Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kaca Segitiga

26 Agustus 2024   21:31 Diperbarui: 26 Agustus 2024   21:35 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaca Segitiga
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Hah, kaca segitiga?" senandikaku. 

"Hufff .... Untunglah, aku tidak kenapa-napa! Walaupun berukuran sangat kecil, sekitar satu sentimeter tiap sisi, jika kena telapak kaki pasti akan menimbulkan masalah berkepanjangan!" gumamku setengah suara.

Jauh sebelum kejadian itu, berulang-ulang suami bilang, "Kalau berada di tempat yang tidak dapat diprediksi, jangan lupa gunakan alas kaki. Jangan pernah bertelanjang kaki! Antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan!"

"Mana pernah aku bertelanjang kaki, kecuali lagi pijat refleksi di atas batu taman hias itu sih, Pa?" protes kerasku cukup lantang.

Harus kusampaikan dengan lantang karena pendengaran beliau yang berusia 82 tahun memang sudah sangat berkurang. Jadi, tidak bisa mendengar kalau aku menggunakan volume biasa. Mungkin, bagi orang lain terdengar seperti bertengkar. Padahal, jika tidak kencang, beliau tidak bisa menangkapnya dengan baik. Bersyukur kondisi kesehatannya secara umum masih sangat prima.

"Mesti, loh. Kalau dibilangi itu jangan ngeyel, napa?"

"Hehehe ... iya, iya! Aku pasti manut, kok! Don't worry be happy!" tambahku mencandai menyitir salah sebuah iklan tenar.

"Gunakan sepatu boot yang telah kubelikan, sebagai antisipasi kalau ada sesuatu. Misalnya, hewan berbisa atau seng berkarat!"

"Siap!"

***

Pagi tadi, seperti biasa, aku menjelajahi kebun untuk mencari belalang atau ulat yang biasa menggerogoti daun pohon jeruk bali kerdil di halaman sebelah rumah. Mencari hama seperti itu memang sering kulakukan karena walaupun si suami lelaki, beliau tidak berani berhadapan dengan jenis serangga dan hama predator tersebut. Jadi, akulah yang harus bertindak kalau tidak  mau daun jeruknya rusak.

Seperti biasa pula, si Kumoru, kucing moto (bermata) biru kesayangan selalu ikut sambil merengek meminta sejenis rumput gancing. Mengeong-ngeong, menggesek-gesekkan bulu badan ke arah betis kaki yang cukup bikin geli.
Aku pun tahu maunya. Ya, dia mau aku mencarikan gancing untuknya. Seperti biasa. Jadi, aku sudah mengenali kemauannya. Hehe ... beberapa jenis bahasa kucing yang sudah kuhafal setelah sekian lama bergaul dengannya.

"Gancing? Apaan?"

Ya, rumput itu di internet disebut 'gancing,' akronim dari ganja kucing. Hal itu karena jenis rumput anting-anting tersebut sangat disukai kucing. Akarnya akan digunakan sebagai sahabat bergulingan sambil dijilat-jilat, bahkan dimakan dengan lahap.

Nah, karena di lahan kami tidak ada rumput gancing lagi, aku harus menyeberang ke halaman depan. Sebuah lahan tidur yang benyak ditumbuhi berbagai jenis bayam dan rerumputan liar, termasuk jenis gancing. Sayang, lahan tersebut memang digunakan oleh masyarakat yang tidak peduli untuk membuang sampah secara sembarangan.

Atas saran pemuka masyarakat, pemilik lahan sebelum musim penghujan silam berkenan membersihratakan lahan itu. Lahan yang semula  ditumbuhi beberapa pohon pepaya liar, semuanya dipotong hingga rata dengan tanah. Setelah rata dengan tanah, musim penghujan pun tiba. Dengan demikian, muncullah aneka jenis bayam liar yang bisa kupetik setiap saat.

Namun, sekitar sepuluhan hari ini belakangan ini tumbuhan liar tersebut tumbuh tak beraturan sehingga dipangkas habis entah oleh siapa. Alasannya hendak digunakan sebagai lahan parkir. Dengan demikian, dampaknya kian sedikit bayam yang bisa dipetik. Bahkan, tadi pagi sudah tidak ada lagi pucuk bayam yang bisa kuselamatkan. Ya, bayam itu kugunakan sebagai bahan juice atau tambahan membuat mi rebus.  

Tanpa sepengetahuanku, secara tidak sadar si kucing ternyata menyeberang, mengikutiku ke lahan tidur tersebut. Padahal, kondisi kontur tanah di rumah dan jalanan depan rumah kami ini bagai di dasar mangkuk. Di sebelah kiri dan kanan jalan turun, berbelok tajam, dan menanjak dengan kemiringan di atas 35 derajat. Karena itu, tidak ada kendaraan, baik roda dua maupun roda empat yang jalan melambat. Semua jenis kendaraan dengan laju cukup kencang karena persiapan hendak menanjak kembali.

Sementara itu, kondisi lahan tidur sudah tidak lagi rata dengan tanah, tetapi kembali banyak gundukan bongkaran tanah dan kayu yang dibuang ke sana. Jadilah tempat pembuangan sampah kembali, seri kedua. Namun, untungnya aku masih bisa menemukan beberapa tumbuhan gancing.

Setelah menemukan dan mencerabut hingga akar-akarnya, aku pun segera menggendong si Kumoru hendak kuajak pulang. Biasanya cukup tantrum karena masih ingin menikmati kebebasannya di lahan tak beraturan itu. Namun,  tetap kugendong dengan sedikit kutekan agak kencang dan kuajak  menyeberang untuk pulang.

Tetiba, kaki kananku terasa seperti tertusuk. Dengan hati-hati segeralah si kucing kubawa masuk rumah dan kulepaslah sandal jepitku. Ternyata, ada segitiga kaca sama kaki berukuran sekitar lebih kurang satu centimeter menancap di ujung sandal kanan. Beruntung sekali tidak mengenai jemari kakiku. Segera kucerabut dan kubuang ke got yang menuju sungai. Tentu saja got sedalam dua meter itu tak bakalan dilalui seseorang sehingga si segitiga kaca tidak akan melukai siapa pun lagi.  

***

Aku merenung sendiri. Semalam aku susah tidur sehingga memuji memuliakan-Nya dengan bersenandung. Beruntung sekali kiri kanan, muka belakang rumah, kami tak mempunyai tetangga. Depan rumah arah seberang adalah rumah kosong, ada satu rumah jauh di belakangnya juga, sih. Kanan sebuah sungai lumayan besar dan lancar, belakang rumah lahan kosong, sedangkan kiri adalah lahan parkir gereja yang tentu saja selalu sepi kecuali Minggu pagi. Jadi, mau berteriak sekencang apa pun, tidak akan mengganggu siapa pun. Asyik, bukan? Ahaha ....

Ketika kita senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, Allah berkenan mengenyahkan bahaya dan malapetaka. Seandainya tangan kuasa-Nya tidak menolongku, bisa saja kakiku tergores atau bahkan tertusuk kaca segitiga yang sangat runcing dan tajam itu, 'kan?  

Nah, pelajaran apa yang kuperoleh dari kaca segitiga ini? Banyak! Satu di antaranya, harus berhati-hati saat membuang barang yang kemungkinan besar bisa mengenai, melukai, atau menyakiti orang lain. Harus dipikirkan agar tidak sembarangan membuang sampah, terutama yang bisa membahayakan keselamatan sesama.  Sebagai wujud mengasihi sesama, kita harus dan wajib memperhitungkan dan mempertimbangkan banyak hal jika hendak melakukan sesuatu, khususnya yang berkaitan dengan keselamatan jiwa.  

Soli deo gloria

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun