Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepanjang Jalan Kenangan

17 Juni 2024   16:30 Diperbarui: 17 Juni 2024   16:44 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepanjang Jalan Kenangan
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Pagi ini tensiku lumayan tinggi, 140. Mata pun terasa panas. Itu sebabnya segera kukirim berita buat bungsu yang masih stay di Fordword Texas untuk meminta kepastian resep. Biasalah, aku malas ke dokter karena bungsu pun dokter. Jadi, kalau ada sedikit masalah dengan kesehatan, aku cukup hanya menanyakan obat dna dosisnya.

Setelah makan pagi, segera kukonsumsi obat seperti yang direkomendasikan si bungsu. Kemudian, segera bergegas beristirahat dengan merebahkan diri saja agar pusing tidak terasa mengganggu.

Kuraih kaleng isi roti mari kesukaan yang melegenda untuk meredam agar perut tidak melilit dan lidah pun tidak pahit. Kalau orang Jawa sebagai gejah, penghilang rasa pahit karena minum jamu atau obat. Hehehe ... snack kesukaan keluarga sejak dahulu kala itu memang selalu tersedia di dekat meja kerjaku agar sewaktu-waktu bisa kuraih, kubuka penutupnya, lalu kunikmati sensasi rasa enaknya.

Dari ruang depan kudengar Mas Misua yang menggemari lagu kenangan sedang menyetel MP3 lagu masa lalu. Tetiba ingatanku pun melayang ke masa silam mendengar lagu yang disetel lumayan keras karena beliau sudah berkurang daya pendengarannya itu.

Sepanjang jalan kenangan kita selalu bergandeng tangan ...
Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra ...

Sekitar lima dasawarsa lalu, ketika aku masih remaja .... 

Saat itu aku memiliki seorang kekasih. Raut mukanya menurutku sangat tampan. Hitam manis dengan rambut dan cambang tebal, membuatnya tampak berwibawa. Apalagi hidung mancung yang bertengger di atas kumis tebalnya. Memang, orang bilang seperti tampang penjahat, tetapi hatinya sangat lembut dan penampilannya sangat kalem. Tidak sesangar yang orang pikirkan.

Dia pun sangat sabar dan gaya bicaranya begitu santai dan klemak klemek alias klemar klemer Bahasa Jawa yang artinya serbapelan. Bisa juga diartikan kurang trengginas atau kurang cekatan. Selain slowly dalam segala hal, ia juga  low profil banget. Tidak sesuai dengan tubuhnya yang menakutkan anak kecil. Bertentangan dengan kondisi fisiknya yang pantas menjadi preman pasar aha ha ha ... itulah benar kata orang, "Don't judge a book by its cover."

Namun, sayang. Percintaan kami harus terputus di tengah jalan. Karena sesuatu hal, Mas Gaharu Ariawan harus menikah dengan saudara jauhnya. Konon gegara masalah utang budi. Maka, aku pun harus merelakannya. Ya, sudahlah. Kupikir memang dia bukanlah jodohku. Mau tak mau aku harus merelakannya.

Pelan tetapi pasti, aku harus melupakannya. Beruntung juga karena aku mendapat panggilan kerja di luar Jawa sehingga dengan cepat aku bisa segera move on. Namun, sejak perpisahanku dengan Mas Aru itu, tidak mudah bagiku untuk menemukan tipe cowok seperti dia. Melupakan dan mengikhlaskan sih berhasil, tetapi mendapatkan pengganti, itu bukanlah hal mudah.  

Dua tahun segera berlalu dengan cepatnya. Aku memperoleh kesempatan pulang ke kampung halaman selama dua mingguan.  Lumayan mengobati rasa rindu yang sudah menggunung. Rindu kedua orang tua, rindu menikmati udara desa tempat masa kecil bercanda bersama teman sebaya.

Kepulanganku ke kampung halaman pun sudah kulengkapi dengan reuni tipis-tipis bersama teman sekolah yang masih berada di desa. Hanya reuni sederhana dengan membawa bekal masakan dan nasi putih, pergi ke suatu tempat untuk makan siang bersama sambil bernostalgia.

