Aku yang berasal dari desa dengan latar belakang keluarga guru, sungguh sangat terheran-heran melihat penampilan gadis beringas seperti mereka. Mereka melakukan smack down menurutku kekerasan fisik dengan ulah luar biasa. Pada masa remajaku, didikan orang tua untuk menjadi gadis yang anggun dan feminim sangat diutamakan. Entahlah apa atau siapa yang salah, aku tidak lagi mengikutinya.
*** Â
Pada kesempatan lain aku juga terperangah dengan penampilan remaja kelas delapan yang mulutnya riuh tidak bisa diam, demikian pula pantatnya harus dipaku kalau kelas ingin kondusif. Siswa superaktif berbadan bongsor ini putra perwira polisi di kotaku. Hampir semua pengajar kewalahan mengatasinya.Â
Karena itu, aku melakukan pendekatan secara impersonal di luar kelas. Ketika di kelas berulah, aku sudah memberitahukan kepada seisi kelas, yang tidak bisa mengikuti pelajaranku, tidak bisa diam, akan aku beri Sun Go Kong, istilahku untuk menyebut kuberi ciuman di pipi. Tentu saja remaja putra yang baru ABG berteriak histeris. Kalau para gadis sih ... no problem, ya!
Nah, si pemuda ABG rupanya lupa akan perjanjian yang kubuat. Ketika tidak bisa menyimak, alih-alih terlalu mengganggu suasana kelas, kudatangi dan langsung kucium sebagaimana seorang ibu mencium putra bungsunya.
"Nah, kapok nggak!" tuturku yang dibalas riuh tawa siswa sekelas.Â
Rupanya obatku ini manjur juga. Sejak  saat itu, dia diam tak berkutik. Memang aku pun segera melapor pihak admin akademik dan direspons dengan tawa berderai oleh seluruh jajaran teman, baik pengajar, maupun staf admin. Aku segera meminta nomor telepon rumah orang tuanya, berusaha memberi tahu sang ibunda yang disambut luar biasa hangat.Â
Bersyukur sekali, dia berubah menjadi 'bisa dikendalikan' dan tidak lagi mengganggu ketertiban belajar siswa! Nah, pengalaman luar biasa, bukan? Sejak saat itu, siswa tersebut menjadi 'jinak' tidak pernah berulah mengganggu kelas ketuka diajar oleh siapa pun! Benar-benar obat yang mujarab, bukan?
Beruntung karena beda usia sangat jauh, si perjaka remaja tersebut bisa menerima perlakuanku karena sudah kusosialisasikan sebelumnya. Kedua orang tua justru sangat berterima kasih karena ideku telah berhasil menyembuhkan putranya dari ulah iseng. Dengan demikian, sejak saat itu sang putra menjadi sosok yang patuh, santun, dan lebih fokus pada tujuan mencapai cita-cita berkuliah di perguruan tinggi idaman.Â
***
Aku sedang menjemput putra bungsu yang berprofesi sebagai dokter. Putraku itu sedang berpraktik di sebuah klinik sederhana dan sering melakukan visite keliling juga. Parkirlah aku di tepi jalan sepi agak jauh dari tempat praktik bungsuku seperti permintaannya. Setelah kujemput, dia meminta kuantar ke tempat salah satu pasien diabet yang harus dirawat lukanya.
Aku selalu menjemput tepat waktu, bahkan lima belas menit sebelum kepulangan sudah stand by di sana.
Tiba-tiba ketika dalam penantian itu, gawaiku berdering dan muncul nomor tak dikenal. Takut kalau berita penting, aku pun mengangkatnya.