Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bias Bianglala Senja (Part 3)

2 Juni 2024   02:12 Diperbarui: 2 Juni 2024   05:44 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bias Bianglala Senja (Part 3)
 
Bik Imah pasti sudah membuatkan sup buntut seperti yang kupesan pagi tadi. Dua hari ini Ibu sedang berada di rumah nenek di kampung, jadi seperti biasa, Bi Imahlah yang menangani urusan dapur.

"Non, kok Mas Prima nggak diajak makan sekalian? Kayaknya juga kelaparan, deh ...!" usul Bi Imah.

"Oh, iya ya ... sebentar Bi, kupanggilnya. Bibi siapkan piringnya, ya!" seruku sambil menuju car port di teras depan.

***
 
Masih kuingat benar. Hari itu, hari Senin. Gerimis terus-menerus sejak dini hari membuat pagi menjadi cukup dingin. Aku ada kuliah pagi. Ada mata kuliah umum di RKB (Ruang Kuliah Bersama). Maka, saat Ayah ke kantor diantar Prima, aku pun ikut serta. Biarlah mengantar Ayah dahulu, baru lanjut mengantarku ke kampus.

Turun dari mobil, tepat di pintu gerbang kampus, aku melihat Rianti berjalan beriringan dengan Mas Dewo. Aku tidak jadi turun. Ya, aku menggagalkan acaraku gegara hal sepele itu dan meminta Prima untuk menuju tempat kami berlatih mobil.

"Mas, aku latihan mobil aja, deh. Nggak usah masuk. Mata kuliahnya ringan, kok!" alasanku.

Prima diam, tetapi netranya memancarkan rasa sesal melihatku bermalasan kuliah.

"Sebenarnya bukan urusanku, tetapi aku sungguh sangat kecewa jika Mbak tidak bersedia kuliah. Bukankah orang tua pun berharap 

Mbak berhasil menggapai cita-cita? Mbak ini enak, loh! Kurang apa coba! Semuanya sudah tersedia! Tinggal menjalaninya saja, mengapa harus malas?" ujarnya sambil menghela napas.

"Sebenarnya ...  aku sedang berusaha meninggalkan seseorang. Jadi, aku harus membatasi pertemuanku dengannya!" kataku tergagap saat duduk kembali di jok belakang.

"Ohh, ... apakah dengan begitu Mbak harus mengorbankan masa depan? Jika nilai kuliah hancur, bagaimana? Itu artinya pahlawan kalah perang!" tegasnya.

"Aku tahu, usia kita palingan berbeda tiga tahunan. Aku pun tahu tak seharusnya masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan Mbak. Akan tetapi, aku juga tidak mau ikut andil dalam ketidakberhasilan Mbak! Karena bagaimana pun, diakui atau tidak, aku telah menjadi bagian dari keluarga Mbak. Apa aku bisa diam saja?" lanjutnya.

"Seandainya Mbak gadis kecil, pastilah sudah kugendong kuantar masuk kelas karena itu merupakan tanggung jawabku. Nah, karena Mbak sudah sebesar ini, apakah aku harus menggendongmu? Katakan padaku, bagaimana aku harus bertanggung jawab?" tolehnya dengan tatap netra tajam.

"Hmm ...!" geli juga aku mendengar pertanyaan terakhirnya.

"Biasa sajalah, Mbak. Nggak usah dipikir. Tetap saja kuliah seperti biasa. Jangan korbankan kuliahmu! Tunjukkan kalau Mbak dewasa dalam berpikir dan bertindak!"

"Hah ... apa aku dianggap anak kecil, nih?" batinku.

Namun, aku hanya diam. Maka lanjutnya, "Ikutlah kuliah. Aku akan menunggu Mbak di sini! Hanya sembilan puluh menit, kan?"
Aku  mengangguk.

"Terpaksa nih ... duhhh!  Diceramahi pula!" protes batinku.

"Nah, silakan Mbak kuliah dulu. Berkonsentrasilah. Setelah selesai, segera kita belajar mobil. Bagaimana? Atau Mbak saya ajak ke tempat yang indah. Setuju?"

Beberapa saat aku hanya terdiam dan tidak beranjak dari jok belakang. Akhirnya, aku pun mengikuti apa katanya. Pergi kuliah sebentar dan selanjutnya ikut ke tempat yang katanya indah. Entahlah, seperti punya magnet saja! Aku bagai kerbau dicucuk hidung!
Setelah mendengar betapa sulitnya dia harus menjalani hidup tanpa orang tua, aku jadi semakin paham bahwa bagaimana pun aku tak boleh lagi bermalas-malasan kuliah. Walau alasanku tidak mau bertemu dengan Mas Dewo, aku tetap harus mempersiapkan hatiku untuk tetap bertahan pada prinsip. Jika aku yang memprakarsai perpisahan, akulah yang harus menunjukkan nyali.

