Ketika Hujan Tiba
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
  Â
Aku adalah satu di antara beberapa ekor ikan koi yang dipelihara di suatu kolam air tawar. Namun, hujan yang sangat deras hari itu membuat air melimpah ruah dan aku terlempar dari kolam. Entah ke mana teman-temanku yang lain, aku tidak tahu. Akan tetapi, yang jelas aku terbawa arus deras.
Rupanya, tibalah aku di sebuah aliran sungai. Sungguh arus deras membawaku ke tempat yang tidak kuketahui. Arus air di tempat itu menjadi sangat kencang, membuat ikan koi sepertiku terseret oleh arus tak terkendali.
Aku tidak bisa melihat apa pun saat itu, hanya terdengar suara gemuruh air yang saling bertabrakan. Bernapas juga sangat sulit, seluruh badanku terombang-ambing.
Hanya  berpasrah diri yang bisa kulakukan. Entahlah  akan dibawa ke mana oleh arus ini. Oh, tidak, kepalaku mulai terasa pusing, sepertinya aku akan pingsan.
 Ah, akhirnya aku tersadar. Aku telah pingsan berkali-kali karena kejadian itu dan sekarang aku sudah sadar. Rupanya seharian aku berada dalam kondisi tidak nyaman. Akan tetapi, di mana ini? Tampak di dasar air terdapat tanah dan pasir, sepertinya aku tahu ini di mana.
Untuk memastikan dugaanku, aku naik ke permukaan. Ternyata  benar, saat ini aku berada di sebuah telaga atau waduk. Hebat juga aku bisa dibawa sampai ke tempat ini.
Aku adalah seekor ikan koi Showa Sanshoku atau Showa Sanke jantan. Secara fisik, tubuhku memiliki tiga warna, yaitu hitam, merah, dan putih. Semula aku hidup di tempat nyaman, yakni di sebuah kolam air tawar di kota. Akan  tetapi, saat ini aku baru saja tersadar dari pingsan. Setelah  diriku terseret oleh arus yang sangat kencang, tibalah aku di tempat ini. Kayaknya sebuah telaga lumayan luas.
Oleh  pemilikku, aku diberi nama Koisan.Â
Eh, telaga, ya? Atau waduk kata manusia, ya? Semula aku hanya pernah mendengar ceritanya saja.
 "Jadi, bagaimana caraku pulang, ya? Pasti perjalananku sangat jauh! Apalagi, aku tidak sempat melihat perjalanan karena selama itu aku pingsan terus-menerus," senandikaku dalam kebingungan.
 "Koi? Kamu ikan koi?" kudengar suara halus dari samping kanan depan.
Rupanya ada ikan lain yang melihatku. Sepertinya, ia merasa heran mengapa ikan koi sepertiku bisa berada di tempat seperti ini.
Ternyata, ia adalah seekor ikan gurame jantan, badannya pipih agak panjang dan lebar. Sisiknya terlihat sangat kuat dengan tepi agak kasar. Sirip punggung, dubur, dan ekor terlihat sangat khas. Sepertinya ikan gurame ini masih terdiam memandangiku. Terpesona.
Karena  mulai terasa risi sedikit malu, akhirnya aku memberanikan diri dengan mulai  berbicara padanya.
"Halo? Kamu baik-baik saja? Halo?" Ia masih terus melihat ke arahku. "Aduh, maaf. Baru kali ini aku melihat ikan Koi sepertimu. Aku  langsung terpesona," katanya jujur.
Tatap nanar ikan  gurame itu tidak lepas dari sosok ragaku. Rupanya, ia sangat kaget sekaligus kagum padaku.
"Aku juga baru melihat ikan gurame sepertimu, Kawan!" ujarku padanya.
"Begitukah? Tapi melihat ikan gurame sepertiku tidak ada menariknya, kan? Sangat berbeda dengan ikan koi sepertimu yang memiliki warna indah!"
Ikan  gurame itu tampak insecure saat membandingkan dirinya denganku.
 "Tidak, kamu salah! Ikan gurame sepertimu terlihat sangat kuat dan gagah. Kamu  harus percaya diri," pujiku padanya.
 "Benarkah? Terima kasih, Kawan! Aku  senang mendengarnya!"
"Iya, masing-masing ciptaan ada gunanya sendiri-sendiri! Kalau jenismu dimanfaatkan sebagai bahan pangan dengan kandungan nutrisi luar biasa, aku diciptakan sebagai ikan hias. Namun, apa pun fungsinya, kita pasti akan berguna. Allah telah menciptakan kita dengan bijaksana!" uraiku.
"Hmm, benar juga, sih! Terima kasih atas pujianmu!" lirihnya malu-malu.
"Oh ya, namaku Koisan. Aku baru saja tersadar dari pingsan. Saat  hujan deras aku terbawa arus air sampai ke sini." Kuperkenalkan diri dengan memberitahu kondisiku saat ini.
 "Wah, untung saja kamu masih selamat. Namaku Ramiu, salam kenal."
 Â
"Aku sepertinya mulai kelaparan. Ramiu, kamu tahu di mana aku bisa mendapat makanan?" tanyaku padanya.
Â
"Oh, kalau begitu mampir saja ke sarangku. Aku bisa memberimu beberapa makanan, tapi tidak  banyak," jawab Ramiu.
"Tidak apa-apa, malah aku bersyukur bisa mendapat tawaran makanan darimu. Terima kasih," ujarku dengan wajah berseri.
"Sama-sama, kalau begitu ikuti aku," kata Ramiu.
Â
Lalu, kami berdua berenang menuju sarang Ramiu. Sarang itu agak jauh. Menjorok masuk ke dalam, lebih sepi dari tempat pertemuan tadi. Arusnya tenang, airnya jernih sekali.
Di sepanjang perjalanan, terlihat beberapa tumbuhan seperti lumut, lotus, dan lainnya menghiasi sungai. Ya, bukan lagi di telaga, melainkan menuju anak sungai. Sementara, ikan lainnya juga tampak sedang berenang ke sana kemari walau tidak banyak.
Ada juga ranting kayu tenggelam, daun-daun kering mengambang, bebatuan menonjol sampai ke permukaan. Airnya bukan hanya jernih, melainkan juga sangat segar. Aliran  sungai pun tidak terlalu kencang. Hmmm, senangnya.
 Sampailah kami berdua di sarang Ramiu. Rupanya, sarang itu adalah celah di antara bebatuan. Lubang celah cukup besar untuk Ramiu keluar masuk.
Setelah menunggu, Â Ramiu yang berada di dalam untuk mengambil makanan, kembali keluar. Ia menggunakan sebuah wadah plastik kecil untuk menampung jentik nyamuk dan kutu air yang ia kumpulkan.
"Makanannya mungkin akan menyebar ke mana-mana setelah tutupnya kubuka, Kawan! Kamu  siap-siap menangkapnya, ya!" Â
Hebat juga Ramiu si ikan gurame bisa membuka dan menutup wadah plastik seperti itu.
"Satu, dua, tiga! Koisan, sekarang!"
Aku mulai gesit memakan jentik nyamuk dan kutu air itu dengan meliukkan badan ke sana kemari. Akan tetapi, cukup sulit juga, sih. Lumayan melelahkan!
Saat sedang menikmati makanan itu, tiba-tiba datang seekor ikan yang melaju dengan sangat kencang ke arah kami. Kemudian, blum! Ikan itu menabrak Ramiu sehingga semua makanan di wadah menyebar ke mana-mana. Ikan itu juga  menyantap seenaknya saja makanan milik Ramiu.
 Beberapa kali Ramiu berteriak memohon kepada ikan itu untuk berhenti, tetapi tidak dihiraukan. Bahkan, ia menertawakan Ramiu.
Si ikan penjarah itu ternyata seekor ikan mas jantan berwarna keemasan. Namanya Goldy.  Mereka  berdua ternyata sudah saling mengenal. Namun, dengan rakus Goldy  memakan persediaan makanan itu tanpa seizin Ramiu. Dengan demikian, habislah sudah semua persediaan makanan milik Ramiu.
"Kenyang sekali, lain kali lebih banyak lagi, ya, Ramiu," ucap Goldy  sambil menepuk-nepuk perutnya yang kian membuncit.
Ia malah melenggang-lenggok menari-nari di depan kami. Tentu saja Ramiu merasa kecewa atas perbuatan jahat si Goldy  padanya.
"Jangan dihabiskan Goldy! Itu untuk dia," pinta Ramiu dengan lemas sambil menunjuk ke arahku.
 "Ikan mas, apa yang kau lakukan?! Minta maaf pada Ramiu sekarang!" Dengan kesal aku menyuruh Goldy  meminta maaf pada Ramiu.
"Aku tidak salah apa-apa, harusnya Ramiu lebih hati-hati saja. Kau ini siapanya, berani-beraninya membentakku, ha? Dasar ikan Koi udik! Tadi juga kau sedang memakan makanan milik Ramiu 'kan?"
Goldy  tidak mau meminta maaf. Ia justru malah menuduhku melakukan hal  sama seperti dirinya.
Hampir aku dan Goldy  berkelahi, tetapi dengan cepat Ramiu melerai kami berdua. Akhirnya, Ramiu sudah mengikhlaskan dan menerima perbuatan jahat Goldy  itu. Dengan  sabar ia  mengumpulkan kembali persediaan makanannya.
Sempat kubilang, "Kenapa kau bersikap begitu? Mana ada teman yang merampas seenaknya saja makanan  bukan miliknya?"
Akan tetapi, Goldy  si ikan mas justru tidak mengakui Ramiu sebagai teman dan malah mengejeknya.
"Aku tidak mau berteman dengan ikan gurame jelek seperti Ramiu, hahaha! Apa peduliku pada kalian?"
Setelah  itu, Goldy  pergi meninggalkan kami berdua begitu saja. Ramiu sempat berkecil hati dan menganggap sudah sewajarnya ikan jelek seperti dirinya diperlakukan seperti itu.
 "Semua makhluk hidup patut untuk diperlakukan dengan baik. Semua makhluk layak berbahagia, Kawan! Apalagi  ikan gurame baik hati seperti dirimu ini, Ramiu!" hiburku.
Mendengar penjelasanku, Ramiu merasa membaik. Selanjutnya, kami berdua mulai mengumpulkan makanan lagi untuk menggantikan persediaan makanan  yang telah kosong.
Sore hari telah tiba. Air  sungai saat itu memantulkan cahaya jingga kemerahan dari matahari yang akan terbenam.
"Hmmm ... indah nian swastamita yang begitu memesona!" gumamku.
"Apa katamu, Koisan?" Swas ...,"
"Swastamita, Ramiu. Indah, bukan? Semuanya jadi berwarna jingga!"
"Ohh ... swastamita, ya. Bagus banget. Nama itu sesuai dengan kondisinya ... sama-sama indah!" seru gurame sambil menyembulkan muka ke permukaan air.
Kami berdua telah selesai  mengumpulkan makanan. Disimpanlah makanan itu oleh Ramiu ke dalam wadah dan disembunyikan di sarangnya.
Tetiba ... saat sedang memandangi permukaan air dari dalam sungai, aku melihat kail pancing bergoyang-goyang. Ada tertancap seekor cacing di ujungnya. Karena air begitu jernih, aku bisa melihatnya dari kejauhan.
Aku memperhatikan lebih teliti. Ternyata, ada seekor ikan yang mendekat ke arah kail itu. Tidak  terlalu jelas, tetapi aku rasa ikan itu memiliki warna yang mengkilap terang.
 "Goldy?!" seruku spontan.
Ternyata ikan yang mendekati kail pancing itu adalah Goldy  si ikan mas. Kemudian, Goldy  terjerat! Ia terkena kail pancing.
"Ramiu! Goldy  terjerat kail pancing!" teriakku memanggil Ramiu yang berada di dalam sarang.
 "Apa!? Koisan! Cepat tolong dia!"
Ramiu bergegas keluar dari dalam sarang dan langsung berenang sekuat tenaga ke arah Goldy.
Dengan sekuat tenaga, kutahan benang pancing itu dengan mulut dan siripku. Ramiu berusaha untuk mengeluarkan kail pancing yang menjerat mulut Goldy. Makin  kuat tarikan dari benang itu, aku sudah tidak sanggup lagi  menahan.
"Tetap tahan Koisan! Satu, dua, tiga!"
Kail pancing akhirnya terlepas dari mulut Goldy. Darahnya  menyebar. Sirip punggung Ramiu terpotong menyamping oleh tajam benang pancing itu.
 Setelah kejadian menegangkan terlewati, keesokan harinya, tiba sudah saat aku harus berpisah dengan mereka. Aku sudah bertanya pada Ramiu ke arah mana untuk menuju kota, pagi ini aku siap-siap akan berangkat.
Apa yang kulihat suatu hari itu tidak akan pernah kulupakan selamanya. Goldy  telah menyesali perbuatannya dan mereka sudah  berteman kembali. Goldy berjanji akan mengganti makanan yang telah dihabiskannya. Ia berjanji dan bersedia mencarikan makanan sebagai pengganti ulah jahatnya.
 "Sampai bertemu lagi Koisan! Terima kasih atas segalanya!" ucap Ramiu sumringah.
 Ternyata, hujan yang sangat deras itu, arus sungai yang sangat kencang itu, membawaku pada suatu tempat sehingga kudapatkan pelajaran dan kenangan berharga. Duh, syukurlah, untung saja aku tidak sampai mati karena terombang-ambing arus deras.
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H