Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunglon yang Sombong

1 Juni 2024   19:46 Diperbarui: 1 Juni 2024   20:08 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bunglon yang Sombong
Oleh Ninik Sirtufi Rahayu


Di suatu pohon trembesi besar hiduplah seekor bunglon. Bunglon ini kulitnya bisa berubah warna. Jika di sekelilingnya berwarna hijau, warna kulitnya akan berubah menjadi hijau seperti lingkungannya. Jika berada di tanah yang berwarna coklat, warna kulitnya pun berubah menjadi coklat. Perubahan warna ini disebut  dengan istilah mimikri. Gunanya untuk menyelamatkan diri dari hewan lain yang siaga memangsanya.

Di pohon itu ada juga beberapa ekor klarap sebangsa cicak yang pandai terbang. Klarap  memiliki semacam saputangan di lehernya. Saputangan itu bisa digerak-gerakkan seperti orang sedang melambai. Adapun warna saputangan itu ada yang biru, ada juga yang kuning.

Bunglon merasa dirinya lebih baik daripada binatang lain di pohon itu. Karenanya, dia merasa sok hebat dan sangat sombong.

"Tidak ada di pohon ini hewan yang menyamaiku!" teriaknya lantang.

"Ehm ehm ... !" burung pelatuk berdehem mendengar teriaknya.

"Apa berdehem! Bisamu cuma melubangi batang kayu saja kok berlagak!"  teriaknya kepada burung pelatuk.

Burung pelatuk cuma diam lalu melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Tukk ... tukk ... tukk ... bunyi paruhnya menghantam kayu pohon. Burung pelatuk mempersiaapkan satu lubang sebagai sarang untuk menyimpan telurnya.

Beberapa ekor klarap sedang bermain berkejar-kejaran. Mereka memamerkan saputangan di lehernya. Mereka juga bersenang-senang menikmati sinar mentari pagi yang menghangatkan tubuhnya.

Klara dan Klari dua ekor klarap yang sedang jatuh cinta saling bercanda ria.

"Ayo kejar aku Klariii ...!" ucap Klara sambil melompat terbang ke dekat Bunglon.

"Minggirrr ... pergi kau dari siniii!"  usir Bunglon. Padahal Klara baru saja hinggap di dekatnya. Klara kaget dan terbang menyingkir menjauhi Bunglon.

Akan tetapi, Klari yang tidak mendengar usiran Bunglon terlanjur mengejar Klara dan berencana hinggap juga di situ. Karena kaget juga, Klari salah hinggap. Ia bukannya hinggap di dahan dekat Bunglon, melainkan hingga tepat di badan Bunglon.

Bunglon mengamuk, "Haiii ... apa-apaan nih!" sambil mengibaskan Klari dari punggungnya. Klari yang terkejut akhirnya terjatuh ke tanah tanpa bisa mengendalikan dirinya.  Untunglah Klari dapat hinggap dengan selamat. Lalu Klari pun merayap menaiki pohon kembali. Dia mencari tempat aman. Sementara Klara entah ke mana. Klari tidak tahu.

Seekor tokek yang melihat Klari terjerembab ke tanah merasa iba. Lalu katanya, "Yang sabar ya Klari ... sebentar lagi pasti Klara akan muncul mencarimu!"

Klari berterima kasih kepada tokek yang menasihatinya, "Terima kasih, Pak Tokek!"sambil dikibaskannya saputangan birunya.

"Wah, ... indah sekali saputangan birumu, Klari!" puji Tokek.

Dengan pongah Bunglon menepuk dadanya, "Nah, itulah kalau kamu menggangguku! Untung tidak kusumpahi mampus kau!" teriaknya kepada Klari yang masih merayap di bagian bawah pohon trembesi itu.

"Hai, Bunglon! Berhati-hatilah kau! Ucapanmu itu bisa menimpa dirimu sendiri, loh!" suara kecil seekor kupu-kupu mengagetkannya.

"Hah ... apa pedulimu? Bukan urusanmu! Jangan campuri urusanku!"  hardik Bunglon lantang.

"Setiap sumpah serapah yang terucap kepada yang lain, itu akan mengenai diri sendiri loh, Kawan!"  ucap Kupu-kupu dengan manisnya sambil bermanuver di atas kepala Bunglon.

"Hahhh ... berani menantangku, ya!" sembur Bunglon.

"Hehe ... siapa takut, Kawan. Aku hanya mengingatkan. Berhati-hatilah kalau kau mengata-ngatai teman!" jawab kupu-kupu lagi.

"Sanaa ... pergiii.. !" hardik Bunglon pula.

Tiba-tiba,  dua ekor kucing muda yang sedang belajar memanjat melompat naik ke dahan trembesi itu. Dua kucing lucu itu sangat agresif. Dengan lincahnya memanjat ke sana kemari pada setiap dahan di pohon besar itu.

Otomatis Bunglon pun terusik oleh ulah dua ekor kucing tersebut. Bunglon marah-marah. Dingangakannya mulutnya lebar-lebar dengan maksud menakut-nakuti dua ekor kucing itu.

