Apalagi saat itu pemuda berusia 29 itu mengemukakan agar aku menolongnya hingga tidak terjerat oleh obsesi si janda muda. Dia harus memiliki pekerjaan. Satu-satunya cara adalah dengan mencari pekerjaan di Medan.
Ternyata, setelah itu, salah seorang teman pemuda tersebut mengirim messenger kepadaku mengatakan bahwa aku terlalu baik sehingga mudah dibohongi orang. Aku terhenyak. Saat itu dikirimkanlah foto sebagai bukti bahwa pemuda tersebut sebenarnya telah memiliki istri, bahkan empat orang anak. Ha?
Keempat anak itu masih kecil-kecil, sulung kelas 1 SD, dan adik-adiknya berjarak sekitar dua tahunan. Bahkan, bungsu masih bayi. Dikatakan juga bahwa dia tidak memiliki pekerjaan tetap. Kata teman itu secara tersirat intinya si pemuda memang sering memanfaatkan pertemanan di facebook untuk menggaet mangsa, menipu, dan memperoleh keuntungan finansial.
Wah ....
Awalnya aku pun masih belum percaya. Betapa teman sebaik dan sesantun itu, tega berbuat demikian. Sejujurnya aku ingin mengklarifikasi dengan menanyakan langsung kepadanya. Namun, itu tidak kulakukan. Aku ingin mengetahui permainannya, maka aku pura-pura tidak tahu.
Setelah kukirim ongkos ke Medan, dia benar-benar ke Medan, tetapi justru menemui janda muda yang katanya siap memberikan pekerjaan dan segala sesuatu kepadanya. Namun, dengan imbalan ... diminta untuk menikahinya. Alasannya, sayang harta warisan sebanyak itu akan sia-sia ... entah jatuh ke tangan siapa kalau dia tidak menikah lagi.
Sementara, unggahan di facebook-nya semakin berani. Tidak segan-segan mengunggah kebersamaan dan kemesraan. Antara keduanya saling menunjukkan cinta dan perhatian walaupun secara usia tidak seimbang. Nah, bukankah cinta itu buta? Cinta tidak memandang usia? Katanya enteng. Di dalam komentar-komentar unggahannya pun tidak ada rasa malu lagi memanggil dengan sebutan sayang, atau sebangsanya.
Akhirnya, aku tidak tahan untuk tidak menanyakannya secara langsung. Namun, yang terjadi adalah: aku diblokirnya!
Sebenarnya, ketika merasa tertipu, dia mengaku lajang ternyata sudah memiliki istri dan empat anak, aku kecewa. Namun, yang namanya facebook, hidup di dunia maya, siapa bisa menyalahkannya? Sah-sah saja. Itu sebagai haknya, menurutku. Sama seperti aku yang menggunakan akun dengan nama samaran. Bedanya, aku tidak menjalin hubungan melebihi teman karena aku tidak menanggapi messenger atau telepon siapa pun untuk menjalin hubungan lebih jauh. Aku tidak mengaktifkan aplikasi messenger pada akun pseudonim-ku.
Ya, sudahlah ... justru ketika aku diblokir oleh teman yang mengaku perjaka ini, aku menjalin pertemanan dengan keluarga teman sekaligus tetangga, bahkan saudara sepupunya. Abang ini, suami istri, memiliki akun facebook. Mereka sangat tidak menyukai perilaku teman penipuku itu. Oleh karenanya sengaja mencari teman-teman yang menjadi mangsa penipuan, satu di antaranya adalah aku.
Aku berterima kasih atas kebaikannya untuk memberitahukan hal sebenarnya sehingga bisa berhati-hati dan tidak mudah terkecoh kebaikan orang lain di aplikasi facebook tersebut.
***
Hampir tiga tahunan aku diblokirnya. Aku tenang saja. Kupikir, sudahlah. Mungkin, saat aku dengan rela mengirim ongkos perjalanan itu, aku dijadikan-Nya penyalur berkat untuknya. Aku sudah tidak memikirkannya lagi. Sudah benar-benar lupa. Entah kapan, beberapa bulan lalu tiba-tiba pemuda penipu itu mengirimkan pesan di WhatsApp. Dia sempat meminta maaf.