Firasat
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Pagi itu hari Minggu. Cuaca begitu dingin. Hujan semalam masih menyisakan rintiknya. Langit pun tampak muram. Bagi sebagian orang, dalam rinai begitu memeluk guling di kasur empuk adalah pilihan yang tepat. Namun, tidak demikian dengan Pak Darto. Dijemputnya rezeki hari itu dengan semangat seperti biasa. Segera ditata dagangan secepatnya.
Sementara, Bu Lasmi sedang menyiapkan segelas teh hangat dan gethuk singkong sisa kemarin. Masih terpikir mimpinya semalam. Dahulu, sebelum sang ayah dipanggil menghadap Tuhan, Bu Lasmi bermimpi. Tadi malam Bu Lasmi bermimpi yang sama.
Sambil menghidangkan sajian sarapan sederhana, dimintalah Pak Darto yang sedang sibuk itu segera menuju sepasang kursi usang. Namun, Pak Darto masih sibuk. Mengikat barang bawaan pada sepeda onthel satu-satunya harta mereka. Bu Lasmi segera menyeret tubuh kerempeng sang suami agar meminum teh senyampang masih hangat.
"Pak, diminum dulu mumpung hangat. Sekalian, nih masih ada gethuk buat pengganjal perut!" ajaknya.
"Sebentar toh, Bu. Masih kurang erat nih ikatannya!" jelas Pak Darto.
Bu Lasmi masih getol, tetap menyeret untuk duduk di kursi dekatnya.
"Pak, mbok ya ... hari ini  ndhak usah ke pasar. Sekali ini ... saja!" rajuk Bu Lasmi.
"Lah, kalau ndhak ke pasar, kita makan apa? Kita ndhak kenal libur, kan? Meski Minggu harus tetap ke pasar!" Pak Darto bertanya balik sambil menatap netra Bu Lasmi.
 "Anu, .... "  ingin disampaikan mimpinya semalam, tetapi tidak tega mengucapkan. Sepasang netra itu mulai berembun. Isak pun terdengar lirih.
"Ah, ada apa sih, Bu? Jangan gampang nangis gitu. Yang tabah dan tawakal. Allah itu adalah Allah yang mahabaik. Jadi, apa pun dan bagaimana pun kondisi kita, Allah pasti akan menolong!"
"Bukan itu, Pak! Soalnya  ... saya bermimpi ..., " belum selesai sudah dipotong oleh Pak Darto.
"Aduuhhh, Bune! Ini apalagi, toh. Sejak kapan kita harus percaya mimpi? Percayakan hidup ini kepada Allah saja!"
"Tapi, Pak ... !"
"Sudah, sudah ... Aku berangkat dulu. Keburu siang, nanti! Kita ndhak boleh kalah sama ayam. Kalau ayam mau ceker-ceker, mesti makan. Bapak juga mau ceker-ceker dulu!"
Bu Lasmi tidak bisa melarang suami yang lumayan keras kepala itu.
Setelah mengantar suami sampai pagar luar, Bu Lasmi segera menyelesaikan tugas di dapur. Hati dan pikiran masih galau.
Diambilnya segantang beras kemudian hendak dipususi sebelum ditanak secara tradisional. Namun, tiba-tiba saja menyenggol piring beling yang ada di meja secara tidak sengaja. Jatuh dan pecahlah berkeping-keping.
Hatinya makin gelisah. Memikirkan mimpi ditambah piring pecah seolah akan terjadi sesuatu di luar kendalinya. Ketika diambil sapu ijuk untuk mengumpulkan pecahan piring, seekor cicak terjatuh tepat mengenai kepalanya. Dikibaskan spontan, tetapi makin membuat murung.
"Ya, Tuhan ... !" serunya. Air mata pun meleleh dengan deras tanpa dikomando lagi.
Badannya menggigil gemetar. Bibirnya pun bergeletar.
"Ini pertanda apa? Kok beruntun?" keluhnya terbata-bata.
Di tempat lain sekitar satu kilometer dari rumah, Pak Darto sedang mengayuh sepeda onthel butut-nya. Dia ikut merasa resah karena tadi tidak menanyakan kepada istrinya tentang mimpi yang menghantui itu. Disesali sikapnya yang tidak mengayomi manakala istri sedang susah hati.
Pak Darto ingin kembali pulang, tetapi ia teringat dompet usang yang kosong melompong. Dia bertekad untuk mengais rezeki. Sepulang nanti, jika ada rezeki, dia akan membeli sebungkus lopis kesukaan istri.
Ketika sedang melamun itu, didengarnya deru kendaraan dari arah belakang. Pak Darto sudah menepi. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya serasa dilontarkan, kemudian dibanting dengan sangat keras. Masih diingat ketika dia melambung lalu terlempar dan kepalanya tepat mengenai sebuah batu runcing di sisi jalan yang memang sedang dalam pembangunan.
Raga terasa luar biasa sakit dibenturkan seperti itu. Terasa  ada aliran hangat berbau anyir, tetapi tubuh kurusnya terasa sangat ringan. Ingin dipanggil istri yang dicintai, tetapi tak mampu dilakukan. Serasa berputar bagai baling-baling. Matanya berat tak dapat dibuka lebar. Lalu tiba-tiba mulai menggelap.  Lamat-lamat didengar suara seseorang, tetapi tidak dapat diketahui siapa.
Seorang tetangga sedang mengayuh sepeda di belakang Pak Darto sekitar seratus meter. Tetangga itu yang tergopoh-gopoh mencari bantuan. Ketika sebuah mobil boks lewat, dimintanya membawa ke rumah sakit, sementara digenjotnya sepeda menuju rumah Bu Lasmi.
***Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI