Ternyata, mereka melakukannya dengan baik. Semula memang berharap mendapat hadiah, uang lelah, atau semacam ongkos kerja. Jika menginginkan tambahan uang saku, mereka akan berlomba memohon pekerjaan kepada sang eyang. Namun, setelah diberi tahu bahwa laba sang eyang tidak seberapa, akhirnya mereka melakukan dengan sukarela.
Setiap sore usai belajar atau mengerjakan PR mereka selalu membantu eyangnya. Akhirnya mereka mengetahui bahwa membantu meringankan beban orang tua, orang lain, atau kerabat itu mampu memberikan kebahagiaan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Bukankah ini pun pelatihan untuk menggunakan waktu secara baik dan bijak? Secara tidak kami sadari, ternyata ini menjadi siasat tepat menanamkan karakter positif saling menolong, rajin, dan rela berkorban.
Tahukah apa yang terjadi dengan saat ini? Ketiga jagoan kami benar-benar memiliki kepedulian tinggi terhadap rakyat kecil yang berada di bawah garis kemiskinan. Saya pernah merasa trenyuh ketika bungsu meminta saya (yang saat itu menjadi driver ) untuk sejenak berhenti di tepi jalan. Tahukah apa yang dilakukannya? Bungsu memborong dagangan seorang janda sepuh yang berjualan ketan bubuk keliling. Apa katanya? "Kasihan, Ma ...!" dan kata-katanya ini sukses membuat tirta netra saya luruh tanpa disuruh. Ini adalah contoh kecil, Saudaraku! Masih banyak contoh lain yang belum saya kisahkan.
Belajar pun dapat dilakukan dengan prinsip mencuri start ini. Misalnya, saat yang lain sedang tidak belajar, seharusnya kita belajar tanpa disuruh-suruh apalagi dipaksa. Semua harus dilakukan berdasarkan kesadaran diri sendiri. Demikian juga dengan bekerja. Jika kita melakukan suatu pekerjaan sebelum orang lain melakukannya, kemungkinan besar kita akan memperoleh banyak keuntungan.Â
 Bahkan, bisa jadi kita akan menjadi pionir atau trendsetter ('anutan') bagi orang lain. Adakalanya karena keberhasilan kita tersebut, kita dapat 'menjual' ilmu kita kepada orang lain. Misalnya, dengan membukukan keberhasilan kita atau menjadi pembicara pada seminar-seminar terkait.
Jadi, apa yang kita peroleh dengan mencuri start ini? Ternyata banyak bukan? Dahulu, semasa saya bersekolah, saya selalu bertanya kepada teman saya begini, "Kamu belajar mulai jam berapa hingga jam berapa?"
Nah, setelah memperoleh jawaban, misalnya teman mengatakan bahwa dia belajar mulai jam lima setelah sembahyang subuh hingga satu jam berikutnya, maka saya pun mengikuti cara demikian, bahkan saya sengaja menambah jam belajar saya.
Atau, akan saya tanyakan demikian, "Kamu mengerjakan PR hingga halaman berapa?" Jika mereka menjawab sampai halaman sepuluh, saya akan mengerjakannya sampai halaman lima belas. Saya harus mengerjakan lebih banyak daripada yang dikerjakan teman saya! Saya rela tidak tidur siang, asal bisa melakukan lebih banyak daripada teman-teman saya. Saya harus mampu mengalahkan teman saya! Saya harus menjadi yang terbaik. Bukankah itu motivasi intrinsik yang harus kita pelihara? Nah, inilah rahasianya sehingga saya selalu menduduki peringkat pertama kelas parallel sejak SD, SMP, hingga SPG. Bahkan, sampai kuliah pun saya memperoleh beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas) selama tiga tahun berturut-turut. Jika Anda bertanya rahasia saya menjadi juara, jawaban saya adalah mencuri start!
Sejak November 2020 lalu, saya mengikuti kursus menulis online. Bersama teman satu grup ada komitmen untuk tetap konsisten menulis setelah kursus berakhir. Karena saya memegang komitmen tersebut dengan setiap hari tetap menulis, sampai dengan saat ini Maret 2022 Â ternyata saya sudah menghasilkan 49 antologi serta 12 buku solo yang ber-ISBN dari berbagai penerbit. Sementara teman-teman saya belum apa-apa. Nah, inilah realisasi prinsip mencuri start yang saya lakukan. Jika orang lain bisa melakukannya, kita pun pasti bisa. Yang penting adalah niat. Di mana ada kemauan, pasti ada jalan, bukan?
Bahkan dengan hasil tersebut, saya semakin dikenal dan diundang untuk memberikan materi kepenulisan dari berbagai penerbit. Dengan demikian, personal branding saya kian menggurita, bukan? Bagi saya, sehari seuntai benang, setahun sehelai selendang! Saya akan tetap berkomitmen untuk menulis dan menulis. Kalau belum memperoleh seratus buku antologi, belum puas rasanya!
Pepatah mengatakan. "Alah bisa karena biasa." Â Artinya, jika membiasakan diri, kita pasti bisa melakukannya. Masalahnya adalah, maukah kita membiasakan diri? Mendisiplin diri sendiri? Â Mari kita tunjukkan bahwa kita mampu lebih baik, baik dari hari kemarin maupun dari orang lain! Tetap semangat. Dengan menjaga semangat yang menyala, asa pun dapat kita raih dengan semakin sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H