Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Salah Duga

22 Agustus 2024   05:55 Diperbarui: 22 Agustus 2024   07:07 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pada saat itu, untuk ke luar kota aku menggunakan transportasi angkutan kota sambung bus umum. Sementara untuk jurusan tertentu yang tidak terjangkau kendaraan umum, aku meminta Mas suami untuk mengantar, dan menungguinya. Pada masa itu suamiku juga berprofesi sebagai guru tetap yayasan pada pagi hingga siang hari. 

Sementara, sore hari pun suami berkesempatan menjadi dosen honorer dan atau berkeliling ke rumah-rumah siswa untuk memberikan les privat bidang studi ekonomi, akuntansi tingkat SLTA dan mahasiswa. Bahkan pernah memiliki kursus yang mempersiapkan tenaga jasa pembukuan yang dahulu terkenal diujikan secara nasional, yaitu Bon A dan Bon B. Dengan demikian, jika aku beroleh jadwal luar kota jalur sepeda motor, suami bisa memindahkan jadwal belajar siswanya. Fleksibel dan tanpa kendala.

Jarak tempuh sekitar 40 kilomoter biasanya kami tempuh sekitar satu hingga dua jam perjalanan. Karena itu, setelah sampai di rumah sekitar pukul 13.00 aku bersegera makan siang, mandi, dan segera berangkat ke tujuan. Harus sampai di tempat kuliah maksimal tepat pukul 15.00. Karena berada di luar kota, biasanya tempat belajar menyewa di gedung sekolah SD dan mahasiswanya para guru, karyawan, atau umum tetapi rata-rata sudah berkeluarga. Jumlah mahasiswa sekitar 40 --50 orang.

Adakalanya kuliah digabung satu kelas, kadang disendirikan menjadi dua kelas sehingga membutuhkan dua orang dosen yang bergantian. Waktu belajar masing-masing 90 menit dengan jeda istirahat 30 menit. Jadi, jam pertama 15.00 -- 16.30 dan jam kedua 17.00 --18.30.   

Bila jarak tempuh tempat kuliah dianggap jauh dan sulit dijangkau dengan kendaraan umum, jam kuliah pun dimundurkan menjadi jam pertama 15.30 -- 17.00 dan jam kedua 17.15 --18.45. Jadwal ini disepakati oleh pengurus filial dengan mahasiswa peserta program.   Uniknya, kami yang bertugas sebagai dosen ini dijuluki dosen terbang, aha ha ha ... walaupun kami tidak menggunakan moda transportasi pesawat terbang.

Adapun tempat perkuliahan daerah tersebut adalah (1) Tumpang, dengan waktu tempuh 30 menit, (2) Turen, dengan waktu tempuh 45 menit, (3) Sumberpucung, dengan waktu tempuh 45 menit, (4) Dampit, dengan waktu tempuh 65 menit, (5) Wonokerto Bantur dengan waktu tempuh 70 menit. (6) Wonosari, Gunung Kawi dengan waktu tempuh 70 menit. Dengan mengetahui jarak tempuh seperti ini, kita harus bisa merancang jam berapa harus berangkat dan jam berapa sampai di rumah kembali, bukan? 

Dengan diantar Mas suami, tujuan rute 5 praktis tidak kesulitan memikirkan kepulangan karena diantar, dan ditunggui. Sementara jurusan yang lain tentu harus memikirkan waktu kepulangan karena kebetulan rumah kami berada di kampung, di ujung gang sehingga transportasi lumayan sulit. Mengandalkan kendaraan umum, setelah naik bus atau minibus masih harus sambung dengan angkutan kota, dan masih harus dilanjut berjalan kaki sekitar kurang lebih satu kilometer.

Suatu saat sekitar pukul 08.00 salah seorang petugas tata usaha di sekolahku mengetuk pintu kelas dan mengatakan kalau pada jam istirahat nanti adik yang dari Surabaya akan menelepon kembali. Jadi, setelah mengajar aku dimintanya untuk stand by di ruang tata usaha agar tidak kesulitan mencari saat adik meneleponku.

Tidak lama kemudian, telepon bordering dan petugas memberikan isyarat agar aku mengangkat horn telepon. Karena sudah diberitahukan bahwa adik akan meneleponku, dengan percaya diri aku menanyakan to the point  maksud adik menghubungiku.

"Iyo, sepurane mau sik ngajar. Ono opo?" aku langsung menjawab tanpa memperhatikan etika bertelepon. Kukatakan bahwa aku minta maaf karena tadi saat dia menelepon aku masih mengajar.

Kupikir, adikkulah yang saat itu menelepon sehingga dengan percaya diri aku langsung mengatakan seperti itu. Padahal, seharusnya mengikuti etika bertelepon dengan mengawali mengucapkan salam, menyebutkan diri, menyapa ramah keperluan penelepon, sebagaimana etika bertelepon di kantor mana pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun