Fase Kehidupan Baru
"Merindukan seseorang adalah bagian dari mencintai mereka. Jika kamu tidak pernah berpisah, kamu tidak akan pernah benar-benar tahu seberapa kuat cintamu." - Gustave Flaubert.
Sesampai di kamar indekos, kembali Anye merenung diri. Ah, betapa mudahnya dia tergoda sehingga kini sudah bukan lagi seorang dara. Padahal, sudah banyak yang mengingatkan agar tidak terlalu dekat dengan sang kekasih. Â Namun, namanya cinta jika bertemu dengan yang dicintai atau yang mencintai, apalagi kalau kedua-duanya saling mencintai, apa mau dikata?
Kalau raga sudah terkena sengat magnet cinta dengan mahadaya luar biasa, siapa sanggup menghentikannya? Nikmat akurat yang menggegana itu sanggup merenggut mahkota yang tak terjaga sempurna! Ya, Anye lengah! Dalam nikmat surgawi dia lupa menjaga diri. Ya, sudah ... biarlah terjadi seperti apa yang harusnya terjadi. Itulah kalimat mujarab untuk menghentikan sesal yang terasa. Pasrah!
Dua  hari kemudian, pagi-pagi sekali Jalu mencari Anye ke tempat indekos. Dikatakan ada hal penting sehingga Anye pun diminta ikut ke rumah Jalu hari itu. Sesampai di rumah Jalu, dia menanyakan beberapa hal sehubungan dengan aktivitas berseraga yang telah terjadi. Dia ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Antara lain apakah Anye mengalami dan merasakan kesakitan atau mungkin merindukan aktivitas itu terulang kembali. Jalu menanyakan dengan serius sebab merasa bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan santai Anye menjawab tidak ada masalah yang berarti. Kalau ada sedikit rasa nyeri, sakit, atau panas itu wajar. Dikatakannya bahwa sesuatu yang baru pasti akan begitu. Kurang nyaman atau sekadar iritasi pun biasa dialami, seperti halnya awal-awal mengenakan sepatu baru. Namun, masih bisa ditoleransi. Lama-kelamaan pasti akan terbiasa juga.
Jawaban Anye sangat melegakan hati. Berarti Anye sudah berpasrah diri dan menerima kondisi dirinya tanpa sesal.
"Berarti ...."
"Apa?"
"Boleh beraktivitas lagi, 'kan? Supaya makin terbiasa ... hehe," rajuk Jalu.
"Boleh," senyum Anye pun mengembang.
Kali ini Jalu makin bersemangat karena Anye memberi izin dan rupanya sudah siap melakukan perlawanan dalam pertempuran.
"Pasti akan berbeda rasa," pikirnya.
Maka, Jalu pun berpura-pura pasif untuk menguji sampai di mana keinginan dan kemauan sang kekasih.
"Jalu ...!"
"Hmmm ...," jawabnya malah mengatupkan netra berbaring santai di sofa yang sama.
Anye penasaran. Mengapa dia bilang meminta, tetapi malah membeku? Malah tidur mendengkur? Padahal, saat itu Anye merasa ada sesuatu mendorong-dorong diri untuk menyalurkan gelora rasa. Anye pun mendekat dan mencoba mengganggu Jalu yang sedang (berpura-pura) tidur.
Apa yang dimaui Jalu pun terjadi. Sang kekasih mulai memiliki kemauan, kehendak, dan kepekaan. Tidak sekadar berpasrah diri, tetapi berani meminta sendiri!
Anye terperangah. Banyak hal baru yang diperoleh dengan si tampan rupawan ini. Dia  baru tahu kalau inisiatif bisa berasal dan berawal dari pihaknya dan dengan demikian memicu ketersampaian cita-cita dan asa dalam kebersamaan. Tak perlu malu ataupun ragu. Dalam menjalin relasi tidak perlu mempertahankan gengsi. Boleh seiya sekata dan demokratis saja. Senyum sumringah pun terpancar dari wajah memerah.
Ini sungguh perspektif baru baginya. Semula dia menganggap bahwa wanita itu baiknya hanya sendiko dhawuh berpasrah pada suami belaka. Jika sang suami menghendaki, dia pun harus bersiap diri. Akan tetapi, ternyata tidak! Dia boleh meminta, boleh memulai! Tanpa perlu malu dan ragu karena demi kebersamaan kedua belah pihak harus saling aktif reaktif! Kedua-duanya harus saling berupaya agar apa yang dimaui dicapai bersama-sama! Ah, ... ilmu baru yang barusan dia tahu!
"Kau kini tampak beda, sangat dewasa!" lirih Jalu memuji sang kekasih. "Jangan lupa untuk segera belajar memasak dan memantaskan diri menjadi seorang istri!"
Netra Anye berbinar sambil mengangguk.
"Kalau kau rindu, bilang saja! Aku akan selalu ada untukmu! Kau juga berhak memperoleh kebahagiaan!" lanjut Jalu serius.
Anye hanya mengerjap-ngerjap netra. "Ah, dunia tampak kian berbeda. Kini, tak lagi ada aku saja, tetapi juga dia. Aku dan dia siap menjadi embrio kulasentana!" pikirnya mantap.
"Rindu tidak hanya muncul karena jarak yang terpisah, tetapi juga karena keinginan yang tidak terwujud," lanjut Jalu menatap netra Anye hingga menembus ke lubuk jiwa.
"Kamu kenapa, Anye?"
"Ya, ... kini aku bukan lagi aku yang dulu, Jalu."
"Ya, benar. Kau adalah belahan jiwaku, Anye! Istriku! Bukan sekadar kekasih lagi. Aku tahu, itu!"
"Perubahan drastis!" gumam Anye.
Mereka tersenyum penuh makna.
"Jangan ada dusta di antara kita!" ujar Jalu masih menatap netra indah Anye.
"Yang ada malah rindu dendam di dada," sahut Anye pula.
"Kok pakai dendam segala? Tidak cukupkah hanya dengan rindu saja, Anye?"
Anye menggeleng sambil tertawa.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H