarnya sangat meresahkan dan membuatku tidak damai sejahtera. Sedih, sakit, marah, sekaligus malu berbaur menjadi satu. Namun, aku masih bertahan.

Entah bagaimana, aku sudah lupa, akhirnya aku mengirim ongkos perjalanan kepada si pemuda untuk bisa bekerja di Medan. Menurutku aku hanya ingin memberikan peluang agar hidupnya lebih baik tanpa embel-embel kepentingan apa pun. Aku mengirimkan dengan ikhlas dan tanpa beban. Lumayan, satu kali gajiku selama sebulan.

Apalagi saat itu pemuda berusia 29 itu mengemukakan agar aku menolongnya hingga tidak terjerat oleh obsesi si janda muda. Dia harus memiliki pekerjaan. Satu-satunya cara adalah dengan mencari pekerjaan di Medan.

Ternyata, setelah itu, salah seorang teman pemuda tersebut mengirim messenger kepadaku mengatakan bahwa aku terlalu baik sehingga mudah dibohongi orang. Aku terhenyak. Saat itu dikirimkanlah foto sebagai bukti bahwa pemuda tersebut sebenarnya telah memiliki istri, bahkan empat orang anak. Ha?

Keempat anak itu masih kecil-kecil, sulung kelas 1 SD, dan adik-adiknya berjarak sekitar dua tahunan. Bahkan, bungsu masih bayi. Dikatakan juga bahwa dia tidak memiliki pekerjaan tetap. Kata teman itu secara tersirat intinya si pemuda memang sering memanfaatkan pertemanan di facebook untuk menggaet mangsa, menipu, dan memperoleh keuntungan finansial.
Wah ....

Awalnya aku pun masih belum percaya. Betapa teman sebaik dan sesantun itu, tega berbuat demikian. Sejujurnya aku ingin mengklarifikasi dengan menanyakan langsung kepadanya. Namun, itu tidak kulakukan. Aku ingin mengetahui permainannya, maka aku pura-pura tidak tahu.

Setelah kukirim ongkos ke Medan, dia benar-benar ke Medan, tetapi justru menemui janda muda yang katanya siap memberikan pekerjaan dan segala sesuatu kepadanya. Namun, dengan imbalan ... diminta untuk menikahinya. Alasannya, sayang harta warisan sebanyak itu akan sia-sia ... entah jatuh ke tangan siapa kalau dia tidak menikah lagi.

Sementara, unggahan di facebook-nya semakin berani. Tidak segan-segan mengunggah kebersamaan dan kemesraan. Antara keduanya saling menunjukkan cinta dan perhatian walaupun secara usia tidak seimbang. Nah, bukankah cinta itu buta? Cinta tidak memandang usia? Katanya enteng. Di dalam komentar-komentar unggahannya pun tidak ada rasa malu lagi memanggil dengan sebutan sayang, atau sebangsanya.

Akhirnya, aku tidak tahan untuk tidak menanyakannya secara langsung. Namun, yang terjadi adalah: aku diblokirnya!
Sebenarnya, ketika merasa tertipu, dia mengaku lajang ternyata sudah memiliki istri dan empat anak, aku kecewa. Namun, yang namanya facebook, hidup di dunia maya, siapa bisa menyalahkannya? Sah-sah saja. Itu sebagai haknya, menurutku. Sama seperti aku yang menggunakan akun dengan nama samaran. Bedanya, aku tidak menjalin hubungan melebihi teman karena aku tidak menanggapi messenger atau telepon siapa pun untuk menjalin hubungan lebih jauh. Aku tidak mengaktifkan aplikasi messenger pada akun pseudonim-ku.

Ya, sudahlah ... justru ketika aku diblokir oleh teman yang mengaku perjaka ini, aku menjalin pertemanan dengan keluarga teman sekaligus tetangga, bahkan saudara sepupunya. Abang ini, suami istri, memiliki akun facebook. Mereka sangat tidak menyukai perilaku teman penipuku itu. Oleh karenanya sengaja mencari teman-teman yang menjadi mangsa penipuan, satu di antaranya adalah aku.

Aku berterima kasih atas kebaikannya untuk memberitahukan hal sebenarnya sehingga bisa berhati-hati dan tidak mudah terkecoh kebaikan orang lain di aplikasi facebook tersebut.

***

Hampir tiga tahunan aku diblokirnya. Aku tenang saja. Kupikir, sudahlah. Mungkin, saat aku dengan rela mengirim ongkos perjalanan itu, aku dijadikan-Nya penyalur berkat untuknya. Aku sudah tidak memikirkannya lagi. Sudah benar-benar lupa. Entah kapan, beberapa bulan lalu tiba-tiba pemuda penipu itu mengirimkan pesan di WhatsApp. Dia sempat meminta maaf.

Ketika awal-awal dikata-katai oleh perempuan yang mengaku kekasih teman penipuku itu, aku tidak terima. Sakit sekali hati ini. Namun, seiring perjalanan waktu, aku menyadari bahwa mungkin dia cemburu sehingga tidak mampu mengontrol emosi. Akibatnya, tertulislah kata-kata sumpah serapah yang luar biasa buruk itu untukku.

Saat itu aku teringat bahwa harus mampu melakukan Matius 6:12 ini, "Ampunilah kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami!" satu dari beberapa kalimat doa yang diajarkan Tuhan ini, harus mampu kuaplikasikan di dalam hidup. Nah, kapan aku dimampukan mengampuni kalau tidak ada permasalahan? Maka, aku percaya bahwa permasalahan itu ada, atas seizin dan kehendak-Nya agar aku benar-benar mampu menjadi pelaku firman-Nya. Khususnya dalam hal ini mampu mengampuni kesalahan orang lain. Seperti dalam Lukas 11:28, "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya."

Ya, bersyukur aku dimampukan memaafkan jauh sebelum dia meminta maaf. Kami menjalin pertemanan kembali, tetapi sebagai teman yang biasa saja. Tidak seperti beberapa tahun silam dengan menampung curhatnya.

Dulu, aku sering mengirimkan pulsa kepadanya. Maksudnya agar dia tidak memiliki kendala dan bisa mengemukakan kesulitan sehingga bisa dibawa dalam doa bersama-sama. Namun, sejak tahu kalau menipu, aku tidak pernah lagi mengirimkan pulsa.

Saat itu aku pernah mengatakan kepadanya demikian, "Benar ya ... tak kenal itu tak sayang ... artinya, kalau tidak mengenal siapa diriku, orang bisa saja menyebut aku perempuan gatal!"

"Maafkanlah!" tulisnya menyertakan simbol emoticon menangis dan aku hanya membalas dengan mengirimkan simbol tersenyum.

Di antara kami tidak pernah lagi bisa menuliskan pesan dengan lancar. Ada semacam ganjalan yang membuatku malas. Malas untuk menulis. Malas juga untuk sekadar mengirimkan say hello ...

"Ah, sekali penipu tetap penipu!" pikirku.

Akan tetapi, ada bisikan di dalam hatiku, "Kapan orang akan bertobat kalau kamu tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bertobat?"

Lalu berseliweranlah caption, "Don't judge book by its cover!"  

"Ya, Allah jangan biarkan aku menghakimi sesamaku. Kalau aku menghakimi, lalu ... apa bedanya aku dengan dia?" desahku penuh sesal. Aku pun memohon pengampunan kiranya Tuhan berkenan membersihsucikan hatiku dari kerak dosa!

Namun, aku sudah tidak peduli lagi padanya. Tidak pernah lagi mendahului mengirimkan pesan kepadanya. Tidak terpikirkan lagi! Tiba-tiba hari ini pesannya sampai juga. Mengabarkan bahwa wanita yang dulu pernah mencemburuiku telah meninggal dunia. Wanita yang dulu mengolokku luar biasa dan memintanya untuk memblokir akun facebook dan nomor teleponku itu, bulan lalu sudah tiada. Meninggal karena menderita asam lambung akut. Karena itu, dikatakannya demikian.

"Aku add  FB-mu, ya ... please konfirmasi!"

Dalam hati aku ingin tertawa, tetapi takut berdosa. Begitu takutnya dia dengan perempuan kekasih dunia mayanya itu .... Hmmm, ... seandainya si wanita belum meninggal, mungkin dia tidak akan pernah meminta pertemanan lagi di facebook-ku .... Aku hanya menjawab pesan itu dengan singkat, "Iya."

Malang, 30 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun