Salah Duga
Ninik Sirtufi Rahayu
Saat itu aku sudah menjadi guru, bahkan masih ada kesempatan untuk mengajar di sore hari sebagai dosen honorer salah satu perguruan tinggi swasta. Jadi, pagi bekerja sebagai guru PNS dpk. (diperbantukan) pada sekolah swasta pukul 06.30 hingga 12.45, sementara sore bisa mengabdikan diri sebagai dosen honorer masuk pukul 15.00 hingga 19.00 di dalam maupun luar kota.Â
Di dalam kota berarti di kampus pusat, sedang di luar kota merupakan filial, kelas jarak jauh. Oleh karena itu, jika mendapatkan jadwal luar kota dengan jarak sekitar 25 -- 50 kilometer bahkan lebih, aku harus bersegera pulang ke rumah untuk makan siang, mandi, dan berangkat kembali.Â
Rasanya waktu begitu cepat berlalu dan aku pun selalu terburu-buru. Istilahnya bagai dikejar anjing liar ... aha ha ha ...
Jadwal luar kota memang tidak selalu setiap hari, tetapi seminggu sekitar tiga empat kali. Sementara, bila tidak ada jadwal luar kota, aku pun menyempatkan diri memberikan les privat baik secara privat individual, maupun secara kelompok di salah satu asrama yang dikelola seorang teman.Â
Jadi, dapat dipastikan sore hari selalu ada aktivitas sepulang mengajar di sekolah. Kalau sedang tidak ada jadwal sore, tentu saja aku menjadi guru privat bagi ketiga jagoanku di rumah.
Jika di sekolah pagi aku mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat sekolah lanjutan atas. Namun, Â ketika memberikan les privat aku melayani mata pelajaran tersebut untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama.
Kadang juga melayani siswa sekolah dasar yang memerlukan belajar bahasa daerah, khususnya mata pelajaran Bahasa Jawa. Kita ketahui bahwa banyak putra-putri etnis Tionghoa yang bersekolah di sekolah swasta dan sangat membutuhkan privat materi bahasa daerah tersebut.
Hal itu karena di rumah mereka masing-masing, anggota keluarga tidak menggunakannya sebagai bahasa ibu. Jelas, mereka blank dan mengandalkan guru les privat. Apalagi, tidak banyak juga guru les bahasa daerah karena di sekolah formal saja minim tenaga pengajar bahasa daerah. Nah, inilah dia kelebihanku sehingga aku bisa menjual pengetahuan dan keterampilanku berbahasa Jawa sebagai materi les privat.
Aku memang berasal dari desa yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi sesehari. Menulis huruf Jawa yang dikenal sebagai aksara Jawa pun jarang yang menguasai. Ya, tidak semua suku Jawa menguasainya karena tergolong tulisan hampir punah. Nah, aku sangat menyukai dan piawai menuliskannya. Â Inilah modalku sehingga materiku laris manis.
Sementara itu, di perguruan tinggi swasta, aku diberi kesempatan mengampu mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, Sastra 1 dan 2 bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, juga mata kuliah Bahasa Indonesia Profesi untuk mahasiswa jurusan umum. Artinya, bukan dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.Â
Kebayang, 'kan bagaimana sibuknya aku menata materi yang akan kusajikan? Sungguh bersyukur kepada Tuhan Sang Mahakasih yang menganugerahkan kesehatan, kesempatan, dan kemampuan sehingga semua boleh aku jalani dengan sukacita.
Pada saat itu, untuk ke luar kota aku menggunakan transportasi angkutan kota sambung bus umum. Sementara untuk jurusan tertentu yang tidak terjangkau kendaraan umum, aku meminta Mas suami untuk mengantar, dan menungguinya. Pada masa itu suamiku juga berprofesi sebagai guru tetap yayasan pada pagi hingga siang hari.Â
Sementara, sore hari pun suami berkesempatan menjadi dosen honorer dan atau berkeliling ke rumah-rumah siswa untuk memberikan les privat bidang studi ekonomi, akuntansi tingkat SLTA dan mahasiswa. Bahkan pernah memiliki kursus yang mempersiapkan tenaga jasa pembukuan yang dahulu terkenal diujikan secara nasional, yaitu Bon A dan Bon B. Dengan demikian, jika aku beroleh jadwal luar kota jalur sepeda motor, suami bisa memindahkan jadwal belajar siswanya. Fleksibel dan tanpa kendala.
Jarak tempuh sekitar 40 kilomoter biasanya kami tempuh sekitar satu hingga dua jam perjalanan. Karena itu, setelah sampai di rumah sekitar pukul 13.00 aku bersegera makan siang, mandi, dan segera berangkat ke tujuan. Harus sampai di tempat kuliah maksimal tepat pukul 15.00. Karena berada di luar kota, biasanya tempat belajar menyewa di gedung sekolah SD dan mahasiswanya para guru, karyawan, atau umum tetapi rata-rata sudah berkeluarga. Jumlah mahasiswa sekitar 40 --50 orang.
Adakalanya kuliah digabung satu kelas, kadang disendirikan menjadi dua kelas sehingga membutuhkan dua orang dosen yang bergantian. Waktu belajar masing-masing 90 menit dengan jeda istirahat 30 menit. Jadi, jam pertama 15.00 -- 16.30 dan jam kedua 17.00 --18.30. Â Â
Bila jarak tempuh tempat kuliah dianggap jauh dan sulit dijangkau dengan kendaraan umum, jam kuliah pun dimundurkan menjadi jam pertama 15.30 -- 17.00 dan jam kedua 17.15 --18.45. Jadwal ini disepakati oleh pengurus filial dengan mahasiswa peserta program. Â Uniknya, kami yang bertugas sebagai dosen ini dijuluki dosen terbang, aha ha ha ... walaupun kami tidak menggunakan moda transportasi pesawat terbang.
Adapun tempat perkuliahan daerah tersebut adalah (1) Tumpang, dengan waktu tempuh 30 menit, (2) Turen, dengan waktu tempuh 45 menit, (3) Sumberpucung, dengan waktu tempuh 45 menit, (4) Dampit, dengan waktu tempuh 65 menit, (5) Wonokerto Bantur dengan waktu tempuh 70 menit. (6) Wonosari, Gunung Kawi dengan waktu tempuh 70 menit. Dengan mengetahui jarak tempuh seperti ini, kita harus bisa merancang jam berapa harus berangkat dan jam berapa sampai di rumah kembali, bukan?Â
Dengan diantar Mas suami, tujuan rute 5 praktis tidak kesulitan memikirkan kepulangan karena diantar, dan ditunggui. Sementara jurusan yang lain tentu harus memikirkan waktu kepulangan karena kebetulan rumah kami berada di kampung, di ujung gang sehingga transportasi lumayan sulit. Mengandalkan kendaraan umum, setelah naik bus atau minibus masih harus sambung dengan angkutan kota, dan masih harus dilanjut berjalan kaki sekitar kurang lebih satu kilometer.
Suatu saat sekitar pukul 08.00 salah seorang petugas tata usaha di sekolahku mengetuk pintu kelas dan mengatakan kalau pada jam istirahat nanti adik yang dari Surabaya akan menelepon kembali. Jadi, setelah mengajar aku dimintanya untuk stand by di ruang tata usaha agar tidak kesulitan mencari saat adik meneleponku.
Tidak lama kemudian, telepon bordering dan petugas memberikan isyarat agar aku mengangkat horn telepon. Karena sudah diberitahukan bahwa adik akan meneleponku, dengan percaya diri aku menanyakan to the point  maksud adik menghubungiku.
"Iyo, sepurane mau sik ngajar. Ono opo?" aku langsung menjawab tanpa memperhatikan etika bertelepon. Kukatakan bahwa aku minta maaf karena tadi saat dia menelepon aku masih mengajar.
Kupikir, adikkulah yang saat itu menelepon sehingga dengan percaya diri aku langsung mengatakan seperti itu. Padahal, seharusnya mengikuti etika bertelepon dengan mengawali mengucapkan salam, menyebutkan diri, menyapa ramah keperluan penelepon, sebagaimana etika bertelepon di kantor mana pun.
Misalnya, "Selamat (pagi, siang, sore) dengan .... (nama kita), dari .... (nama kantor kita), ada yang bisa dibantu?" Â
Ehh ... aku langsung to the point seperti yang kukemukakan di atas. Padahal, ternyata bukan adikku yang menelepon, melainkan dekanku dari perguruan tinggi swasta tempatku mengabdi. Ohh, ... ya ampun, malunya .... Aha ha ha ... beruntung beliau tidak marah, tetapi mengingatkanku bagaimana harus beretika dalam menggunakan atau menjawab melalui sarana telepon kantor.
Dengan mohon maaf, setelah mendengar penjelasan beliau, aku menerima telepon beliu menahan rasa malu yang nano-nano. Beruntungnya beliau orang baik yang bahkan sering memberikan tumpangan kepadaku kala pulang dari perkuliahan jarak jauh jika kebetulan jadwal kami di tempat sama.
Ya, memang telepon itu kebetulan untuk aku. Akan tetapi, tetap saja aku bersalah karena tidak beretika. Padahal saat itu menggunakan sarana telepon kantor tepatnya telepon sekolah. Aku telah berlaku tidak sopan karena ternyata yang menelepon adalah atasan aku. Oh my God ... seandainya bertatap muka, pasti wajahku bak kepiting rebus!
Sungguh ini merupakan pengalamanku yang cukup memalukan sebenarnya. Bayangkan, sebagai guru dan dosen mata pelajaran Bahasa Indonesia yang harus mengajarkan teori etika bertelepon, ternyata aku sendiri tidak menjalankan sebagaimana teori yang ada. Apalagi tanpa bertanya siapa yang menelepon, aku langsung menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat unggah-ungguh yang kurang pas karena beliau adalah atasan yang lebih tua.
Saat itu dekanku tersebut hendak konfirmasi dengan memberitahukan jadwal baru superkilat karena jam tiga sore itu juga aku harus mengajar di luar kota menggantikan salah seorang dosen yang berhalangan. Dekanku meminta agar aku siap di suatu tempat karena beliau pun harus memberikan kuliah di tempat yang sama sehingga memudahkan aku untuk ikut nebeng kendaraannya. Oleh sebab itu, beliau merasa perlu untuk meneleponku secepatnya agar jadwal kuliah teratasi!
Aduh .... Malunya hingga bertahun-tahun masih terasa ... aha ha ha ... Sejak saat itu jika bertemu denganku, beliau pasti mengingatkan agar aku berhati-hati saat menerima telepon. Jadi kangen dengan beliau, semoga sehat selalu, Bapak mantan dekan! Amin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H