Akan tetapi, kucing lincah tersebut justru sangat senang. Mereka berdua mengira Bunglon mengajaknya bermain. Lalu dua kucing itu mendekatinya.  Keduanya mencoba mencakar dan mengusik Bunglon hingga dia terpojok. Tentu saja Bunglon kalah sehingga terjerembab jatuh ke tanah. Kepalanya tepat mengenai batu besar sehingga membuatnya pusing. Dua ekor kucing itu masih mengejarnya. Tubuh Bunglon dilempar-lemparkan ke atas seolah sebuah bola.

Bunglon pun sekarat. Kupu-kupu yang mengetahui jatuhnya hinggap takjauh dari situ. Ketika dua ekor kucing muda mengetahui kalau Bunglon sudah tidak dapat bergerak lagi, mereka meninggalkannya begitu saja.

Bunglon lemas tak berdaya. Badannya sakit semua kena cakar runcing dua ekor kucing. Kepalanya serasa pecah.

"Nah, apa kataku?" ujar kupu-kupu lembut di dekat kepalanya. Bunglon diam saja merasakan betapa sakit semua badannya.

"Makanya jangan sombong! Jangan menyumpahi sesama hewan! Kalau kamu sendiri yang celaka, maka teman-teman tak mau tahu!" lanjut kupu-kupu.

Bunglon memejamkan mata. Dia tidak tahu apa lukanya akan sembuh. Sekarang dia merasa sendiri. Tak ada satu hewan pun yang menolongnya.

"Bukan yang congkak bukan yang sombong yang disayangi handai dan taulan ...!" sayup-sayup terdengar nyanyian lagu kanak-kanak dinyanyikan oleh sekelompok anak sekolah yang melintas di dekat pohon trembesi itu.

Rupanya mereka pulang sekolah. Bunglon mendengar dan air matanya meleleh. Dia tahu sekarang, jika sombong, tidak ada teman yang menyayanginya.

***

Sekarang Bunglon tahu bahwa sombong itu tak ada gunanya. Sombong itu membuat teman-teman tidak menyukainya. Artinya, tidak menyayanginya juga.

Maka dia berjanji pada dirinya sendiri, "Aku harus belajar menjadi seekor bunglon yang baik dan tidak sombong. Aku memang mudah sekali marah, sih. Gampang sekali kesal melihat ulah dan mendengar kata-kata hewan lain," gumamnya lirih.

Sore itu, setelah badan remuknya terasa lebih enakan, dia mendatangi Paman Owel, seekor burung hantu tua dan bijak yang bersarang di pohon beringin. Ia hendak bertanya-tanya atau istilah kerennya berkonsultasi. Konon katanya Paman Owel sangat bijak dan berkenan memberikan masukan dan nasihat kepada hean yang datang meminta petunjuk kepadanya. Maka, si bunglon pun ingin memperoleh nasihat agar hidupnya lebih baik. Khususnya yang berkenaan dengan sifat dan sikapnya yang disebut temperamental itu.

"Spadaaa ...," salam Bunglon sesampai di depan sarang Paman Owel.

"Yaaa, siapa? Masuklah, walau sebenarnya aku masih mengantuk. Pasti kamu butuh bantuanku, kan?" sambut Paman Owel ramah sekali.

"Iya, Paman Owel. Ini saya ...," jawab bunglon sambil mendekatkan dirinya sehingga si burung hantu bisa melihatnya dengan jelas.

"Ohh, ada maksud apa, Sahabatku?"

"Begini, Paman. Saya mau minta petunjuk sehubungan dengan perangai saya yang gampang tersulut. Kata hewan lain, saya juga sombong. Menurut Paman, apa yang harus saya lakukan agar bisa sembuh?"

"Oh, begitu. Menurutku ... anggaplah dirimu itu tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa. Dengan demikian, kamu bisa melihat kelebihan hewan lain. Kalau misalnya kamu punya kemampuan khusus, jangan mengira hewan lain tidak punya. Justru mungkin hewan lain memiliki kelebihan yang jauh berada di atasmu!"

"Ohh, begitu rupanya! Baiklah, saya akan mencobanya, Paman!"

"Satu lagi .... Kalau kamu ingin marah, bekaplah mulutmu agar kamu tidak berkata-kata. Dengan demikian, kamu tidak menjadi pemarah. Berubahlan menjadi peramah, bukan pemarah. Paham?" 

"Baiklah Paman, saya akan mencoba resep yang Paman berikan," jawab si bunglon santun.

"Iya, semoga bisa membantumu mengubah perangai menjadi lebih baik!"

"Terima kasih, Paman. Izinkan saya pulang!"

"Ya, hati-hatilah dalam bersikap dan bertutur kata!"

"Siap, Paman. Saya akan mencobanya. Doakan saya berhasil menjalankan misi perubahan diri!"

"Amin. Pulanglah dengan damai sejahtera, Saudaraku!" 

***

 
 
 
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun