Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Kupandang netranya yang sendu. Aku sudah tidak bisa lagi menahan diri.
"Mit, kau harus hentikan ini semua!" emosiku kian memuncak. "Kau harus relakan dia. Tuhan sudah memilih dan menjadikan duta bahari, mengapa kau recoki, ha?" Kesabaranku tak bersisa lagi.
Sementara, secangkir capucino di hadapan masih mengepulkan aroma cokelat. Disesap dengan nikmat tanpa menghiraukan teriakku. Diambillah napas panjang sambil memandangku tepat pada manik mata. Bergeming mematung dan membisu.
"Harus kau hentikan aksimu ini! Tiap senja melarikan diri ke sini sambil memandang samudra tanpa berkedip, bukanlah solusi terbaik! Sadar! Kau harus kembali ceria. Lepaskan beban. Jangan kaupikul sendiri, buanglah ke dasar samudra!" lanjutku mantap.
Dia mendengus kasar.
Senja makin menua. Semburat swastamita menyilaukan netra. Semua tampak jingga. Sementara mentari di ufuk barat seolah terapung di samudra jingga.
Mita membuang muka sambil meratap, "Kaukira gampang? Segampang kau bicara?" Suara serak menahan tangis kudengar menyesakkan dada.
***
Hari yang kesekian. Siang terik sudah meninggalkan persada. Kini mentari  merambat ke arah barat daya. Bahkan, hampir tergelincir ke peraduan. Senja pun segera tiba.
Panorama di caf kian merona. Swastamita jingga di ufuk barat daya mulai pamer pesona. Pelan dan pasti, senja itu Mita kembali memarkir kendaraan mungil miliknya. Â Untuk kesekian kali di tempat sama.
Di area parkir cukup luas sudah berjajar beberapa kendaraan. Lagi-lagi Mita memilih tempat yang sama. Di bawah tiang lampu taman, dekat rumpun pandan. Seolah tempat itu milik pribadi.
Diayunkan kaki melangkah perlahan menuju sudut caf, tempat terfavorit. Selalu di tempat sama. Di bagian ujung timur berdekatan dengan aquarium dinding. Aquarium tempel di sebelah kiri itu menyajikan aneka ikan hias. Â Akan tetapi, perhatian Mita bukan pada aquarium itu, melainkan pada panorama bahari nun di hadapan sana.
Mita duduk sendiri seperti biasa. Dipandangi samudra membentang agak jauh di depan dengan tatapan hampa. Dipesan pula secangkir capucino seperti biasa. Pramusaji telah paham seleranya. Seperti kemarin-kemarin. Tak berubah. Sementara netranya tak lepas dari samudra. Ya, samudra! Tidak berselang lama, seseorang menghampiri.
 "Sudah lama?" Suara bariton membuyarkan lamunan.
 "Hmm ...."  Si gadis mendesah.
"Boleh aku duduk?" Dijawab anggukan tanpa mempersilakan duduk.
Hening beberapa saat. Debur ombak terdengar cukup jelas menjadi melodi harmoni musik senja.
Dilambaikan tangan ke  arah pramusaji memesan satu cangkir capucino lagi.
 "Yang lain apa?" Mita menoleh.
 "Kentang goreng atau kudapan sesuai bermitra senja," jawab Brian. Pramusaji pun paham lalu berlalu membungkuk santun.
Mereka larut pada musik alami. Debur ombak bersahutan di depan sana. Menikmati  sunset berlatar swastamita jingga tentu saja.
 "Aku tahu, tidak mudah bagimu. Namun, sampai kapan kau akan begini?" Suara khas itu kembali mengusik Mita.
Mita hanya menggeleng. Netra tetap tak lepas dari samudra nun jauh di sana.
"Bahkan aku sangat yakin. Kau pasti kuat dan tegar. Maka, kuharap kau bisa melupakan!" ujar Brian. Kali ini dengan lebih lembut sebab dengan kemarahan seperti beberapa hari lalu tidak juga membawa hasil.
Sementara Mita masih tetap bergeming. Pandangan nanar ke  arah sana masih dilakukan juga. Samudra  yang menyakiti, membuat kecewa, dan telah mengoyak hatinya. Ya, samudra yang ingin didamprat, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Air mata pun menitik kian deras dari netra.
"Mit, mestinya kau bangga. Dia pergi karena menjadi duta pertiwi. Ikhlaskan kepergiannya dengan cara elegan, lalu bukalah hatimu untuk masa depan! Hidup masih berlanjut, 'kan?"
Netra Mita yang berurai air mata menatap sendu. Digelengkan kepala pelan. Disesapnya capucino hangat tanpa bicara lalu kembali tenggelam dalam diam seribu bahasa.
Brian tetap berada di hadapan. Sama-sama diam. Pada tiga puluh menit kemudian ...
"Hentikan aksimu ini, Mita. Hentikan!" Â Brian berbisik perlahan. "Jangan lagi setiap senja kau larikan duka lara ke sini. Justru ini makin menyiksa. Jangan lagi kau lihat samudra, tetapi lihatlah lainnya. Meski malam gulita, purnama tetap memesona!"
Hening. Terdengar sayup musik instrumentalia alat musik tradisional itu sesekali. Kadang berirama cepat, kadang lambat. Namun, begitu indah mengisi senja yang segera sirna.
"Jika Tuhan memanggil saat bertugas, pastilah Tuhan punya rencana indah buatnya. Tentu indah buatmu juga!" Brian mencoba meraih tangan kanan Mita.
Mita masih terdiam. Menatapnya  dengan sendu.
"Lupakan. Justru dengan melupakan dan mengikhlaskan, kamu menolong dia menghadap Tuhan dengan sempurna. Jangan jadi penghalang. Biarkan dia bahagia berjumpa Tuhan. Relakan dia pergi sebagai pahlawan bahari!"
"Tak bisa. Tinggalkan aku sendiri!" Netra nanar itu serasa membelah hati.
"Aku hanya ingin kau sadar. Tindakanmu ini tidak benar!" Brian mendesah.
"Tidakkah kau ngerti, betapa aku  ...,"  Netra itu mendadak membelalak pilu.
"Aku ngerti. Bukankah kau tahu, aku pernah sepertimu?" pertanyaan retoris yang tak digubris gadis manis. "Berhasil kulewati masa sulit itu! Maka, aku yakin, kaumampu!" Â
Senja  berubah kelam, tetapi nun di ujung timur cahaya memesona tiba. Bulan  muncul sangat memesona. Purnama raya jelita!
"Nah, bukan kebetulan jika kau pilih tempat ini. Lihatlah, setelah matahari terbenam meninggalkan jejak jingga, kini purnama tiba! Inilah  pertanda bahwa Tuhan menghendaki kita untuk selalu bersyukur. Apa pun itu!" Brian spontan berpindah berdiri di samping gadis jelita itu.
Ditariknya lengan gadis itu dengan agak memaksa. Diajaknya menikmati purnama yang muncul dengan perkasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H