"Aku tahu, tidak mudah bagimu. Namun, sampai kapan kau akan begini?" Suara khas itu kembali mengusik Mita.
Mita hanya menggeleng. Netra tetap tak lepas dari samudra nun jauh di sana.
"Bahkan aku sangat yakin. Kau pasti kuat dan tegar. Maka, kuharap kau bisa melupakan!" ujar Brian. Kali ini dengan lebih lembut sebab dengan kemarahan seperti beberapa hari lalu tidak juga membawa hasil.
Sementara Mita masih tetap bergeming. Pandangan nanar ke  arah sana masih dilakukan juga. Samudra  yang menyakiti, membuat kecewa, dan telah mengoyak hatinya. Ya, samudra yang ingin didamprat, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Air mata pun menitik kian deras dari netra.
"Mit, mestinya kau bangga. Dia pergi karena menjadi duta pertiwi. Ikhlaskan kepergiannya dengan cara elegan, lalu bukalah hatimu untuk masa depan! Hidup masih berlanjut, 'kan?"
Netra Mita yang berurai air mata menatap sendu. Digelengkan kepala pelan. Disesapnya capucino hangat tanpa bicara lalu kembali tenggelam dalam diam seribu bahasa.
Brian tetap berada di hadapan. Sama-sama diam. Pada tiga puluh menit kemudian ...
"Hentikan aksimu ini, Mita. Hentikan!" Â Brian berbisik perlahan. "Jangan lagi setiap senja kau larikan duka lara ke sini. Justru ini makin menyiksa. Jangan lagi kau lihat samudra, tetapi lihatlah lainnya. Meski malam gulita, purnama tetap memesona!"
Hening. Terdengar sayup musik instrumentalia alat musik tradisional itu sesekali. Kadang berirama cepat, kadang lambat. Namun, begitu indah mengisi senja yang segera sirna.
"Jika Tuhan memanggil saat bertugas, pastilah Tuhan punya rencana indah buatnya. Tentu indah buatmu juga!" Brian mencoba meraih tangan kanan Mita.
Mita masih terdiam. Menatapnya  dengan sendu.