"Tapi ... apa tidak disemprot oleh Pak Burhan?" tanya Adit dengan muka serius.
"Iya, sih. Mungkin kita perlu bilang Kakek, ya!" usul Arka sambil meneleng ke kiri kanan.
"Atau anak-anak dikode saja. Jangan berteriak cukup kencang sehingga mengganggu tetangga, khususnya beliau yang tidak suka berisik!" saran Adit.
"Ah, mana bisa! Teman-teman kalau gurau bandel juga! Namanya juga gembira, pasti teriak spontanlah yang keluar. Demikian juga tawa, apa bisa direm menurutmu?"
"Iya, juga sih!"
"Ya, sudah besok kita ketemu teman-teman, kita rancang permainan seru yang tidak mengganggu tetangga saja. Alat perang kita bisa minta tolong anak-anak perempuan juga untuk membuat topi daun nangka. Kalau pistol-pistolan atau senapan, kita gunakan pelepah pisang saja. Bagaimana?" usul Arka.
"Wuah, seru! Muka kita bisa dicoreng-moreng layaknya tentara latihan perang, ya! Aku akan siapkan arang buat muka kita! Hahaha .... Pasti seru!"
"Nah, kamu, ya! Ini ... belum aksi perang-perangan saja tawamu sudah kencang begitu! Bagaimana kalau bertemu dengan sepuluh anak, coba? Mana bisa kita berbisik, ha?" Arka menimpali tawa Adit yang membahana.
"Iya juga, sih. Membayangkan saja ... sudah terasa serunya!"
Tak urung mereka berdua tertawa juga.
***