Usai kuliah, Rianti mengejarku. "Nin, terima kasih, ya! Atas pengorbananmu, kini semuanya boleh terjadi!"
Aku terperangah, tetapi tidak mengerti apa maksud perkataan Rianti.

"Apaan, sih? Aku nggak ngerti, deh!" sergahku, "Lagian aku keburu, Rin! Maaf!"

"Oh, ya sudah!" seru Rianti karena aku pun segera berlari meninggalkannya.

Aku segera menuju tempat parkir. Dengan senyum khas Prima membukakan pintu bagiku. Akan tetapi, kali ini aku ingin duduk di jok depan bersebelahan dengannya. Jadilah kami menuju tempat berlatih seperti biasa. Keterampilanku semakin meningkat. Harapanku, setelah bisa mengendarai sendiri, aku akan memberikan surprise untuk Ibu. Aku akan mengajaknya berkeliling kota.

Hujan masih menyerbu kota kami. Sesuai janji, Prima membawaku ke suatu tempat. Ternyata, dibawanya aku ke rumahnya. Rumah yang sangat sederhana. Ada  satu set meja kursi tamu model kuno, tetapi masih layak digunakan. Maka, Prima pun mengajakku masuk dan duduk di sana.

Dipayunginya aku menuju rumah. Hanya adiknya, Pamungkas, yang masih mengerjakan pekerjaan rumah berada di meja makan. Prima telah membelikan oleh-oleh berupa makanan untuk adiknya dan memintanya segera makan. Setelah mengulurkan tangan menyalamiku, segera Pamungkas menyantap makan siangnya. Agak terlambat, sih sebenarnya.

"Seperti inilah kondisi kami, Mbak! Mohon maaf!" katanya sambil membungkuk. Mataku pun nanar karena kelenjar air mata siap hendak mendesakkan airnya. Kata 'seperti ini' sungguh sangat mengiris hatiku.

Tetiba  otakku menyeruakkan kata, "Jika kondisinya seperti ini telah melahirkan seorang pemuda santun yang telah berhasil menyelesaikan kuliah dengan predikat mencengangkan, lalu bagaimana dengan aku?" kuusap mukaku dengan saputangan yang kuambil dari handbag agar tak tampak olehnya kalau aku menangis.

Untunglah hujan turut andil membasahi rambut dan mukaku sehingga kalaulah aku mengelap muka, tak tampak benar air mataku. Aku salut akan perjuangannya dan berjanji tidak akan menyia-nyiakan jam kuliahku hanya karena seseorang. Hujan masih lumayan deras. Namun, kami bertekad hendak pulang.

Saat di mobil menuju pulang, di tengah jalan yang sepi, tiba-tiba Prima meminggirkan kendaraan dan mematikan mesin. Dimundurkanlah posisi kursi hingga menjauh dari kemudi.

"Seandainya aku sudah memperoleh pekerjaan, apakah Mbak tetap bersedia menjadi temanku?" tanyanya.

"Maksudnya?" kernyitku.

"Ya, Mbak. Maafkan aku. Aku tahu, aku ini hanya sopir pribadi keluarga Mbak. Namun, aku ingin lebih dari itu. Seandainya aku sudah bekerja, apakah Mbak bersedia menerimaku sebagai calon suami? Jujur, sejak pertama bertemu, aku selalu memikirkan Mbak. Ini belum pernah terjadi seumur hidupku! Maafkan kalau salah!" lirihnya.  

Aku terhenyak, tak bisa menjawab. Kumundurkan  posisi kursi, lalu menoleh padanya.

"Aku sedang menunggu panggilan tes di suatu kantor. Tolong bantu mendoakan, ya ... agar aku diterima di sana. Aku janji akan setia menunggu sampai Mbak bersedia menjadi calon istriku!" katanya dengan bergetar. "Apakah aku yang miskin ini tidak layak mengatakan hal itu?" tanyanya pelan sekali.

 "Aku hargai kejujuran dan ketulusanmu, tetapi aku juga harus menyelesaikan kuliahku seperti nasihatmu!" jawabku tak kalah pelan.

"Iya, aku sanggup menunggu sambil mempersiapkan masa depan!" katanya. "Aku tidak ingin mengecewakanmu!" lanjutnya.

Beberapa saat kemudian, "Bagaimana, apa aku diterima?" netranya nanar menelisik dengan menatap langsung netraku.

bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun