"Ah, bagus ... ngenger, nener ... hehehe," Uni melafalkan dua kosa kata baru yang mirip dan baru diperolehnya itu dengan mimik lucu.
*** Â
Â
Siap Berpetualang: Nu dan Ayusti Â
Sejak meninggalkan kota, air mata Ayusti, sang istri, tidak tertahan. Meskipun tanpa suara, si tirta mengalir deras bagaikan aliran Sungai Brantas. Â
"Semoga dengan peristiwa ini, mereka makin dewasa, mandiri, dan tangguh menghadapi kenyataan hidup. Bukan menjadi anak manja yang hanya mengandalkan harta dan kekayaan orang tua saja," batinnya.
"Dik, jangan terus-menerus sedih. Anggaplah anak-anak sedang kuliah kehidupan. Yakinlah Tuhan tidak tidur dan selalu membersamai keluarga kita di mana pun berada. Apa pun yang mereka lakukan kita percayakan kepada-Nya karena Tuhanlah sang sutradara kehidupan ini. Nanti kalau hati kita bermasalah, tidak bisa mengenyahkan kesedihan, tentulah akan berpengaruh terhadap kesehatan fisik. Padahal, untuk bertemu kembali dengan mereka, kita perlu sehat secara lahir dan batin!" lirih Nu kepada istrinya yang sejak tadi diam saja.
Nu tahu istrinya sedang menangis tanpa suara karena bunyi tisu yang diambil paksa dari tempatnya. Suara tisu terseret itulah yang membuktikan bahwa sang istri sedang bergumul dengan hatinya. Nu paham, selama ini mereka selalu hidup dalam kerukunan dan kebahagiaan. Justru kepulangannya ke kampung halamanlah yang membuat jalan hidupnya berubah drastis. Beruntung kedua buah hati adalah anak-anak manis yang penurut. Semoga mereka makin dewasa dalam berpikir dan bertindak. Keadaanlah yang memaksa mereka harus berpisah entah sampai kapan. Â
Malapetaka datang bertubi-tubi semenjak Nu pulang kampung. Sekitar tujuh bulan lalu Nu resign dari tugasnya di perkebunan sawit yang kata orang tua tidak menjanjikan masa depan itu. Namun, secara mendadak dua bulan lalu kedua orang tuanya dikabarkan wafat dengan cara tidak wajar. Akan tetapi, sampai detik ini masih belum ada kejelasannya. Walaupun aparat sudah dikerahkan untuk menelusuri keberadaan keduanya, belum juga ditemukan titik terang sama sekali. Â
Wajar jika sang istri semacam meratapi nasib, 'kan? Ya, Nu tahu ada sedikit kekecewaan tampak pada netra wanita yang dinikahinya di tengah perkebunan sawit yang begitu luas itu.
Nu menemukan belahan jiwa justru saat bekerja sebagai tenaga administrasi di kantor perkebunan. Ayusti yang sebatang kara itu telah mencuri hatinya. Wajahnya yang ayu, perangainya yang lembut keibuan telah memorakporandakan hatinya. Namun, kini justru bukan kebahagiaan yang mereka peroleh. Sepuluh tahun pertama memang dirasakan penuh dengan kebahagiaan, tetapi saat ini, pada tahun kedua belas pernikahannya justru kemalangan menimpa bertubi-tubi.
"Ujian itu memang bisa berupa apa saja dan dalam bentuk dan waktu yang tidak pernah kita prediksi sebelumnya. Biarlah kita belajar sabar, ikhlas, dan tawakal atas semua yang terjadi dalam kehidupan kita, Ma. Jangan pernah sesali pengaturan-Nya sebab kita tidak pernah tahu bagaimana ending cerita kita!" lanjutnya.
Tetiba Ayusti teringat bahwa dia pernah membaca entah dari mana motivasi berikut yang masih tersimpan di memori ingatannya. Kalau tidak salah saat dia melahirkan putra keduanya yang sungsang. Di rumah sakit bersalin saat itu ditemukan majalah yang memuat motivasi. Motivasi tersebut lumayan menyejukkan, begini: