"Waww, ... luar biasa," seruku sambil spontan mengangkat jempol kanan, "Belum tentu loh aku mau ditempatkan di pelosok tanah air ... eh ... kalian justru menyediakan diri untuk melayani di mana pun pelosok Indonesia? Ini patut diacungi jempol dan diteladani. Aku pikir, kalau aku ditempatkan di daerah tertinggal, uhhh ... aku masih berpikir seribu kali!" decak kagumku tergelitik oleh kesediaan mereka mengabdikan diri di mana pun Tuhan berkenan.
"Nah, tuh ... Ros ... dengar tuh tekad mereka bertiga! Jadi, kalau nanti kamu mendapat tugas di Papua, misalnya ... jalani saja! Jangan pilih-pilih! Biarlah Tuhan yang menentukan masa depanmu di mana!" sergah iparku bersemangat.
Steve tiba-tiba berkata, "Kalau saya ditempatkan di suatu kota, maukah Ros ikut saya?"Â
Kupikir pertanyaan konyol, mengapa aku harus ikut dia, ha? Kedua kakakku langsung tertawa dan iparku menjawab spontan, "Maksudnya apa, ya? Mengapa Ros harus ikut kamu, Steve?"
Steve pun tersipu dan menjawab kebingungan, "Ohh ... sa-saya ... fall in love with Ross, this really!" netranya menatap tajam wajahku.Â
Tentu saja aku gelagapan. Pucuk dicinta ulam tiba, batinku! Bukankah ini harapanku selama ini? Menikah dengan bule bermata biru!
Kedua sahabatnya langsung menjabat tangan Steve, bahkan Arnold berucap, "Banyak selamat, Stiff!"
"Boleh saya meminta Ross untuk menjadi istri saya, Kakak?" tanya Steve dengan bola mata mengerjap indah.Â
Tentu saja aku tersipu mendengarnya. Tidak menyangka secepat ini Steve mengatakan keinginan meminangku! Aduhai ....
"Nah, kalau kami sih oke-oke saja, tinggal bagaimana yang menjalaninya. Kamu ... bagaimana, Dik? Apakah mau dinikahi Steve? Aku yakin, orang Barat itu bisa dibilang setia loh! Steve sudah berkata jujur, maka kamu juga harus jujur!" tatap netra itu terasa mengaduk jantungku.
Aku menunduk sambil memainkan sendok dan garpu karena makan pagiku sudah ludes.
"Diam itu pertanda setuju, kan?" sergah iparku menohok.