Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anting-Anting Penyelamat

12 Juni 2024   17:17 Diperbarui: 12 Juni 2024   18:32 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anting-anting Penyelamat

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Tria, gadis manis itu membereskan meja setelah peralatan  bekas pesta di toko tempatnya bekerja part time  dibawa ke dapur oleh salah satu kawannya. Kanebo basah, semprotan berisi sabun cuci plus jeruk nipis, dan lap kering ada siap di kantung celemeknya. Kantung itu bagai kantung ajaib milik Doraemon! Peralatan berperangnya ada di sana semua! Dia  pun bekerja dengan sangat cekatan!

"Cepet sikit, Tria ... nanti keburu tak ada angkutan!" Mbak Tutik mendekatinya, berbisik sambil membawa setumpuk piring dari meja sebelah.

Tria mengangguk. Tanpa banyak bicara segera beralih ke meja sebelahnya. "Hmm ... masih kurang tiga meja lagi yang harus dibereskan!" senandikanya sambil mengedarkan pandang ke sekeliling ruang pesta.

Sejenak kemudian, Yoyok, temannya yang lain melewatinya sambil berbisik pula, "Jatah kita sudah dibagi-bagi oleh Mak Sum di belakang, kamu tenang saja!"
 

Dalam hati Tria bersyukur  karena Tuhan begitu baik padanya. Dia diajak bekerja di tempat itu oleh Mbak Li'ah putra tetangga indekosnya beberapa bulan lalu sehingga jika malam Minggu sering mendapat jatah makanan dari tempatnya bekerja sambilan itu.

Ya, Toko Oen yang terkenal dengan es cream-nya memang tempatnya strategis banget. Berada di depan mal Sarinah, di samping Gramedia, tepat di seberang depan pertigaan patung Chairil Anwar, di tengah-tengah kawasan Kayutangan. Dengan pediatri  mozaik cukup luas, tersedia tempat parkir lumayan leluasa. Tempat yang terkenal sejak zaman Belanda sehingga seringkali para wisatawan mancanegara singgah di tempat itu untuk bernostalgia.

Di tempat itu jika musim pengantin seringkali di- booking  Sabtu Minggu untuk pesta. Setelah pesta usai, para pramusaji terpaksa harus pulang terlambat, agak mundur kadang sampai satu jam lebih karena beberes ruangan terlebih dahulu.  Ada satu hal yang disukai oleh para karyawan, jika ada sisa makanan pesta pasti pulang akan membawa sisa-sisa makanan dari toko yang tentu saja nikmat di lidah.

Sebenarnya Tria sangat kebingungan karena dompetnya kosong dan dipastikan dia akan pulang ke indekosan dengan berjalan kaki. Namun, Tuhan sangat memperhatikan keadaannya. Tuhan berbaik hati padanya. Malam itu, tiba-tiba dia mendapat bonus istimewa. Ya, ketika pulang dia diajak oleh putra majikannya untuk ikut semobil yang akan melewati jalur tempat indekosnya.

Di rumah indekos itu Tria satu kamar dengan Ratih. Mereka sangat kompak bagai adik  kakak meskipun kenyataannya mereka berasal dari kota berbeda. Dua gadis ini sama-sama berambut panjang. Gemar mengurai rambut sepinggang sehingga dari belakang orang sering salah panggil.

Tria lebih tertutup. Introvert. Sementara Ratih sangat-sangat terbuka, bahkan cenderung ceriwis. Takada yang tidak diceritakan apa pun isi hati dan perasaannya kepada Tria. Namun, justru perbedaan bagai bumi dan langit inilah yang menyebabkan mereka berdua lengket seperti perangko.

Keesokaan harinya, Tria mendapat jatah libur sehari dari toko tempatnya bekerja. Hari itu kondisi dompet Tria masih stay melompong tanpa isi. Tria tidak bisa menceritakan keadaannya kepada sahabat sekamarnya itu.

Ya, Ratih memang putri tunggal. Nampaknya kondisi orang tuanya pun dapat dikatakan berada. Bagaimana tidak, ibunya seorang karyawan dinas kesehatan, sementara ayahnya memiliki usaha ternak ayam potong katanya. Karena itu, tidak heran jika Ratih tidak pernah berkekurangan.

Adapun Tria, kakek neneknya hanya pensiunan guru. Orang tuanya bercerai dan masing-masing telah menikah lagi dengan beban yang cukup berat. Karena itu, sekalipun sudah memperoleh beasiswa bidik misi, Tria harus menambah uang saku dengan mengambil pekerjaan part time. Di sela-sela jam kuliahnya, Tria menjadi penjaga toko di toko kue dan es cream terkenal di kota itu.
Dengan demikian, waktu bersama mereka hanya di malam hari. Dan malam harilah sebagai saat paling indah. Tria suka sekali mendengarkan cerita dan keluh kesah Ratih. Hilang lelah Tria ketika mendengar cerita Ratih. Dan Tria pun paling hanya tersenyum mendengar curahan hati temannya itu.

Tria sungguh kebingungan. Bagaimana dia harus membayar iuran lauk pauk untuk besok karena takada uang sepeser pun di dompetnya.

"Nak, bulan depan kami tidak kirim wesel karena sesuatu hal. Maaf, ya ... kami doakan kamu bisa mengatasi keuanganmu!"  begitu tulisan yang tertera di resi weselnya bulan lalu. Jadi, tidak mungkin Tria meminta kepada orang tua di desa.

Noted  di resi weselnya itu adalah warning agar prihatin dan berhemat. Akan tetapi, bagaimana dengan urusan peraturan di tempat indekosnya?

 Apa pun yang terjadi, sudah bulat tekadnya untuk tetap kuliah walau harus banting tulang sendiri! Sempat tebersit di hatinya untuk jujur kepada ibu indekos dan menyerahkan diri sebagai asisten rumah tangga saja di tempat itu agar memperoleh sedikit uang jasa untuk menambah pemasukannya.

Di tempat indekos itu mereka berpatungan untuk memasak dan mencuci setrika. Empat orang bergantian. Jika A mendapat bagian berbelanja, B harus memasak, sementara C bertugas mencuci, dan D menyetrika.

Setiap empat orang bergabung sehingga tugas kerumahtanggan itu terasa ringan. Setiap hari mereka mengumpulkan iuran untuk berbelanja. Petugas piket berbelanja harus pandai memilih bahan yang murah dan bergizi, lalu menyisihkan sisa uang belanja. Pada akhir bulan, uang hasil sisa uang belanja itu akan digunakan untuk aktivitas ekstra bersama, misalnya rujakan, atau yang lain.

Ini semua atas arahan ibu kost sehingga tidak boleh ada yang menolak aturan ini. Kata ibu indekos agar merasakan menjadi seorang wanita seutuhnya. "Belajar ilmu di universitas, belajar hidup mandiri di sini." Itu motto ibu indekos  yang terpampang di dinding depan rumah itu.

Mereka para gadis yang di samping belajar ilmu keduniawian di kampus, juga bersama-sama menerapkan bagaimana menjadi calon istri yang baik dan bijaksana. Ini semua berkat bimbingan ibu indekos  yang baik hati. Ibu indekos  yang sangat memperhatikan anak-anak indekos  yang semuanya putri.

Seminggu sekali mereka dikumpulkan di ruang khusus, ruang diskusi, untuk dinasihati. Di situ pula jika ada permasalahan bisa dikemukakan dan dibahas bersama. Namun, karena selain introvert juga pemalu, Tria tidak pernah bisa mengemukakan kesulitannya kepada ibu indekosnya.

Hari itu Tria benar-benar kalut. Hutang? Ahh... takpernah terpikirkan! Jika bisa, dia akan menghindari berhutang terlebih kepada temannya sendiri. "Bukankah hutang bisa memutuskan tali silaturahmi?" dia bersenandika.

Akan jujur saja kepada empat sahabatnya skelompok? Ohh, tidak! Jangan sampai aibnya, maksudnya kekurangannya ini diendus oleh teman-temannya! Atau lapor kepada ibu kost? Ahhh... makin pusing!

"Ya, Allah ... jangan sampai seorang pun tahu kesulitanku!"  Tria pun takhenti berdoa sepanjang hari, sepanjang malam agar Tuhan menolong menyelesaikan masalahnya.

 "Mbak, antar aku ke sekolah calon tempatku penelitian, ya!" rengek Ratih tetiba membuyarkan lamunannya.

"Ehh, ... iya ... iya! Ke mana, naik apa?" jawabnya tergagap.

"Duuu. .. naik apa? Nggak ada jalur, tu Mbak!"

"Emmm ...!"

"Jalan kaki, ya! Sambil jalan-jalan ... refreshing kita!"

"Emmm ...!"

"Iiiiihh ... ayolah, Mbak! Nanti kutraktir lopis, deh!" rayu Ratih sambil menggelandang lengan Tria.

"Aku ganti baju dulu, ya!"

Tak urung di jalan pun pikiran Tria masih tertuju kepada dompet kosongnya. "Ya, Tuhan ... apa dayaku! Harus bagaimana nanti saat mengumpulkan iuran belanja?" keluhnya dalam hati. Mereka berdua berjalan terus menyusuri jalan yang takpernah dilewatinya. Jalan tikus yang selama ini bukan menjadi jalur mereka.

"Waahh, ... Mbak! Lihat itu tuu... Bagus banget rumah itu!" bisik Ratih sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Tria.

"He... eh ...!"

"Andai kelak suami kita bisa membangunkan rumah seindah itu, ya ... hemmm!" gumam Ratih.

Tria tidak menjawab. Matanya tertuju ke arah sesuatu berjarak dua meter di depannya. Lalu ia injak sesuatu itu, sambil mengatakan kepada Ratih, "Tunggu. Kakiku menginjak sesuatu!"

"Hah, ... duri, ya?"  teriak Ratih cemas, "Coba, mana kulihat!"

"Nggak, ahh ... biar kuurus sendiri!" jawab Tria kalem.

Tria memeriksa sesuatu yang berada di bawah telapak kakinya, yang sedari tadi sengaja diinjaknya.

"Ya, ... Tuhaaannn ... terima kasih!" soraknya bahagia.

"Bagaimana, luka ya ...?" selidik Ratih sambil berjongkok. "Kita ke puskesmas di depan itu untuk minta Betadin, ya!" lanjutnya.

"Enggak, kok! Ini bukan duri, ini justru penyelamatku!" sergah Tria.

"Apa?" Ratih melotot.

"Iya ... ini anting-anting. Cuma sebelah, sih. Ini pasti emas, lihatlah!" kata Tria kalem sambil menyodorkan anting-anting emas yang ditemukannya itu.

"Ya, ampuunnn ... Mbaaakkk ... kok matamu bisa melihat, sih!"

"Husss ...! Mataku dari dulu memang bisa melihat!"  Tria tersenyum memukul pundak Ratih.

"Haiyaaaaaaaaa ... barang sekecil ini loh, kok bisa kaulihat, Mbak!"

"Ya, inilah jawaban Tuhan akan doaku!"

"Doa?"

"Iyaaa, nih lihat ... dompetku kosong!" sambil mengangsurkan dompetnya yang tanpa berisi uang,  "Nah, anting ini besok bisa kujual buat makan sebulan!" matanya berkaca-kaca, "Terima kasih, Tuhan atas pemeliharaan-Mu!" kata Tria lirih sambil mendongakkan dagunya agar air mata takkeluar dari matanya.


"Ooohh, ... Mbaaakkk ... !  Kenapa kau takbilang kalau takpunya uang, sih!" seru Ratih sambil meninju pangkal lengan Tria.

"Nah, inilah bentuk nyata pemeliharaan Tuhan atas hidup kita!" kata Tria sambil tersenyum tipis. Ditangkupkannya kedua telapak tangannya di depan dada.

Ratih pun memeluk Tria.  "Mbaaaakkk ... jangan segan untuk berbagi cerita apalagi cerita dukamu!"

Akhirnya, mereka berpelukan sebagaimana Po dan Lala dua tokoh teletubies yang disukai pada masa kanak-kanak.

"Terima kasih, jika tak kau seret aku untuk mengantarmu kemari, tentu dompetku tetap tak berpenghuni!" selorohnya sambil memanyunkan bibir.

"Ya, Mbak ... Tuhan menyediakan rezekimu di jalan sepi ini!" tukas Ratih. "Besok kuantar kau menjual anting ini!" sambungnya.

Malam itu, seluruh anak kost berkumpul di ruang diskusi lantai dua. Pada saat itu, Tria pesan untuk dimintakan izin tidak ikut karena sift malam. Maka, Ratih menceritakan kejadian yang menimpa Tria tadi siang. Ibu kost  terbelalak! 

"Ya, Allah ... mengapa Tria tidak membicarakannya di sini?" teriaknya.  "Tadi Tria memang pamit tidak ikut berkumpul karena piket di toko tempatnya bekerja," kata Bu Ginanjar, ibu indekos mereka, memberitahu yang lain. 

"Mengapa aku kurang peka melihat perjuangan Tria?" Bu Gin pun bersenandika.

"Anak-anak, apakah kalian sepakat jika Tria Ibu bebaskan dari uang indekos?" tawarnya kepada enam anak indekos yang saat itu menghadiri diskusi mingguan.

"Setuju, Bu!" jawab mereka serempak seolah koor dengan empat suara.

"Buk, agar Tria tidak tersinggung, biarkan Tria tetap membayar uang indekosnya seperti biasa, tetapi uang itu Ibu tabung dulu. Nanti ketika kita melihat gelagat Tria sedang membutuhkan dana,  kita sarankan datang kepada Ibu!"  usul Nuning hati-hati.

Ratih yang sekamar menimpali, "Betul, Mbak! Tria pasti malu jika kita tahu dia tidak membayar uang indekos!"

Ibu indekos hanya manggut-manggut menerima saran anak buah yang cantik-cantik itu. 

"Baiklah, kalian yang cantik dan baik hati ini harus pandai-pandai menjaga perasaan Tria! Di sini kalian satu keluarga besar! Yang satu harus menjaga hati dan perasaan yang lain, di samping saling menghormati, dan menghargai. Jangan ada perselisihan. Belajarlah hidup rukun dan saling menolong! Ibu tahu kalian jauh dari orang tua dan belajar ilmu kehidupan di sini. Kita simpan diskusi hari ini jangan sampai bocor kepada siapa pun! Yang tidak ikut hadir tidak usah diberi tahu, ya!" pungkas Ibu kost siap-siap mengakhiri pertemuan malam itu.

"Bu, ... kami sangat berterima kasih memperoleh petuah berharga dari Ibu! Ngomong-ngomong apa alasan Ibu hingga berkenan menasihati kami seperti ini?" tanya salah seorang di antara mereka.

"Ibu telah banyak makan asam garam kehidupan. Ibu pernah mengalami kegagalan berumah tangga gegara Ibu tidak bisa memasak. Karena itu, Ibu ingin kalian bisalah memasak!" nasihatnya tegas.  

"Mertua ibu sangat melecehkan ibu karena tidak bisa memasak itu. Padahal, menurut ibu menantu itu sebenarnya adalah anak kandung yang pernah hilang karena oleh Tuhan sedang dititipkan dan berada di rumah besan kita! Jadi, seharusnya para mertua berbaik hati dan justru membimbing  menantunya agar siap mengarungi bahtera kehidupan. Tapi itu semua tidak terjadi pada Ibu!"  kata ibu kost penuh wibawa.

"Makanya, Ibu tidak ingin kalian mengalami nasib seperti itu. Ibu memfasilitasi kalian untuk berlatih menjadi calon istri yang baik dan bijaksana. Pergunakanlah waktumu untuk mengetahui dan menerapkan ilmu 'menjadi istri' yang disayangi mertua!" lanjutnya. Anak-anak indekos pun mendengarkan terpana.

"Yang suka menjahit boleh belajar menjahit di sini saat luang. Itu ada mesin jahit menganggur!  Nanti kita panggil guru menjahit. Kalau harus membayar, kita bisa patungan! Pokoknya, ketika wisuda kelak, ketika keluar dari rumah ini, kalian harus membawa ilmu yang barokah. Kalian harus siap menjadi seorang istri yang baik."

Pandangannya menerawang jauh, lalu lanjutnya, "Kalau sewaktu-waktu kalian harus menikah, kalian sudah memperoleh bekal. Dari sini, dari rumah ini kalian harus banyak menimba ilmu kehidupan! Itu cita-cita Ibu, Nak!" ibu indekos mengatakannya dengan bersemangat seolah menasihati putri kandungnya.

Mereka pun terhenyak. Tak pernah terpikirkan bahwa ibu indekosnya yang menjanda itu memiliki pemikiran brilian seperti itu! Mereka semakin betah tinggal di rumah itu sebab mengetahui betapa  mulianya hati ibu kost-nya.

 Seandainya Ratih tidak menceritakan perihal anting-anting yang ditemukan Tria, tentu mereka tidak mengetahui semua isi hati ibu indekos yang semula dianggap cerewet dan sedikit jahat itu. Maka terbukalah tabir yang menyelimuti hubungan di antara ibu dan anak indekos. Semakin kompak dan rukun, itu yang terjadi setelah peristiwa itu.

"Ahh, ... luar biasa ... kita beruntung terdampar di sini! Kita memiliki ibu angkat yang melebihi ibu kandung kita!" seloroh salah seorang dari mereka.

"Sayang Tria tidak mendengar betapa baik hati ibu indekos kita!" kata yang lain.

"Yaaaaa...., kalau ada Tria, tak mungkinlah hal ini terjadi!" kata Ratih. "Ini kan karena anting-anting itu!" sambungnya.

"Iya, benar! Gegara menemukan anting-anting, rahasia Tria terbongkar!" bisik Runi.

"Iya, selama ini kita tidak peduli keadaan Tria. Kita ini sungguh kurang manusiawi!" sambut Dina.

"Betul. Mulai sekarang kita harus lebih baik. Tapi jangan bocorkan padanya. Kasihan dia!"

"Sudaaahhh sudahhh ... mari kita tidur kawan-kawan!" lanjut seorang yang lain.

"Eh, itu pintu pagar berbunyi. Pasti Tria datang. Ssssttt... ingat, ya... jangan bocor mulut!"

"Hai, ... waahh kok belum tidur, siapa yang masih lapar?" sapa Tria, " Ayooo ... ini ada sedikit makanan!"

"Ingat ... dieeettt ...!" mereka kompak tertawa  .... Akan tetapi, tak urung berebut juga karena bau masakan yang dibawa Tria sangat menggoda dan menggiurkan. Tria langsung membuka bungkusannya.

"Wuaaahhh ...! Serbuuu ...!" kata Tuti yang sedari tadi diam saja.

Ada binar bahagia  di mata Tria melihat sahabat se-indekos kompak seperti itu. "Doakan aku bisa selalu membawakan makanan resto seperti ini, yaaa ...!" pesannya .

Keesokan harinya, Bu Gin memanggil Tria secara pribadi ke kamarnya. 

"Wah, ... ada masalah apa ini?" dengan dag dig dug Tria memberanikan diri menghadap.

"Tria ... Ibu sudah mengetahui semuanya. Tadi malam teman-temanmu bercerita. Singkatnya, begini ...  kamu tahu, kan?  Ibu tidak memiliki anak!"  

Tria menunduk dan  menebak pasti rahasianya telah terbongkar. Tria pun tergugu. Cuma mengangguk. Digigitnya bibirnya untuk menahan tangis.

Tiba-tiba Bu Gin menggeser duduknya mendekatinya, " Jika kamu mau, Ibu mau mengangkatmu sebagai anak angkat! Apakah engkau bersedia?"

Tria pun menghambur  memeluk kedua kaki Bu Gin, "Terima kasih, Bun ...!" tangisnya tidak lagi dapat ditahannya. "Sempat terpikir oleh saya untuk status terminal karena saya sudah tidak mampu membiayai diri sendiri!"

"Sssttt ... Tidak! Sekarang, aku pengganti orang tuamu tidak rela kalau kamu tidak kuliah. Kamu harus berhasil, Nak! Tetaplah bersemangat! Gapailah cita-citamu. Ibu ada untuk kamu!" kata Bu Gin sambil memeluk Tria yang sesenggukan. Berkali-kali diungkapkan terima kasihnya.

Ya, inilah jawaban Tuhan atas doa-doanya. Melalui anting-anting yang ditemukannya di jalanan itu, telah diselamatkan-Nya kelanjutan kuliahnya. Benar-benar anting-anting penyelamat!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun