Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Super Kilat (part 2)

18 Juni 2024   00:58 Diperbarui: 18 Juni 2024   01:58 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta Super Kilat (Part 2)

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Lucu juga aku nih ... perasaan menggebu-gebu, tetapi kalau berada di depannya mati kutu, lidah kelu, dan badan kaku ... bak robot rusak ... aha ... haha. Semalam aku sampai  memimpikan dia! Ya, ampun ... kacaunya otakku. Mungkin aku sudah lelah menjomlo atau kekurangan kasih sayang ya ... atau bisa jadi kedua-duanya. 

Namun, jujur kuakui bahwa aliran darahku terasa tak beraturan saat berada berdekatan dengannya. Signal itu mungkin tertangkap juga oleh netranya yang begitu tajam menembus jantungku ini. Tatapan yang menggetarkan hatiku! Meluluhlantakkan pertahananku!

Aku tersenyum-senyum sendiri. Membayangkan seandainya malam sedingin ini berada dalam pelukannya ... ya Tuhan ... ahh ... begitu parahnya pikiranku. Aku kurang pesiar ini nih kayaknya, maka baiklah aku berjalan-jalan agar korsleit  di otakku sembuh! Butuh refreshing!

Usai mandi keramas, mengeringkan rambut dengan hair dryer, aku segera meminta air panas di pos untuk membuat teh hangat. Kali ini pilihanku jatuh pada kembang telang ... kumasukkan sesendok makan madu tawon lanceng ke dalamnya, kuseruput pelan untuk menikmati sensasinya. Beruntung benda-benda keramat itu sudah kusiapkan jauh sebelumnya sehingga tidak tertinggal.

Hah? Benda keramat? He he he ... iya, aku memang penyuka teh herbal. Bukan hanya daun pucuk teh, melainkan juga daun pucuk merah, kembang telang berwarna biru ungu itu, dan bunga rosela yang berasa asam manis. Benda tersebut wajib ada di mana pun aku berada dan siap kapan pun ingin menyeduhnya. Itulah sebabnya aku menyebut sebagai benda keramat yang wajib selalu hadir di dalam tasku! Hal itu karena aku tidak bisa mengonsumsi minuman kemasan, apa pun nama atau mereknya! Sorry, I don't like this!

Kuketuk pintu kamar kakak, kalau-kalau sudah bangun. Namun, tidak memperoleh respons. Artinya kedua kakakku yang pekerja keras itu masih tidur. Ya, kakak dan iparku yang lulusan luar negeri itu memang bekerja hingga larut malam, wajar kalau mereka tidak bisa dan terbiasa bangun sepagi aku. Pukul 07.00 kukira mereka siap bangun. Sepertinya irama hidup mereka seperti itu.

Aku meninggalkan kertas memo berkas kardus kemasan makanan semalam yang kumasukkan di sela pintu kamar, mengabarkan bahwa aku jalan pagi mengitari area penginapan. Kuberitakan bahwa ada termos di kamarku seandainya kakak hendak membuat minuman hangat. Kunci kamar kuletakkan di tempat tersembunyi sebagai antisipasi, tetapi mereka masih bisa mencari dengan mudah.  Demikian juga kukirim whatsapp dengan isi pesan sama. Mengapa harus kutulis? Ya, takutnya kakak tidak sempat membaca chating-ku.  

Kolam renang dekat kamarku sudah ada dua orang di sana. Seorang ibu yang duduk di batu besar di tepi kolam, dan satu lagi kupikir putrinya yang sedang berendam, sedang beradaptasi dengan cuaca. Kulangkahkan kaki mengitari area dengan jalan cepat. Singgah di pos, ternyata Mas Bule barusan sampai. Tiga pemuda tampan khas bule tentunya. Mereka yang terbiasa dengan cuaca dingin di musim salju agaknya tidak merasa kedinginan sepertiku.

Kostum training terbaikku terasa belum menghangatkan tubuh ini, tetapi segera kugerakkan badan agar terasa hangat.

"Hai ... selamat pagi, Barbie!" sapa Steve dengan senyum hangat merekah.

Masih setengah gugup kujawab sapaan itu dengan lembut, "Hai ... bagaimana istirahat malammu?"

"Eh ... ini temanku ... dua ... ayo berkenalanlah situ ... sendiri," ajak Steve kepada dua orang teman di sebelahnya.

Melihat tampilanku, kedua teman Steve menggeleng-geleng lucu. Entahlah apa yang ada di pikiran keduanya. Aku cuek saja, sih ... walau sempat gedikit grogi. Semoga saja kebaikan yang ada di dalam otak dan benak mereka. 

Arnold dan Ronald pun menyebut nama masing-masing dan memperkenalkan diri dengan singkat. Setelah berkenalan kami segera berjalan-jalan mengitari area penginapan.

Jalan di depan pos berbelok ke kiri, berliku menurun ... hingga tiba di perumahan unik ... rumah kayu dan rumah joglo. Sengaja disediakan vila berbagai ukuran dengan model rumah kuno, rumah kayu untuk memuaskan pelancong yang datang menginap di situ. 

Inilah rupanya keunikan yang sedang dijual oleh pemilik penginapan: nuansa desa secara totalitas. Bahkan, di sana-sini ada pajangan benda-benda khas pedesaan, seperti gerobak zaman dulu (cikar dan dokar). Keduanya sengaja dipajang di sudut-sudut area dengan strategis. Dengan demikian, pengunjung bisa melihat-lihat moda transportasi tanpa mesin zaman baheula itu secara gratis. 

Agak ke bawah ada kolam renang lagi, tetapi tidak satu pun di antara kami yang ingin berenang. Ada juga jalan setapak menuju area persawahan lengkap dengan dangau dan orang-orangan, barangkali ada yang ingin berfoto di sana. Kami bertiga hanya berjalan menyusuri jalanan berkelok naik turun sambil sesekali berhenti memperhatikan jenis pohon atau bunga yang terlihat unik, antik,  dan indah.

Jalanan licin karena hujan semalam, tetapi pagi ini matahari mulai menyembul di antara pepohonan tinggi di sekitar kami. Rupanya sedang mulai musim laron. Ratusan laron beterbangan mengganggu perjalanan kami. Mereka bisa saja hinggap di rambut, bahkan menabrak mulut kami.

Aku menceritakan bahwa saat masih kecil, ketika berada di rumah kakek nenek di desa, kami menggoreng laron tersebut sebagai lauk teman nasi. Mereka bertiga terheran-heran mendengar ceritaku dan menanyakan rasanya. Kukatakan digoreng tanpa minyak di wajan tanah liat sehingga berasa gurih sekali. Bukan hanya laron yang kami goreng, melainkan juga ulat turi dan kepompong ulat api. 

Itulah sumber protein hewani pada masa kanak-kanak kami.

"Oh, seperti kebiasaan makan di Thailand, benar? Beberapa hewan kecil disantap bisa?" Ronald berapi-api bertanya sambil menggerakkan tangan. Aku hanya mengangguk mengiyakannya.

"Iya, benar. Di sana kalajengking pun dibakar dan disantap!" jawabku.

Tetiba kakiku terpelicuk saat melompati selokan gegara ingin memetik buah aneh. Nah, rasa panas dan sakit menjalari kakiku. Untunglah Steve dengan cepat menolongku. Digendongnya aku ke pos dangau terdekat, disuruhnya berselonjor, lalu dipijatnya kakiku sedemikian rupa. 

Setelah itu ditarik dan digeser dengan cepat hingga aku berteriak cukup keras. Namun, anehnya langsung sembuh seketika. Bersyukur sekali. Hanya rasa nyeri yang masih belum reda. Aku sangat berterima kasih karena mereka berdua sangat cekatan menolongku sehingga aku seolah seorang putri yang ditolong tiga pangeran tampan.

Salah seorang teman Steve membantu memetikkan buah mirip blubbery itu yang ternyata bernama murbei. Arnold, teman Steve berkata lirih, "Oh, ini buah tidak bisa dipetik kita semau saja ...?" keluhnya terbata. 

Ternyata ada papan pengumuman dilarang memetik bunga dan buah di area penginapan.

"Oh, ya ampun ... maafkan, aku tidak tahu ada aturan itu!" seruku.

Gawaiku berdering. Kakak ipar memintaku menuju resto vila untuk  makan pagi. Kuberitahukan bahwa aku bersama tiga pangeran tampan, kakak ipar pun terbahak. 

Akhirnya kami sekeluarga bertemu ketiga bule untuk bersama-sama menikmati makan pagi. Kami ceritakan kalau kami sudah mengelilingi kompleks dan kakak berkeinginan untuk bersama-sama berkeliling sambil memvideokannya. Kakak sangat berterima kasih kepada mereka atas pertolongan yang mereka berikan kepadaku.

Karena kakak berdua pernah tinggal di Amerika untuk mengikuti program master dan doktor, mereka fasih berbahasa Inggris. Namun, ketika kakak bertanya dengan bahasa Inggris, ketiga bule memohon agar kami menggunakan bahasa Indonesia.  Katanya karena sekalian belajar berbahasa Indonesia. 

Mereka sedang mengikuti semacam masa orientasi sebelum ditempatkan di Indonesia dari badan misionari yang mereka ikuti. Rencananya tahun depan setelah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi masing-masing, mereka siap ditempatkan di mana pun di Indonesia.

"Waww, ... luar biasa," seruku sambil spontan mengangkat jempol kanan, "Belum tentu loh aku mau ditempatkan di pelosok tanah air ... eh ... kalian justru menyediakan diri untuk melayani di mana pun pelosok Indonesia? Ini patut diacungi jempol dan diteladani. Aku pikir, kalau aku ditempatkan di daerah tertinggal, uhhh ... aku masih berpikir seribu kali!" decak kagumku tergelitik oleh kesediaan mereka mengabdikan diri di mana pun Tuhan berkenan.

"Nah, tuh ... Ros ... dengar tuh tekad mereka bertiga! Jadi, kalau nanti kamu mendapat tugas di Papua, misalnya ... jalani saja! Jangan pilih-pilih! Biarlah Tuhan yang menentukan masa depanmu di mana!" sergah iparku bersemangat.

Steve tiba-tiba berkata, "Kalau saya ditempatkan di suatu kota, maukah Ros ikut saya?" 

Kupikir pertanyaan konyol, mengapa aku harus ikut dia, ha? Kedua kakakku langsung tertawa dan iparku menjawab spontan, "Maksudnya apa, ya? Mengapa Ros harus ikut kamu, Steve?"

Steve pun tersipu dan menjawab kebingungan, "Ohh ... sa-saya ... fall in love with Ross, this really!" netranya menatap tajam wajahku. 

Tentu saja aku gelagapan. Pucuk dicinta ulam tiba, batinku! Bukankah ini harapanku selama ini? Menikah dengan bule bermata biru!
Kedua sahabatnya langsung menjabat tangan Steve, bahkan Arnold berucap, "Banyak selamat, Stiff!"

"Boleh saya meminta Ross untuk menjadi istri saya, Kakak?" tanya Steve dengan bola mata mengerjap indah. 

Tentu saja aku tersipu mendengarnya. Tidak menyangka secepat ini Steve mengatakan keinginan meminangku! Aduhai ....

"Nah, kalau kami sih oke-oke saja, tinggal bagaimana yang menjalaninya. Kamu ... bagaimana, Dik? Apakah mau dinikahi Steve? Aku yakin, orang Barat itu bisa dibilang setia loh! Steve sudah berkata jujur, maka kamu juga harus jujur!" tatap netra itu terasa mengaduk jantungku.

Aku menunduk sambil memainkan sendok dan garpu karena makan pagiku sudah ludes.

"Diam itu pertanda setuju, kan?" sergah iparku menohok.

Aku menyadari ketiadaan kedua orang tuaku membuat lamaran tidak resmi ini jadi begitu sepi. Aku jadi kangen dengan kedua ortu yang telah berpulang. Secara tidak kusadari, netraku pun berembun.

"Maafkan adikku, Steve. Mungkin adik teringat kedua orang tua kami!"

"Ya, secepatnya akan kudatangkan Papa ke Indonesia, minta Ross untuk kunikahi. Begitu?" Steve yang belum paham adat kami mencoba mengorek kemauan kakakku.

"Boleh, makin cepat makin baik!" kata kakak.

"Kami mendukungmu, Stiff!" kata Arnold, "supaya tenang pelayanan di sini!" lanjutnya.

Akhirnya perkenalan singkat yang diakhiri dengan lamaran tidak resmi mendadak tersebut makin mendekatkan kami berdua. Bersyukur, semuanya dimudahkan-Nya. Ketika berpisah keesokan harinya, Steve berjanji untuk mencariku ke Semarang. Hubungan kami pun berlanjut aman sejahtera tanpa kendala. Beruntung ada aplikasi video call yang memudahkan pertemuan virtual kami. 

Rencana Steve membawa keluarga untuk menghadap kakak sulung hendak meminangku, mulai kami bawa dalam doa-doa kami. Berharap Tuhan berkenan bercampur tangan memudahkannya.

***

Ayah Steve benar-benar datang ke Indonesia bersama dua kerabat lain. Mereka meminangku! Bahkan, dua tahun setelah itu, ketika selesai tugas coas-ku, seperti pernyataan kakak ipar agar aku berserah hendak ditempatkan di mana oleh Tuhan, aku harus berserah. Ternyata, aku ditempatkan di salah satu rumah sakit di daerah NTT. Steve pun mendapat tugas di daerah yang sama dengan tempat tugasku. Terpujilah Tuhan Sang Khalik Semesta Alam!

Bawalah segala permasalahan dan keinginan kepada Tuhan ke dalam doa, biarlah Tuhan yang berotoritas dalam seluruh kehidupan kita karena Tuhanlah yang memiliki dan menata hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun