Bias Bianglala Senja (Part 5)
Â
"Ya, Tuhan. Dunia begitu sempitnya!" bisikku.
Aku tak dapat menemui mereka karena rupanya kondisi Rianti kurang baik. Rianti  segera didorong dilarikan ke ruang operasi. Beberapa jam kemudian, bayi Rianti lahir dengan cara operasi caesar. Namun, kudengar kondisi Rianti kritis karena pendarahan dan hipertensi.
Pembukaan jalan lahirku satu jam lalu sudah mencapai angka tujuh. Rasa sakit luar biasa tetap menyerangku. Namun, aku bersyukur sebab dengan demikian, putra kami akan segera lahir. Aku tetap berjalan-jalan ditemani Ibu. Hanya di seputaran halaman rumah sakit karena hujan masih belum reda juga.
Pamungkas sudah mampu mengantar jemput kami sehingga bisa kami mintai tolong ini itu. Maka aku memintanya untuk membelikan makanan favoritku: aneka sayur di Depot Santai, Oro-oro Dowo.
"Siap, Mbak. Semoga keponakanku tidak ngeces, ya ... hehehe ...," guraunya dengan mimik melucu.
Aku hanya meringis mendengar guraunya sambil berusaha memukul lengannya. Namun, dia segera menghindar dengan sigap sehingga aku hanya memukul angin saja.
"Semangat, Mbak!" pamitnya masih melucu.
Setelah Pamungkas datang, aku makan dengan lahap sekali. Aneh. Rasanya sangat enak. Ibu senang karena dengan demikian aku punya tabungan energi untuk melahirkan putraku dengan cara biasa. Lima jam setelah itu, putra pertamaku lahir dengan lancar. Putraku lahir di senja hari! Sempurna! Syukur kusampaikan kepada-Nya.
***
Keesokan harinya Mas Prima datang dari ibu kota. Â Saat di ruang rawat inap, diciumnya keningku dengan penuh syukur dan haru, katanya, "Terima kasih, ya Mbak. Aku telah beroleh seorang kesatria darimu!" aku tertawa sambil memukuli dada bidangnya dengan manja.