Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gelang Giok (Part 10)

11 Juli 2024   15:21 Diperbarui: 11 Juli 2024   15:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Gelang Giok (Part 10)

"Amin!" sambut ketiganya.

"Nanti akan Papa beri cerita pewayangan, mengapa anak raja justru harus ngenger! Ada Damarwulan Ngarit kisah yang menginspirasi sejak Papa masih kecil. Mau dengar?"

"Mau banget!" sorak kedua bocah laksana koor.

"Ngenger itu apa?" tanya Uni.

"Hahaha ... sudah Papa duga, Uni pasti akan menanyakannya!"

"Habisnya enggak ngerti, sih!"

"Una juga enggak paham, habisnya Papa pakai bahasa Jawa, sih!" sergah Una pula.

"Baiklah, tunggu nanti malam menjelang tidur, ya!"

"Nggak! Sekarang!" protes Uni.

"Ok, ngenger itu ikut orang gratis sehingga harus bekerja membantu pekerjaan apa pun," jawab Adi kalem.

"Ah, bagus ... ngenger, nener ... hehehe," Uni melafalkan dua kosa kata baru yang mirip dan baru diperolehnya itu dengan mimik lucu.

***  
 
Siap Berpetualang: Nu dan Ayusti  

Sejak meninggalkan kota, air mata Ayusti, sang istri, tidak tertahan. Meskipun tanpa suara, si tirta mengalir deras bagaikan aliran Sungai Brantas.  

"Semoga dengan peristiwa ini, mereka makin dewasa, mandiri, dan tangguh menghadapi kenyataan hidup. Bukan menjadi anak manja yang hanya mengandalkan harta dan kekayaan orang tua saja," batinnya.

"Dik, jangan terus-menerus sedih. Anggaplah anak-anak sedang kuliah kehidupan. Yakinlah Tuhan tidak tidur dan selalu membersamai keluarga kita di mana pun berada. Apa pun yang mereka lakukan kita percayakan kepada-Nya karena Tuhanlah sang sutradara kehidupan ini. Nanti kalau hati kita bermasalah, tidak bisa mengenyahkan kesedihan, tentulah akan berpengaruh terhadap kesehatan fisik. Padahal, untuk bertemu kembali dengan mereka, kita perlu sehat secara lahir dan batin!" lirih Nu kepada istrinya yang sejak tadi diam saja.

Nu tahu istrinya sedang menangis tanpa suara karena bunyi tisu yang diambil paksa dari tempatnya. Suara tisu terseret itulah yang membuktikan bahwa sang istri sedang bergumul dengan hatinya. Nu paham, selama ini mereka selalu hidup dalam kerukunan dan kebahagiaan. Justru kepulangannya ke kampung halamanlah yang membuat jalan hidupnya berubah drastis. Beruntung kedua buah hati adalah anak-anak manis yang penurut. Semoga mereka makin dewasa dalam berpikir dan bertindak. Keadaanlah yang memaksa mereka harus berpisah entah sampai kapan.  

Malapetaka datang bertubi-tubi semenjak Nu pulang kampung. Sekitar tujuh bulan lalu Nu resign dari tugasnya di perkebunan sawit yang kata orang tua tidak menjanjikan masa depan itu. Namun, secara mendadak dua bulan lalu kedua orang tuanya dikabarkan wafat dengan cara tidak wajar. Akan tetapi, sampai detik ini masih belum ada kejelasannya. Walaupun aparat sudah dikerahkan untuk menelusuri keberadaan keduanya, belum juga ditemukan titik terang sama sekali.  

Wajar jika sang istri semacam meratapi nasib, 'kan? Ya, Nu tahu ada sedikit kekecewaan tampak pada netra wanita yang dinikahinya di tengah perkebunan sawit yang begitu luas itu.

Nu menemukan belahan jiwa justru saat bekerja sebagai tenaga administrasi di kantor perkebunan. Ayusti yang sebatang kara itu telah mencuri hatinya. Wajahnya yang ayu, perangainya yang lembut keibuan telah memorakporandakan hatinya. Namun, kini justru bukan kebahagiaan yang mereka peroleh. Sepuluh tahun pertama memang dirasakan penuh dengan kebahagiaan, tetapi saat ini, pada tahun kedua belas pernikahannya justru kemalangan menimpa bertubi-tubi.

"Ujian itu memang bisa berupa apa saja dan dalam bentuk dan waktu yang tidak pernah kita prediksi sebelumnya. Biarlah kita belajar sabar, ikhlas, dan tawakal atas semua yang terjadi dalam kehidupan kita, Ma. Jangan pernah sesali pengaturan-Nya sebab kita tidak pernah tahu bagaimana ending cerita kita!" lanjutnya.

Tetiba Ayusti teringat bahwa dia pernah membaca entah dari mana motivasi berikut yang masih tersimpan di memori ingatannya. Kalau tidak salah saat dia melahirkan putra keduanya yang sungsang. Di rumah sakit bersalin saat itu ditemukan majalah yang memuat motivasi. Motivasi tersebut lumayan menyejukkan, begini:

Untukmu, tetaplah semangat!
Meskipun dunia tak berpihak kepadamu saat ini, bersabarlah.
Lelah, memang. Namun, kita mesti harus menjalani peran ini dengan sebaik mungkin, sampai tuntas waktunya tiba.
Ingatlah, bahwa bunga mekar itu bukan untuk layu dan rontok, tetapi untuk menghasilkan buah. Berbuah juga bukan untuk mengakhiri, melainkan untuk pembaruan.

Oh, iya ... aku pernah diberi tahu oleh bosku tentang kata bijak ini. Memang sih berbahasa Inggris, tetapi tak apalah sedikit-sedikit aku bisa kok terjemahannya hehehe ... suamimu ini jelek-jelek insinyur pertanian, 'kan?" gurau Nu agar si istri sedikit melupakan kesedihannya.

"Hmm ...," kesahnya lirih.

"Begini nih, coba dengar baik-baik. 'Be patient, good things take time.'  Kata mutiara yang tidak diketahui penciptanya ini berarti:  Bersabarlah karena hal-hal baik memerlukan waktu. Selain itu ada lagi, 'Patience is the companion of wisdom.' Artinya kesabaran adalah pendamping kebijaksanaan.  Ada  juga 'Patience is the art of hoping.'  -- Luc de Clapiers. Yang terakhir ini berarti bahwa sabar itu adalah seni berharap," ucap Nu sambil membuka tabletnya.

Beruntung sekali Nu menyimpan kata-kata bijak tersebut sehingga pada saat yang tepat bisa menyemangati dirinya sendiri dan orang lain, dalam hal ini istrinya sendiri. Suyud sang sopir pun tersenyum mendengarnya.

"Betul sekali, Tuan. Layaknya anak sekolahan, kita pun diuji dengan berbagai keadaan yang tujuannya tak lain dan tak bukan adalah agar hidup kita makin baik, perangai kita makin patut, dan sikap hati kita kepada-Nya juga makin berkualitas," sambil sesekali menoleh kepada juragan mudanya.

"Mas. Saya usul. Jangan panggil saya dan istri saya Tuan dan Nyonya. Kesannya seperti pada zaman penjajahan saja. Feodal banget! Bagaimana kalau Mas memanggil kami dengan sapaan 'Bapak' dan 'Ibu' saja? Kan terkesan lebih akrab. Derajat kita ini di hadapan Tuhan sama, bahkan bisa jadi iman Njenengan lebih unggul daripada saya dan istri. Monggo, mulai sekarang biasakan memanggil Bapak dan Ibu saja, nggih! Jujur, telinga saya terasa nyeri mendengar panggilan proletar seperti sebelumnya!"

"Oh, inggih. Matur nuwun. Saya coba membiasakan diri. Soalnya juragan sepuh dulu disapa begitu. Entah siapa yang mengawalinya dan tidak ada respons apa-apa. Beliau tidak pernah berkomentar," dalih Suyud sambil mengangguk.

"Iya, Ayah itu masa bodoh kalau soal-soal yang dianggapnya sepele seperti itu, tetapi saya yang kurang nyaman."

"Ngomong-omong, bagaimana kabar juragan sepuh, ya?"

"Entahlah, Mas. Semuanya masil abu-abu. Semoga seiring berjalannya waktu segala sesuatunya makin jelas. Apalagi kita juga tidak boleh sembarangan memprediksi. Sementara, hati saya yakin, kedua orang tua saya itu masih sugeng, sehat dan masih eksis. Hanya, memang untuk sementara waktu beliau tidak mau ...,"

"Iya, benar. Dalam situasi seperti sekarang, kita tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Yang nomor satu kita harus tetap yakin dan berdoa saja," potong Suyud menentramkan hati juragan mudanya.

"Sepertinya Ibu bisa tertidur, Pak," bisik Suyud sambil mencolek lengan sang majikan.

to be continued

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun