"Wah, kalau diceritakan sehari sendiri ini hehe ... tapi tak apa. Singkatnya begini. Aku membelot dari kelompok mereka karena gelagatnya kurang baik. Benar saja. Mereka memang berniat mencelakai, tepatnya menghancurkan anak cucu juragan sepuh untuk bisa menguasai seluruh asset kekayaan keluarga," urai Sadrach sambil mengenang enam tahun silam.
"Ngeri sekali manakala diperintahkan untuk membunuh dengan cara membakar kendaraan juragan sepuh. Untungnya saja, masih ada kesempatan untuk memanipulasi. Rencana jahat itu dikemukakan seminggu sebelumnya sehingga dalam waktu singkat aku bisa berkoordinasi dengan beberapa orang yang bisa kupercaya. Serem. Seperti film detektiflah! Untung saja aku hobi banget nonton yang gitu-gitu! Hehe ...," ungkapnya.
"Waow ... luar biasa. Kami sangat berutang budi kepada Njenengan Om! Terima kasih banyak telah menyelamatkan kedua orang tua kami!" ucap tulus Nu bangga sambil memeluk saudara kepercayaan ayahnya itu.
"Ya, sebenarnya saat itu ya ... cukup riskan bagiku, tapi aku yakin aja. Kalau kita berjalan pada rel kebenaran, pasti akan ada jalan dan pertolongan dari Tuhan. Uniknya, segala sesuatu dilancarkan. Bertemu orang baik yang bisa kupercaya dan melakukan semua yang kuminta adalah anugerah-Nya semata. Pokoknya ... jangan tinggalkan iman dan jangan pula tanggalkan harapan!" pungkas Sabrang.Â
"Eh, jangan lupa namaku Sabrang, ya! Hahaha jangan salah panggil maksudnya!"
"Iya, Om. Kok bisa kepikiran nama itu, bagaimana?"
"Karena aku telah membelot, berseberangan dengan paham yang dianut oleh mereka yang menurutku jahat dan serakah saja!"
"Wah, hebat juga! Njenengan sangat berani. Melawan dengan diam-diam seperti itu pasti butuh keberanian. Taruhannya nyawa!" puji Nu dengan tulus. "Sementara saat ini masalah besar kami adalah: kedua putra kami yang masih belum ada kabar! Mohon bantu mendoakan, ya Om!" ujar Nu.
"Percayakan kepada Tuhan! Pasti terbaik yang dilakukan-Nya!"
"Amin. Matur nuwun sanget." Â
***