"Oh!" tangan Anye membetulkan letak scarf lembut yang meliliti leher, "Sudah kuobati masih belum hilang juga!"
"Tak apa Anye, don't worry ... tiga hari pasti hilang dengan sendirinya. Ketika tanda itu hilang, biasanya rindu pun menyerbu datang dan harus diinstal ulang!" tawa Diana.
"Oh, kamu paham banget, ya? Aku yang udik ternyata!"
"Hahaha, ... bukan udik, melainkan belum paham! Aku yakin, pasti Jalu akan mengajarkan banyak hal kepadamu! Kalian itu sepasang insan yang sangat beruntung! Jalu tampan rupawan dan sangat menawan, kamu pun sangat cantik! Kalau teman-teman lain tahu, pasti mereka akan iri pada kalian! Termasuk aku! Aku pun iri dan cemburu kepadamu!" selorohnya.
"Mmmh ... terima kasih pujiannya, Diana! Ngomong-omong kamu lihat dia nggak? Dia cerita apa ke kamu tentang aku?" cerocos Anye.
"Tentang kamu? Nggak ada, kok! Saat ini pasti sedang sibuk di Ruang Senat, dia! Banyak agenda yang mereka lakukan sehubungan dengan pemerintahan negeri ini. Mereka getol mengupayakan agar kondisi ekonomi negara kita segera teratasi melalui pemilihan presiden yang benar! Kamu merasa enggak sih kalau sebenarnya kita ini dijajah?" ujar Diana.
"Oooh! Dijajah bagaimana?"
"Kamu sudah jadian masih belum paham aktivitas Jalu? Apa dia nggak pernah cerita padamu?" lanjut Diana.
Anye hanya menggeleng dengan sinar mata bertanya-tanya.
"Apa yang kalian ceritakan saat-saat berduaan? Bukan acara yang sedang Jalu persiapkan? Dia akan segera sidang skripsi bulan depan. Sementara tugas di senat juga lumayan padat!"
"Nggak ada. Dia nggak cerita banyak, kok!"