"Boleh," senyum Anye pun mengembang.
Kali ini Jalu makin bersemangat karena Anye memberi izin dan rupanya sudah siap melakukan perlawanan dalam pertempuran.
"Pasti akan berbeda rasa," pikirnya.
Maka, Jalu pun berpura-pura pasif untuk menguji sampai di mana keinginan dan kemauan sang kekasih.
"Jalu ...!"
"Hmmm ...," jawabnya malah mengatupkan netra berbaring santai di sofa yang sama.
Anye penasaran. Mengapa dia bilang meminta, tetapi malah membeku? Malah tidur mendengkur? Padahal, saat itu Anye merasa ada sesuatu mendorong-dorong diri untuk menyalurkan gelora rasa. Anye pun mendekat dan mencoba mengganggu Jalu yang sedang (berpura-pura) tidur.
Apa yang dimaui Jalu pun terjadi. Sang kekasih mulai memiliki kemauan, kehendak, dan kepekaan. Tidak sekadar berpasrah diri, tetapi berani meminta sendiri!
Anye terperangah. Banyak hal baru yang diperoleh dengan si tampan rupawan ini. Dia  baru tahu kalau inisiatif bisa berasal dan berawal dari pihaknya dan dengan demikian memicu ketersampaian cita-cita dan asa dalam kebersamaan. Tak perlu malu ataupun ragu. Dalam menjalin relasi tidak perlu mempertahankan gengsi. Boleh seiya sekata dan demokratis saja. Senyum sumringah pun terpancar dari wajah memerah.
Ini sungguh perspektif baru baginya. Semula dia menganggap bahwa wanita itu baiknya hanya sendiko dhawuh berpasrah pada suami belaka. Jika sang suami menghendaki, dia pun harus bersiap diri. Akan tetapi, ternyata tidak! Dia boleh meminta, boleh memulai! Tanpa perlu malu dan ragu karena demi kebersamaan kedua belah pihak harus saling aktif reaktif! Kedua-duanya harus saling berupaya agar apa yang dimaui dicapai bersama-sama! Ah, ... ilmu baru yang barusan dia tahu!
"Kau kini tampak beda, sangat dewasa!" lirih Jalu memuji sang kekasih. "Jangan lupa untuk segera belajar memasak dan memantaskan diri menjadi seorang istri!"