Di tempat itulah, kutemukan cinta masa kecilku sehingga hanya dalam waktu seminggu, aku dilamar oleh kakak kandung teman SMA-ku. Memang, jodoh itu misteri. Dengan siapa dan kapan dipertemukan Tuhan, sungguh merupakan waktu yang dimiliki dan dipilihkan oleh-Nya. Misteri yang tidak pernah bisa kita prediksi.

Senyampang masih di Jawa, aku pun menghubungi teman di suatu kota tempatku menimba ilmu. Tepatnya di Kota Malang. Di kota itulah Mas Aru tinggal bersama keluarga kecilnya. Namun, kudengar Mas Aru belum dikarunia momongan, apalagi istrinya pun memperoleh tugas di pulau lain pula.

"Bagaimana bisa segera mempunyai keturunan kalau keduanya LDR-an?" pikirku.

Lewat grup WA kuketahui hal-hal kecil dengan lumayan mendetail. Aha hahaha ... semacam detektif saja, 'kan? Bukankah aku sudah move on? Bukankah kemarin aku juga sudah dilamar? Entahlah. Yang jelas aku berniat menjumpai Mas Aru di Malang. Maka, kukabarkan hal itu secara jalur pribadi alias japri.

Sengaja aku datang ke kotamu
Lama kita tidak bertemu
Ingin diriku mengulang kembali
Berjalan-jalan bagai tahun lalu

Menjawab japrianku, Mas Aru bersedia menjemputku yang berencana berkereta api ke kota tempat tinggalnya. Wuah, tak urung aku sangat senang. Beberapa tahun tidak pernah menikmati moda transportasi itu, benar-benar kunikmati perjalananku. Apalagi di luar Jawa aku tidak bisa menikmatinya. 

Konon, dengan kondisi kereta api saat ini yang sangat bersih dan sangat nyaman pula, pasti tidak akan membuatku mabuk dibandingkan dengan mengendarai moda transportasi jenis bus yang melintasi Karangkates dengan kelokan tajam. Nah, kuniatkan segera merealisasikan keinginan bukan hanya berkendara melewati terowongan saja, melainkan juga bertemu mantan sebelum aku meninggalkan dunia lajangku.

Perjalanan tiga jam dengan kereta api sangat menyenangkan. Tidak macet, tentunya! Melewati daerah persawahan mahaluas sungguh menyejukkan netra. Dilanjutkan dengan perbukitan dan terowongan, pun sangat menghipnotisku.

Di gerbong ber-AC pun ditawarkan snack dan aneka minuman oleh pramugara tampan dan pramugari cantik, lumayan membuat perut ini terisi nutrisi bergizi. Seperti biasa, aku memesan nasi goreng kegemaran. Ternyata, bukan hanya aroma, melainkan juga citarasa sempurna yang kudapatkan. Diakhiri dengan segelas teh manis hangat sungguh lumayan membuat ususku tenang setenang-tenangnya.

Ternyata, nasi goreng menjadi menu andalan sehingga tak heran kalau banyak pemesan di gerbong tersebut. Rupanya promosi dari mulut ke mulut atau dengan melihat langsung penumpang yang sedang menikmati tidak di gerbong restorasi menjadi ajang promosi tersendiri. Luar biasa, bukan? Maka, para pramugara pramugari pun wira-wiri di lorong dengan mengantar pesanan pelanggan. 

Kesibukan mereka menjadi pemandangan tersendiri, terutama bagi para jomlowan dan jomlowati ... he he he.
Dengan agak kikuk, Mas Aru menghampiriku setelah kereta api sampai di stasiun Malang Kota Baru. Stasiun bertaraf internasional ini setara dengan apron bandara internasional saja. Luas, bersih, dan memesona! Aku pun tak kalah kikuk. Baru kali ini kami bertemu setelah perpisahan dua tahun silam. Kini Mas Aru tampak lebih kurus dan penampilannya sangat rapi. Berbeda dengan saat itu sehingga aku agak pangling tadinya. Jika bukan dia yang menghampiriku, pasti aku tidak mengenalnya.

"Dik Nin? Apa kabar?" sapanya ramah.

Gemetar rasanya mendengar suara lembut itu. Ya, suara bariton itu masih kukenali.
Kuulurkan tanganku tanpa kata sebab rasanya tercekat di tenggorokan saja suaraku. Disambutnya dengan hangat dan diguncangnya lembut. Terasa hangat wajahku. Mungkin bagai lobster rebus.

Dalam pikiranku ada ketakutan ... mengapa aku berani datang sendiri menemuinya, coba? Bukankah aku ini hanya cari masalah? Berputar-putar di kepala ini aneka pertanyaan di dalam dadaku.

Namun, sudah terlanjur. Aku harus mempertanggungjawabkannya. Kalau aku berani mendatanginya, berarti aku pun harus menjaga diri, menjaga jarak sedemikian rupa. Bagaimana pun Mas Aru sudah berkeluarga dan aku pun segera menyusul hendak berumah tangga.

"Hati-hati Nin, jangan macam-macam kamu!" kalimat yang selalu menggelitik di dalam hati dan pikiranku.

"Yuk, Dik ... kita cari makanan favorit sebagaimana dua tahun lalu," ajaknya santun.
Aku hanya mengangguk perlahan.

"Adik masih suka pangsit mi Gajahmada dan jus tomat, 'kan?" tanyanya.
Sekali lagi aku hanya menggangguk.

"Duh, tak tahukah kamu Mas, kalau aku ini kebingungan? Aku sudah terlanjur berani bertemu denganmu, sementara aku katakutan mengganggu privasimu! Aku ingat akan statusmu sebagai suami orang!" keluhku dalam hati.

"Atau ... kita mau mengenang berjalan-jalan di sepanjang jalan Kayutangan atau Jalan Ijen?" tanya Mas Aru lagi dengan agak berbisik.

"Mas ...," ucapku tercekat.

"Ya, Dik? Ada apa?"

"Istrimu ...," ternyata aku tak mampu melanjutkan pertanyaanku.

"Baru seminggu lalu kembali ke Pontianak Dik setelah enam bulan nggak pulang. Dia cuti seminggu saja di sini ...," jawabnya dengan nada menggantung diakhiri embusan napas panjang.

"Itu sebabnya kalian belum punya keturunan?"

"Ya, ada masalah dengan organ reproduksinya, Dik. Tidak mudah," jawabnya.

"Oh, ...."

"Mungkin ...."

"Mungkin apa Mas?" sergahku.

"Nggak ...," diraihnya jemariku dan diremasnya pelan. Namun, segera kutarik dengan agak kasar dan secepat kilat.

"Jangan Mas ...," tolakku.
   

Walau diriku kini t'lah berdua
Dirimu pun tiada berbeda
Namun kenangan s'panjang jalan itu
Tak mungkin lepas dari ingatanku

"Sudah adakah yang mengisi hatimu, Dik?" tanyanya sendu.

"Ya, Mas. Aku juga mau pamit, soalnya sudah ada yang melamarku."

"Oh, begitu ...," diembuskannya napas panjang.

"Yuk, Dik ... kita makan siang dulu di sini, ya!" ajaknya sambil membukakan pintu mobil di depan depot yang pada masa lalu menjadi langganan kami.

Setelah menikmati pangsit mi yang sangat kurindukan, kami berjalan menyusuri sepanjang jalan Ijen. Dahulu kami berdua berjalan kaki sepanjang trotoar itu. Akan tetapi, kini cukup dilewati dengan kendaraan roda empat yang disopiri Mas Aru dengan sangat perlahan. Jalan yang diteduhi pohon palem itu menjadi saksi bisu betapa dulu kami saling mengikat janji. Kini, di jalan ini pula kami berikrar. Akan tetapi, bukan berikrar sehidup semati, melainkan untuk tetap menjalin silaturahmi hingga tutup usia nanti. Kami hanya ingin berteman saja, tidak lebih. Friends forever!  

***  

Kemarin siang kudengar kabar bahwa Mas Gaharu telah berpulang setelah sekian lama menderita diabet. Mereka tidak dikaruniai seorang anak pun, tetapi sempat mengadopsi seorang anak, entah tidak kuketahui jenis kelaminnya apa. Sudah lama sekali kami tidak saling berkabar. Tetiba kabar duka kudengar. Sempat membuatku kaget, tetapi kita memang tidak tahu sebatas mana usia kita.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun