"Bukan itu, Pak! Soalnya  ... saya bermimpi ..., " belum selesai sudah dipotong oleh Pak Darto.
"Aduuhhh, Bune! Ini apalagi, toh. Sejak kapan kita harus percaya mimpi? Percayakan hidup ini kepada Allah saja!"
"Tapi, Pak ... !"
"Sudah, sudah ... Aku berangkat dulu. Keburu siang, nanti! Kita ndhak boleh kalah sama ayam. Kalau ayam mau ceker-ceker, mesti makan. Bapak juga mau ceker-ceker dulu!"
Bu Lasmi tidak bisa melarang suami yang lumayan keras kepala itu.
Setelah mengantar suami sampai pagar luar, Bu Lasmi segera menyelesaikan tugas di dapur. Hati dan pikiran masih galau.
Diambilnya segantang beras kemudian hendak dipususi sebelum ditanak secara tradisional. Namun, tiba-tiba saja menyenggol piring beling yang ada di meja secara tidak sengaja. Jatuh dan pecahlah berkeping-keping.
Hatinya makin gelisah. Memikirkan mimpi ditambah piring pecah seolah akan terjadi sesuatu di luar kendalinya. Ketika diambil sapu ijuk untuk mengumpulkan pecahan piring, seekor cicak terjatuh tepat mengenai kepalanya. Dikibaskan spontan, tetapi makin membuat murung.
"Ya, Tuhan ... !" serunya. Air mata pun meleleh dengan deras tanpa dikomando lagi.
Badannya menggigil gemetar. Bibirnya pun bergeletar.
"Ini pertanda apa? Kok beruntun?" keluhnya terbata-bata.
Di tempat lain sekitar satu kilometer dari rumah, Pak Darto sedang mengayuh sepeda onthel butut-nya. Dia ikut merasa resah karena tadi tidak menanyakan kepada istrinya tentang mimpi yang menghantui itu. Disesali sikapnya yang tidak mengayomi manakala istri sedang susah hati.