Bertemu Gegara si Putri Bungsu
Ninik Sirtufi Rahayu
Jika ingin diingat orang setelah Anda tiada, tulislah sesuatu yang patut dibaca atau berbuatlah sesuatu yang patut diabadikan.
(Benjamin Franklin)
"You don't have to be great to start. But You have to start to be great." (Unknow)
The Experience is The Best Teacher. Slogan dan motto ini sudah kita kenal dan ketahui maknanya. Memang benar, pengalaman itu merupakan guru yang paling baik. Pengalaman mengajarkan kepada kita tentang banyak hal. Pengalaman tersebut juga merupakan modal untuk melangkah ke masa depan untuk menjadi lebih baik daripada masa lalu!
***
Sudah hampir dua puluh tahun aku mengabdi di salah satu bimbingan belajar terbesar di Indonesia. Tentu saja aku menjadi salah satu guru senior. Sementara kesenioran, kepiawaian, dan keseriusan tenaga pendidik memang harus teruji per bulan, bahkan per semester. Hal itu dibuktikan dengan adanya uji kompetensi yang lazim disebut dengan SKMP (Standar Kompetensi  Materi Pengajaran).Â
Bersyukur, aku pernah memperoleh nilai tertinggi bidang studi yang kuampu se-Indonesia, sebagai jawara. Aku juga menciptakan banyak istilah pengingat sebagai rumus mudah untuk mempelajari materi yang disebut dengan istilah The King.
Rumus The King itu diciptakan guru secara pribadi dalam rangka memudahkan siswa menghafal. Setiap guru bidang studi akan memiliki The King andalan yang unik, seru, dan lucu. Misalnya, aku menciptakan istilah "MenCIpok" untuk menyebutkan mencari ide pokok. Ada cara khusus yang ternyata ampuh untuk mencari ide pokok setiap paragraf, yakni dengan memperhatikan kalimat satu, dua, dan terakhir saja yang kujadikan The King 'Sadukir'.Â
Juga ada akronimisasi 'Teta sedang melamun bapaknya Dian, ya Misti' untuk mengingat dan menghafal penggunaan tanda koma di dalam sebuah kalimat. Oleh karena itu, aku adalah salah satu guru yang cukup dikenal, baik oleh siswa maupun guru pengajar bimbingan belajar tersebut.
***
Bimbingan belajar tempat dinasku setelah melaksanakan tugas sebagai ASN di sekolah negeri itu sudah menggurita setanah air. Pengelola dan pengelolaannya luar biasa bagus sehingga menjadi tempat idaman bagi siswa/siswi SMA yang mengincar perguruan tinggi idaman sebagai target yang hendak dituju.Â
Nah, orang tua para calon mahasiswa/mahasiswi perguruan tinggi negeri di tanah air tercinta tersebut rela merogoh kocek lebih dalam dengan mendaftarkan belajar di tempat kami. Mahal pun nampaknya tidak masalah asal putra/putrinya lolos tembus perguruan tinggi yang dikehendaki.
Bidang studi yang kuampu adalah Bahasa Indonesia. Bidang studi ini pada umumnya tidak disukai siswa sehingga jarang siswa yang meminta les privat secara individual, kecuali mereka yang hendak memasuki perguruan tinggi negeri. Mengajar kelas 12, baik IPA, maupun IPS, apalagi kelas SMK merupakan kelas momok bagi pengajar bimbel (bimbingan belajar) pemula. Oleh karena itu, akulah yang sering dipasang, bukan dipasung di kelas-kelas tersebut.
Suatu Sabtu pukul 16.00 sesi kelas sore kedua dan terakhir, aku mendapat tugas di kelas 12 IPS. Yang namanya siswa bimbel, tentu saja menggunakan busana aneka model.Â
Ada yang masih mengenakan seragam sekolah khas sekolah yang bersangkutan karena langsung berangkat dari sekolah karena belum sempat pulang ke rumah, ada juga yang mengenakan busana bebas karena sudah sempat pulang ke rumah masing-masing. Demikian juga dandanan para gadis peserta bimbel. Karena malam Minggu, mereka pun bebas saja menggunakan busana dan riasan sesukanya.
Aku sedang serius mengajar, tetapi pada bagian bangku belakang terjadi sedikit keributan. Sudah kuingatkan agar tidak mengganggu kelas karena orang tua mengorbankan jutaan rupiah agar mereka bisa belajar di kelas tersebut. Untuk kelas biasa saja minimal lima enam jutaan per tahun, apalagi di kelas ekslusif dan eksekutif! Aduhai, pokoknya! Orang tua siswa pembelajar tentulah bukan sembarangan. Pada umumnya orang tua mereka tergolong berekonomi kelas menengah ke ataslah! Kalau putra putri guru memang memperoleh diskon lima puluh persen, sih!
Sembilan puluh menit mengajar dipecah menjadi dua. Empat puluh menit pembahasan secara teoretis dan diakhiri break tiga menit, selanjutnya pembahasan soal latihan sekitar 25 nomor hingga pelajaran berakhir. Masalah, break bisa diisi dengan senam jari/tangan, atau apa pun yang penting tidak boleh bersentuhan dengan tulisan/bacaan.Â
Mengistirahatkan matalah kasarnya. Kadang kuisi dengan sepenggal cerita lucu, atau bahkan kelas tujuh dan delapan menyukai cerita horor yang diakhiri jeritan. Selanjutnya, pembahasan naskah soal di buku paket pun dilaksanakan dengan antusias.
Nah, suatu malam Minggu di dua baris belakang kulihat ada seorang pemuda sederhana baik dilihat dari segi fisik maupun penampilan. Entah bagaimana latar belakang siswa tersebut kurang kukenal, tetapi kutahu dia berangkat dan pulang menggunakan sepeda kayuh butut saja. Selain itu, ada tiga gadis dengan dandanan agak menor, sedang berbincang riuh sehingga sangat mengganggu proses pembelajaran.
Entah bagaimana asal mulanya, mereka saling olok seru, dan tetiba salah seorang gadis berdiri mendadak dan spontan menyerang pemuda sederhana tersebut. Beberapa pemuda di deret bangku belakang otomatis melerai sehingga terjadi keributan di kelas. Tentu saja aku menghentikan pelajaran sejenak, kuminta yang sedang bertikai keluar dari kelas dan salah seorang melaporkan kepada pihak akademik. Ada lima yang keluar dari kelas, salah satunya penanggung jawab sebagai ketua kelas.
Gegara peristiwa tersebut, sekitar lima menit kelas terhenti. Akan  tetapi, langsung  berlanjut karena tinggal membahas soal latihan materi. Lumayan tegang karena terhenyak betapa di kelas terdapat geng cewek yang pandai berkelahi pula.  Bukan hanya mulut yang riuh, melainkan juga tangan dan kaki yang piawai. Sementara saat  itu sedang musim smack down. Mengerikan, mengingat mereka wanita yang seharusnya dan idealnya berkarakter lembut dan anggun! Bukan hanya beberapa bangku bergelimpangan, melainkan juga ulah beladiri yang luar biasa memalukan!
Para gadis lain yang berniat untuk belajar karena ingin lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri idaman memprotes keras atas peristiwa tersebut. Mereka tidak mau lagi sekelas dengan geng tersebut. Sementara, pemuda manis yang menjadi korban penganiayaan disembunyikan di kamar petugas oleh pihak bimbel karena ternyata tiga gadis yang tersinggung tersebut memanggil beberapa teman sekomplotan dan berniat untuk menghajar atau menghabisi si pemuda.Â
Nah, ngeri, bukan? Dengan mata memerah berwajah garang tiga cewek belum bisa dikendalikan oleh pihak bimbel. Mereka mengamuk. Tutur kata berupa sumpah serapah yang membabi buta terlontar begitu saja. Padahal, saat itu petugas yang ada sangat minim karena sedang ada proyek promosi menjelang akhir tahun pengajaran.
Entahlah, aku tidak mengikuti kelanjutan kasus tersebut. Yang penting aku tetap menyelesaikan tugasku mengajar di kelas tanpa diganggu oleh kelompok tersebut. Selain itu, yang jelas, bagiku merupakan kasus sekaligus pengalaman mendebarkan, mengagetkan, mengerikan.Â
Aku yang berasal dari desa dengan latar belakang keluarga guru, sungguh sangat terheran-heran melihat penampilan gadis beringas seperti mereka. Mereka melakukan smack down menurutku kekerasan fisik dengan ulah luar biasa. Pada masa remajaku, didikan orang tua untuk menjadi gadis yang anggun dan feminim sangat diutamakan. Entahlah apa atau siapa yang salah, aku tidak lagi mengikutinya.
*** Â
Pada kesempatan lain aku juga terperangah dengan penampilan remaja kelas delapan yang mulutnya riuh tidak bisa diam, demikian pula pantatnya harus dipaku kalau kelas ingin kondusif. Siswa superaktif berbadan bongsor ini putra perwira polisi di kotaku. Hampir semua pengajar kewalahan mengatasinya.Â
Karena itu, aku melakukan pendekatan secara impersonal di luar kelas. Ketika di kelas berulah, aku sudah memberitahukan kepada seisi kelas, yang tidak bisa mengikuti pelajaranku, tidak bisa diam, akan aku beri Sun Go Kong, istilahku untuk menyebut kuberi ciuman di pipi. Tentu saja remaja putra yang baru ABG berteriak histeris. Kalau para gadis sih ... no problem, ya!
Nah, si pemuda ABG rupanya lupa akan perjanjian yang kubuat. Ketika tidak bisa menyimak, alih-alih terlalu mengganggu suasana kelas, kudatangi dan langsung kucium sebagaimana seorang ibu mencium putra bungsunya.
"Nah, kapok nggak!" tuturku yang dibalas riuh tawa siswa sekelas.Â
Rupanya obatku ini manjur juga. Sejak  saat itu, dia diam tak berkutik. Memang aku pun segera melapor pihak admin akademik dan direspons dengan tawa berderai oleh seluruh jajaran teman, baik pengajar, maupun staf admin. Aku segera meminta nomor telepon rumah orang tuanya, berusaha memberi tahu sang ibunda yang disambut luar biasa hangat.Â
Bersyukur sekali, dia berubah menjadi 'bisa dikendalikan' dan tidak lagi mengganggu ketertiban belajar siswa! Nah, pengalaman luar biasa, bukan? Sejak saat itu, siswa tersebut menjadi 'jinak' tidak pernah berulah mengganggu kelas ketuka diajar oleh siapa pun! Benar-benar obat yang mujarab, bukan?
Beruntung karena beda usia sangat jauh, si perjaka remaja tersebut bisa menerima perlakuanku karena sudah kusosialisasikan sebelumnya. Kedua orang tua justru sangat berterima kasih karena ideku telah berhasil menyembuhkan putranya dari ulah iseng. Dengan demikian, sejak saat itu sang putra menjadi sosok yang patuh, santun, dan lebih fokus pada tujuan mencapai cita-cita berkuliah di perguruan tinggi idaman.Â
***
Aku sedang menjemput putra bungsu yang berprofesi sebagai dokter. Putraku itu sedang berpraktik di sebuah klinik sederhana dan sering melakukan visite keliling juga. Parkirlah aku di tepi jalan sepi agak jauh dari tempat praktik bungsuku seperti permintaannya. Setelah kujemput, dia meminta kuantar ke tempat salah satu pasien diabet yang harus dirawat lukanya.
Aku selalu menjemput tepat waktu, bahkan lima belas menit sebelum kepulangan sudah stand by di sana.
Tiba-tiba ketika dalam penantian itu, gawaiku berdering dan muncul nomor tak dikenal. Takut kalau berita penting, aku pun mengangkatnya.
"Halo ... selamat sore. Dengan siapa dan apa yang bisa saya bantu?" jawabku sejenak menanggapi sambungan telepon tersebut.
Suara di seberang tertawa, mengatakan bahwa suaraku tidak berubah. Akan tetapi, aku masih bingung belum mengenali siapa.
Setelah berbasa basi, akhirnya kuketahui bahwa si penelepon adalah mantan pacar sebentarku. Kukatakan mantan sebentar karena ketika kuajak ke desa tempat kakek nenekku tinggal, hubungan kami tidak direstui. Alasannya, harus ditinjau bagaimana bibit, bebet, dan bobot-nya.Â
Apalagi berdasarkan weton, kami berdua tidak cocok. Jadi, lebih baik putus baik-baik karena kakek tidak menginginkan salah satu cucu yang diangkat sebagai putri bungsunya ini berkeluarga dengan pemuda berasa dari Banyuwangi. Nah, dengan hati kecewa kami pun memutuskan dengan baik-baik. Hal itu sesuai pesan kakek agar aku tidak dikiriminya 'jaran goyang' santet andalan masyarakat Banyuwangi untuk wanita atau pria yang menolak cintanya.
Aku heran kok si mantan memiliki nomor teleponku setelah saat itu dua puluh lima tahun tidak berberita. Singkat cerita dia menemukan nomor teleponku dengan cara unik juga.
***
"Yah, Ayah ... siapa nama Bunda yang mantan pacar Ayah di Malang itu?" tanya putri bungsunya lewat sambungan telepon jarak jauh.Â
Saat itu putrinya sedang mengikuti bimbingan belajar di tempatku bekerja.
Dari pembicaraan dengan sang Ayah tersebut, si putri bungsu mencari tahu dengan bertanya ke pihak front office nama lengkap, alamat rumah, lengkap dengan nomor teleponku. Itulah sebabnya, Mas mantan mengetahui data lengkapku dan memberitahukan hendak ke Malang minggu depan. Namun, sayangnya aku tidak mengetahui dan tidak bisa menjumpai putri bungsunya itu karena diterima berkuliah di provinsi lain. Putri bungsu sudah berangkat ke provinsi lain mengikuti perkuliahan seperti yang diinginkan dan dicita-citakannya.
***
Dari hubungan yang baru terjalin antara keluargaku dengan keluarga Mas mantan, akhirnya aku diundang datang ke kota asalnya: Banyuwangi. Aku pun memenuhi undangan mereka, sebagai nazar karena bungsuku sudah selesai kuliah. Setelah bungsu mengikuti sumpah dokter, dana kuliahnya kugunakan untuk bersilaturahmi ke tempat mantan dan keluarganya.
Pukul sepuluh malam, kereta yang membawaku pergi ke kotanya sampai di stasiun. Aku dijemput oleh mantan beserta istrinya. Ternyata rumah mereka begitu jauh dari stasiun. Perjalanan sekitar satu jam lebih. Kupikir aku bisa tinggal di hotel, ternyata tidak ada hotel karena rumah mereka nun jauh di desa.Â
Setelah sampai di rumah mereka yang cukup bagus untuk ukuran desa, aku dipersilakan beristirahat malam itu. Keesokan paginya, aku diajak oleh mantan ke sekolah tempatnya berdinas sebagai kepala sekolah. Di tengah perjalanan itulah, sambil mengendarai kendaraan dia bercerita panjang lebar tentang kehidupan berkeluarga mereka.
Hari ketiga, ketika aku siap hendak pulang, aku dimintanya tambah semalam karena akan ada acara katanya. Benar, mantan dan istri mengadakan selamatan 'mbangun nikah'.
Dengan mengundang beberapa orang teman dan tetangga, Mas mantan mengajakku ikut lesehan di tengah-tengah mereka.
Bersama istrinya di sebelah kiri, dimintanya aku duduk di sebelah kanan Mas mantan.
"Saudaraku semuanya, ini ... perkenalkan mantan pacarku tahun ... masa kuliah. Kehadirannya di tengah keluargaku ini menyadarkanku bahwa aku tidak akan, tepatnya tidak jadi menceraikan istriku. Karena itu, di hadapan Saudara semua, kubulatkan tekad untuk mbangun nikah. Semoga ke depan bahtera keluarga kami tidak mengalami badai topan seperti yang terjadi tiga tahun belakangan ini!" Â katanya terbata-bata dengan netra berkaca-kaca sambil memelukku di bahu kanan dan istrinya di bahu kiri.
"Terima kasih, ya ... telah mempersatukan kami kembali!" bisiknya di telingaku.
***
Entahlah, sepulang dari kota mantan itu perasaanku pun menjadi plong! Perjalanan yang semula kupikir kulakukan sebagai refreshing dan me time setelah sekian puluh tahun berkutat dengan bekerja keras mencari dana kuliah bagi ketiga cowok tampanku, tiba-tiba menjadi berkat buat keluarga Mas mantan. Hal yang sama sekali tidak pernah kuduga! Mantan pacar sebentar itu ternyata memiliki kesan mendalam juga kepadaku.
Memang, saat masih berpacaran dahulu, aku juga pernah berkunjung ke rumahnya yang sangat sederhana kala itu. Bersyukur, aku dan adik angkatku yang memiliki saudara di Banyuwangi bisa  mengunjungi rumah Mas mantan.  Si  adik angkat inilah yang melaporkan kondisi orang tua Mas mantan kepada kakek. Buntutnya berakibat fatal, yakni keputusan kakek bahwa aku harus meninggalkannya. Lamaran lisan Mas mantan langsung ditolak oleh kakek!
Setelah keputusan itu terjadi, kami berpisah secara baik-baik. Mas mantan pun memulai petualangan meniti karier. Dia melanjutkan kuliah pada program PGSLA berbeasiswa dan langsung diangkat menjadi pegawai negeri dan berdinas di Pulau Lombok. Sejak itulah kami putus hubungan dan setelah dua puluh lima tahun tersambung kembali oleh jasa putri bungsu yang ikut program intensif di bimbingan belajar tempatku mengabdi sore hingga malam hari.
Sungguh kisah nyata yang tak pernah kuduga terjadi dalam hidup dan kehidupanku. Sungguh aku tidak menyangka ternyata aku menjadi lem perekat kerenggangan hubungan mereka. Rasanya tak perlu aku mengorek dan menuliskan kisah mereka di sini. Kurang etis. Yang jelas, mereka berdua di ambang perceraian karena konon kesalahan sang istri. Hal itu menyebabkan hati dan perasaan Mas mantan hambar dan hampa. Setelah dua hari berbincang denganku, keputusan luar biasa pun diambilnya.
*** Â
Minggu lalu, aku pun dihubungi oleh nomor tak kukenal. Kembali lagi Mas mantan menghubungiku untuk mecari tahu kabarku. Entah dari mana diketahuinya nomor telepon baruku. Kami hanya sekadar say hello tanpa membubuhi dengan cerita lain. Nah, pagi tadi dalam rangka mengisi naskah kumpulan karyaku untuk kuterbitkan sebagai buku solo, teringatlah aku akan kisah Mas mantan ini. Jadilah cerita kenang-kenangan dengan beliau. Doa terbaik pun kupanjatkan semoga kebahagiaan dan kesejahteraan melingkupi mereka, amin.
Malang, Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H