Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Pinta dalam Diam

21 Juni 2024   01:49 Diperbarui: 21 Juni 2024   01:53 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepotong Pinta dalam Diam
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Na! Ratna ! Makan dulu, Nak! Emak sudah siapkan lauk kesukaanmu!" ujar sang emak melihat putri bungsu yang masih menyelesaikan cucian tetangga malam itu. Si gadis sedang mencuci manual dua ember pakaian tetangga yang dipercayakan kepadanya.

"Iya, Mak. Sebentar lagi. Tanggung, tinggal membilas saja, kok!" jawabnya agak berteriak dari kamar mandi dekat sumur yang berada di belakang dapur.

Kamar mandi dan sumur di luar rumah itu berpenerangan listrik sekadarnya subsidi dari tetangga sebelah. Namun, Ratna  tidak ambil pusing. Diselesaikan dengan segera pekerjaan tersebut sehingga keesokan paginya bisa segera dijemur. Pekerjaan menjadi buruh cuci setrika dilakukannya demi mencukupi kebutuhan dan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan.

Ya, Ratna  Muktiani adalah putri kedua dari pasangan Bapak Mahrudi dan Ibu Salamah. Nama kata pertama adalah permata atau batu manikam, sementara kata kedua  mengandung harapan semoga kelak menjadi wanita yang mukti. Artinya, seseorang yang hidup dalam kecukupan dan kemakmuran. Jadi, kedua orang tua berharap agar permata hatinya itu menjadi wanita sukses di masa depan.

Kakak sulung sudah menikah dan ikut suami di kota lain. Sementara,  Ratna  mencoba peruntungan dengan mengambil pekerjaan cuci setrika manual untuk para tetangga yang membutuhkan jasanya. Dengan pekerjaan manual tersebut, dia dapat menyisihkan dana cair yang dipergunakan sebagai biaya transportasi dan perkuliahan.

Bapak Mahrudi hanyalah seorang pengayuh becak. Bukan betor, becak motor seperti yang sedang marak akhir-akhir ini, melainkan becak kayuh. Harta satu-satunya milik pribadi untuk mengais rezeki demi kebutuhan nafkah bagi keluarga. Sedangkan si istri hanyalah ibu rumah tangga biasa. Namun demikian, Ratna  meyakini bahwa melalui pendidikan dia akan dapat mengubah dan meningkatkan taraf hidup. Dia bertekad hendak memperjuangkan dan memperbaiki nasib agar tidak makin terpuruk dalam ketidakmampuan ekonomi.

Tanpa gengsi dan malu, Ratna  melakukan pekerjaan yang mampu dia lakukan demi membiayai kuliahnya secara mandiri. Bersyukur, Allah memberikan kelebihan kepadanya. Sekalipun bearasal dari keluarga berekonomi di bawah rata-rata, kecerdasan Ratna  justru di atas rata-rata.

Terkenal santun, peramah, prigel, baik hati, gigih, dan ulet, keberadaan Ratna  cukup diperhitungkan. Gadis itu tak kenal lelah dan selalu giat berupaya agar pendidikannya bisa berlanjut. Ketika masih duduk di bangku SMA, sore hari sepulang sekolah, dia menyempatkan diri untuk memberi les kepada anak-anak SD dan SMP. Setelah itu, masih menerima cuci setrika tetangga yang membutuhkan bantuannya. Hasil kerja kerasnya selain ditabung juga dipergunakan untuk membantu pereklonomian keluarga.

Malam hari, tentulah merupakan malam-malam yang melelahkan baginya. Setelah cucian beres, keesokan harinya tinggal menjemur. Pagi-pagi buta dia menyempatkan menyeterika dengan setrika arang. Hal itu karena kedua orang tuanya tidak berlangganan PLN. Beruntung masih memiliki setrikaan model arang. Di pasar pun masih ada penjual arang yang sangat dibutuhkan para pedagang sate atau jagung bakar.

"Mak, Ratna  mohon doa restunya, ya, Mak. Doakan bisa lulus dengan nilai bagus sehingga memperoleh kemudahan melanjutkan kuliah," pinta Ratna  kepada emaknya.

"Pak, doakan Ratna  untuk bisa lulus dengan nilai bisa tembus untuk kuliah, ya Pak!" sungkem Ratna  kepada sang ayah.

Kedua orang tua tersebut mengangguk sambil berurai air mata, "Bapak dan Emakmu ini pasti selalu mendoakanmu, Nak. Gusti Allah memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga apa yang kamu cita-citakan tercapai atas rahmat-Nya!"

"Amin. Ratna  berangkat dulu, Pak, Mak!" pamitnya.

***

"Halaahhh ... kalau miskin, ya miskin aja! Nggak usah sok-sokan ingin kuliah segala! Emang kuliah mau bayar pakai apa? Pakai daun?" sindir sekelompok gadis modis sengaja memperkeras suaranya.

Mereka adalah beberapa gelintir anak orang kaya yang menduduki kelas 3 IPA yang berada di lantai dua gedung sekolahnya. Sementara, Ratna  masuk kelas Jurusan Bahasa dengan  jumlah siswa hanya satu kelas, 23 siswa-siswi saja. Kelas  Bahasa ini dianggap kelas berkasta paling rendah, setelah IPA dan IPS.

Ratna  memang memilih Jurusan Bahasa sekalipun nilainya bisa saja masuk IPA. Alasannya karena dia ingin memperdalam kemampuan berbahasa, baik Bahasa dan Sastra Indonesia maupun bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris dan bahasa Jerman.

Sekalipun diolok, disindir, dan dihina Ratna  tetap tersenyum mendengarnya. Sindiran, olokan, bahkan hinaan teman-teman yang hidupnya lebih  beruntung dari dirinya itu dianggapnya sebagai batu asah agar mempertajam mata batin untuk selalu berdoa dan berhubungan dengan Allah, Sang Pencipta skenario hidupnya. Ratna  sadar, sebenarnya para pengolok tidak bersalah. Hanya saja mereka diselimuti oleh rasa iri, dengki, dan cemburu yang tidak tersalurkan secara bijak.

Ketika mendengar perundungan yang ditujukan kepadanya, Ratna  hanya bergumam di dalam hati, "Ya, Allah. Bukan karena kemauan hamba kalau harus hidup di dalam kemiskinan. Semua atas kehendak-Mu saja. Oleh  karena itu, mampukanlah hamba menghadapi omongan dan olokan mereka. Kasihani mereka juga karena sebenarnya mereka telah menghina Asma Allah. Ampunilah mereka, ya Allah. Anugerahkanlah hidayah agar mereka sadar akan kekhilafannya, amin."

Hati Ratna  tenang kembali setelah mengadu dan mengaduh hanya kepada Allah sang Sutradara Agung yang membentuk jiwa raga dan garis nasib hidupnya.

"Ya, Allah ... kuatkan dan sehatkanlah Ayah hamba yang setiap hari harus mengais rezeki dengan mengayuh becaknya. Berikanlah rezeki agar Ayah pun tenang dalam mencari nafkah dan menghadapi masalah hidupnya. Demikian juga dengan Emak. Kiranya Allah berkenan berbelas kasih terhadap Emak dengan memberikan kesabaran dan ketabahan menghadapi hari-hari hidupnya. Mereka berdua harta hamba, ya Allah. Panjangkanlah umurnya sehingga boleh melihat hambamu ini sukses meraih mimpi dan menggapai cita-cita, amin," doa Ratna  menggema di dalam sanubari di setiap kala.

Setelah menaikkan doa-doa tersebut, hatinya menjadi teduh kembali. Gejolak ombak yang berderai mengharu biru batin pun reda setelah mengadukan halnya kepada-Nya. Tidak seorang manusia pun yang dipercaya sebagai tempatnya mengadu dan apalagi mengaduh. Tidak. Kepada kedua orang tua pun tak boleh dia menunjukkan muka muram. Dia berjanji akan selalu menjadi bintang dengan sinar paling cemerlang sehingga menjadi pengobat lara dan lelah kedua orang tua.

"Na, kamu yang sabar, ya!" bisik Karin, sabahat sebangku yang akrab dengannya.

Karin tahu betapa Ratna  berusaha dengan susah payah untuk menelan pil pahit caci dan cerca beberapa gadis kaya yang selalu merundungnya. Karin pun berusaha tetap menjadi sahabat baik walaupun Ratna  tidak pRatna h sekali pun curhat kepadanya.
Sama dengan Ratna , Karin yang anak semata wayang dan yatim itu harus banting tulang dengan berdagang kue-kue buatan tetangganya. Dibawanya dari rumah ke kantin sekolah sebagai upaya perjuangan hidup. Sama dengan Ratna  yang menjadi buruh cuci setrika sehingga tangannya tidak pRatna h terasa halus tatkala harus bersalaman dengan siapa pun. Maka, dua gadis tersebut cukup akrab.

***

"Terima kasih, ya Allah ... ," air mata Ratna  tak dapat dibendung ketika memperoleh pengumuman bahwa jumlah nilainya terbaik di sekolah.

"Ratna , kami bangga padamu," Ibu Walimah, wali kelasnya menyalami sambil memberikan amplop agar bisa Ratna  gunakan sebagai sarana untuk mendaftar ke perguruan tinggi.

Sementara dari pihak sekolah, Kepala Sekolah dan Dewan Guru yang mengetahui kondisi keluarga Ratna  pun,  menggalang dana sukarela sebagai bantuan dana pendidikan bagi kelanjutan kuliah Ratna . Tentu saja tangis bahagia tidak dapat disembunyikan. Serta merta pertahanannya jebol sehingga tirta netra membanjiri kedua pipi mulus alami meski tanpa perawatan ekstra itu.

Sesuai apa yang dicita-citakan, Ratna  mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di salah sebuah perguruan tinggi swasta yang menawarkan beasiswa. Ratna  berhasil memasuki perguruan tinggi tersebut dengan menggunakan jalur prestasi. Apalagi sekolah pun memberikan rekomendasi kepadanya.

Meski sang ayah masih eksis dengan becaknya, Ratna  tidak merasa minder atau insecure. Dia justru bertekad hendak menunjukkan bukti bakti dengan belajar makin giat. Pekerjaan cuci setrika sudah ditinggalkan, tetapi dia berpindah ikut seorang penjahit. Di tempat itu, Ratna  belajar mulai dari menjelujur, memasang kancing secara manual, menyetrika sebelum diambil pelanggan, hingga melihat dan memperhatikan bagaimana ibu pemilik usaha itu bekerja. Diam-diam dia memperhatikan bagaimana membuat pola, memotong kain, dan memohon untuk diperkenan mencoba mengayuh mesin jahit.

"Kalau kamu berminat, bisa belajar sama Ibu!" tutur Bu Rita sang penjahit.

Demikianlah perlahan tetapi pasti, hari demi hari, seiring perjalanan waktu Ratna  mulai bisa membatu menjahit. Jadi, jika pulang kuliah, Ratna  tidak langsung pulang ke rumah, tetapi menuju rumah sang penjahit. Atas kejujuran dan kerajinan yang ditunjukkan, Ratna  mendapat kemajuan luar biasa. 

Ratna berpikir, kelak jika kuliahnya selesai, ia akan bekerja juga sebagai penjahit meski kerja sambilan. Hal itu karena ia tahu menjahit pun merupakan profesi menjanjikan. Selain memiliki seni tersendiri, keterampilan tersebut memerlukan kesabaran, ketelitian, dan ketelatenan yang bisa mengasah mata batin pula. Ia ingin menjadi sosok wanita yang sabar, tabah, dan tahan banting di tengah gempuran kondisi ekonomi keluarganya.

Empat tahun perjalanan dalam perkuliahan dan pertarungan hidup, akhirnya Ratna  pun membawa kedua orang tua ke kampus. Ayah mengayuh becaknya dengan netra berembun. Dua penumpang berkebaya, satu di antaranya bertoga. Istri dan putri bungsu tercinta!

"Dengan bangga segenap Civitas Akademika mengucapkan selamat kepada wisudawan-wisudawati berikut. Ratna  Muktiani, S.Pd. dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Meraih  IPK tertinggi, yakni 3,46. Selamat memperoleh predikat yudisium cum laude!  Mohon tepuk tangan yang meriah hadirin menyambut Ratna  Muktiani, S.Pd. Yang bersangkutan dipersilakan naik ke podium untuk menerima ucapan dari bapak Rektor!"

Allah telah mempertontonkan keagungan-Nya. Seorang ayah dari kasta terendah dengan profesi sebagai pengayuh becak, digiring bersama istri untuk naik panggung kehormatan pada ajang pesta wisuda kala itu. Allah yang menjadi tempat mengadu dan mengaduh bagi putrinya itu telah membimbing pada klimaks skenario pada sisi pendidikan dari masyarakat akar rumput.

Terpujilah Allah kekal selamanya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun