Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cumplung

3 Juni 2024   15:24 Diperbarui: 3 Juni 2024   15:29 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cumplung

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Ayo ... ayo! Kita cari galah! Ada cumplung!" seru Parli sambil menunjuk-nunjuk sebuah lubang berdiameter kisaran satu meter di area pemakaman.

Parli anggota geng paling berpengaruh karena penampilannya lumayan berwibawa dibanding anak-anak lain. Dialah yang sering berinisiatif melaksanakan aktivitas meskipun tanpa dipikir dan direncanakan sebelumnya.

Bagi kami yang penting sepulang sekolah, selesai pelajaran tambahan, apalagi liburan bisa bermain ke mana-mana. Berpetualang menghabiskan waktu, tetapi harus bermanfaat. Jadi, selain have fun and happy juga sebisanya menghasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Misalnya, mencari ikan atau sejenisnya sebagai bahan lauk-pauk. Pulang tidak dengan tangan hampa hingga berpotensi dimarahi orang tua.

Kalau hari Minggu, kami memang khusus menghabiskan waktu untuk bermain dan berpetualang. Refreshing and healing. Setelah  seminggu menggunakan waktu berfokus belajar bersama di kelas, kami memanfaatkan kesempatan bereksplorasi di tengah alam semesta. Belajar juga, 'kan?

Hari itu sebenarnya kami hendak mencari mahkota bunga kamboja genap. Biasanya, mahkota bunga kamboja selalu lima. Ganjil. Jika beroleh genap, suatu kebanggaan tersendiri. Selain itu, kami juga berencana mengoleksi sejumlah daun, termasuk daun kamboja,  hendak digunakan untuk tugas pembuatan herbarium. Jadi, sekalian bermain dan belajar. Karena itu kami janjian sekitar sepuluh anak mencari bahan  herbarium di area makam desa.

"Waahhh! Ada cumplung, ya!" sorak yang lain gembira sambil ikut-ikutan melongok ke arah lubang sumur.

Tanpa dikomando, anak-anak lain pun segera mendekat mengelilingi sumuran.

"Nanti bisa buat geretan! Mainnya gantian, ya!" seru Parli menggema.

Masing-masing segera mencari-cari alat berupa galah, tongkat, atau kayu yang bisa dipakai untuk mengambil batok kelapa di sumuran itu.  Yang sudah beroleh galah atau kayu segera berusaha mengambil. Beramai-ramai dengan asyik.

Kami  biasa bermain menggunakan kelapa sisa dimakan bajing itu sebagai roda dorong. Nah, beberapa anak bergalah pun asyik mengail agar kelapa itu bisa segera diambil.

Cumplung adalah buah kelapa berlubang dan kosong, jatuh dari pohon akibat hama atau dimakan tupai. Selain itu, cumplung juga bisa berarti tengkorak manusia, kepala manusia wafat. Jadi, dua makna! Bisa berarti kelapa atau kepala!

"Lohhh ... ada rambutnya!?" teriak Budi membelalak ketakutan.

"Kepala manusia!" seru yang lain serempak.

"Tolooong! Tolong! Ada cumplung! Kepala manusia mati!" teriak dan jerit anak-anak bersahutan sambil berlari berhamburan sesegera mungkin meninggalkan area makam.

Berhamburanlah sekitar sepuluhan anak yang bermain-main di pemakaman pada Minggu pagi itu. Ada yang segera pulang sambil histeris dan masih berteriak-teriak ketakutan.

"Ada cumplung! Ada cumplung!"

"Endas putus!"

"Endas uwong! Ono endas putus!"

"Eneng apa?"

"Ada apa?" tanya beberapa orang yang melihat kepanikan kami.

Walau belum melihat sendiri cumplung itu, aku pun segera ikut-ikutan berlari pulang. Bahkan, karena ketakutan bukan hanya terkencing-kencing, melainkan sandal jepit pun ikut protes. Ya, sandal yang kupakai itu putus karena terantuk batu nisan sehingga aku harus pulang bertelanjang kaki.

Karena sempat membetulkan tali sandal, tentu saja aku tertinggal lumayan jauh dari teman-teman lain. Merebak pulalah tangis kami masing-masing. Berteriak, menjerit-jerit, menghebohkan sesiapa yang mendengar di sepanjang perjalanan pulang kami.

Beberapa orang anggota masyarakat segera mengecek kebenaran berita yang kami siar sebarkan mendadak. Hampir semua orang memarahi karena kami bermain-main di area makam desa.

"Anak aneh! Mengapa kalian bermain-main di kuburan, hah?"

"Se-se-sebenarnya ... ka-kami mau cari daun dan bunga kamboja buat tugas sekolah!" Yatini anak penjual soto ayam itu terbata-bata menjawab Pak Bayan, salah seorang perangkat desa.

"Benar begitu, Nin?" interogasi Pak Carik kepadaku.

"I-iya. Mau bikin herbarium!"

"Kalian sudah dapat? Mana?"

Aku menggeleng. Karena ketakutan, daun dan mahkota bunga kamboja itu entah tercecer di mana. Padahal, besok harus dikumpulkan.

"Masih mau mencari? Kalau masih berani, berangkat sana sendiri!" Pak Bayan menyuruh kami kembali ke makam sambil menunjuk arah makam.

Tentu saja tak satu pun kami yang berani ikut ke makam.

"Ayo! Tunjukkan di mana kalian lihat cumplung! Ayo, bersama kami!" ajak beberapa orang.

Hanya tangan Parli yang digeret oleh Pak Bayan untuk menemani mereka menyaksikan kebenaran berita tentang cumplung tadi.

"Sekalian, jangan lupa tugasnya supaya besok nggak dimarahi guru!" seru salah seorang warga.

Pagi itu suasana desa menjadi gempar gegara penemuan cumplung di area makam. Sejak saat itu, orang tua tidak mengizinkan anak-anak berkeliaran di area makam, kecuali ada orang dewasa yang menyertainya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun