"Oh, ya sudah!" seru Rianti karena aku pun segera berlari meninggalkannya.
Aku segera menuju tempat parkir. Dengan senyum khas Prima membukakan pintu bagiku. Akan tetapi, kali ini aku ingin duduk di jok depan bersebelahan dengannya. Jadilah kami menuju tempat berlatih seperti biasa. Keterampilanku semakin meningkat. Harapanku, setelah bisa mengendarai sendiri, aku akan memberikan surprise untuk Ibu. Aku akan mengajaknya berkeliling kota.
Hujan masih menyerbu kota kami. Sesuai janji, Prima membawaku ke suatu tempat. Ternyata, dibawanya aku ke rumahnya. Rumah yang sangat sederhana. Ada  satu set meja kursi tamu model kuno, tetapi masih layak digunakan. Maka, Prima pun mengajakku masuk dan duduk di sana.
Dipayunginya aku menuju rumah. Hanya adiknya, Pamungkas, yang masih mengerjakan pekerjaan rumah berada di meja makan. Prima telah membelikan oleh-oleh berupa makanan untuk adiknya dan memintanya segera makan. Setelah mengulurkan tangan menyalamiku, segera Pamungkas menyantap makan siangnya. Agak terlambat, sih sebenarnya.
"Seperti inilah kondisi kami, Mbak! Mohon maaf!" katanya sambil membungkuk. Mataku pun nanar karena kelenjar air mata siap hendak mendesakkan airnya. Kata 'seperti ini' sungguh sangat mengiris hatiku.
Tetiba  otakku menyeruakkan kata, "Jika kondisinya seperti ini telah melahirkan seorang pemuda santun yang telah berhasil menyelesaikan kuliah dengan predikat mencengangkan, lalu bagaimana dengan aku?" kuusap mukaku dengan saputangan yang kuambil dari handbag agar tak tampak olehnya kalau aku menangis.
Untunglah hujan turut andil membasahi rambut dan mukaku sehingga kalaulah aku mengelap muka, tak tampak benar air mataku. Aku salut akan perjuangannya dan berjanji tidak akan menyia-nyiakan jam kuliahku hanya karena seseorang. Hujan masih lumayan deras. Namun, kami bertekad hendak pulang.
Saat di mobil menuju pulang, di tengah jalan yang sepi, tiba-tiba Prima meminggirkan kendaraan dan mematikan mesin. Dimundurkanlah posisi kursi hingga menjauh dari kemudi.
"Seandainya aku sudah memperoleh pekerjaan, apakah Mbak tetap bersedia menjadi temanku?" tanyanya.
"Maksudnya?" kernyitku.
"Ya, Mbak. Maafkan aku. Aku tahu, aku ini hanya sopir pribadi keluarga Mbak. Namun, aku ingin lebih dari itu. Seandainya aku sudah bekerja, apakah Mbak bersedia menerimaku sebagai calon suami? Jujur, sejak pertama bertemu, aku selalu memikirkan Mbak. Ini belum pernah terjadi seumur hidupku! Maafkan kalau salah!" lirihnya. Â