Aku terhenyak, tak bisa menjawab. Kumundurkan  posisi kursi, lalu menoleh padanya.
"Aku sedang menunggu panggilan tes di suatu kantor. Tolong bantu mendoakan, ya ... agar aku diterima di sana. Aku janji akan setia menunggu sampai Mbak bersedia menjadi calon istriku!" katanya dengan bergetar. "Apakah aku yang miskin ini tidak layak mengatakan hal itu?" tanyanya pelan sekali.
 "Aku hargai kejujuran dan ketulusanmu, tetapi aku juga harus menyelesaikan kuliahku seperti nasihatmu!" jawabku tak kalah pelan.
"Iya, aku sanggup menunggu sambil mempersiapkan masa depan!" katanya. "Aku tidak ingin mengecewakanmu!" lanjutnya.
Beberapa saat kemudian, "Bagaimana, apa aku diterima?" netranya nanar menelisik dengan menatap langsung netraku.
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H