Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bias Bianglala Senja (Part 2)

1 Juni 2024   12:32 Diperbarui: 1 Juni 2024   18:18 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bias Bianglala Senja (Part 2)

Hari pertama kursus, seorang bapak sepuh menjadi instrukturku. Beliau menanyakan alasanku mengikuti kursus. Kukatakan jujur bahwa aku sedang mengalihkan perhatian dari kegalauan. Entahlah aku juga heran mengapa begitu polos dan jujurnya aku menceritakan kondisiku. 

Bapak itu memahaminya. Lalu beliau mengatakan bahwa untuk menguasai kendaraan, hati kita harus tenang, tidak boleh grogi, dan harus tetap berkonsentrasi. Meskipun hanya satu jam setiap kali pertemuan, tetap saja aku dituntut untuk berkonsentrasi. Tanpa konsentrasi, pelajaran mengendarai kendaraan bermotor apa pun jenisnya akan sangat sulit dilakukan.

Baiklah. Aku justru hendak mengalihkan kesedihan dan kegalauanku. Aku pun berkonsentrasi penuh saat diberi teori dan sekaligus praktik menjalankan kendaraan. Bersyukur, hari pertama aku bisa mengatasinya. Lolos! Sudah mampu menjalankan walau masih gigi persneleng satu. Untuk belajar memang disarankan menggunakan mobil jenis manual, bukan matic.

Saat pulang dari tempat kursus, tanpa sengaja aku melihat Mas Dewo sedang berjalan menuju kampus. Terkejut dan spontan aku berusaha tidak menyapanya. Bahkan, sengaja sepeda motor yang kukendarai kualihkan menuju tempat lain dahulu. Lalu, aku singgah di kantin agar dia berlalu dari penglihatanku.

"Loh, Nin. Tumben sendiri? Mas Dewo mana?" tanya Rianti beruntun. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab.

Ya, siapa pun tak boleh tahu kalau aku sudah berniat meninggalkannya. Hubungan kami sudah berakhir dan aku segera ingin bisa move on. Menjauhi dan melupakannya! Itu tekadku. Tentang hubungan kami, biarlah orang tahu dengan sendirinya tanpa aku memberitahu.

"Kau pesan apa, Nin?" tanya Rianti lagi.

"Biasa, gado-gado!"

"Ok. Hari ini aku mentraktirmu!"

"S-serius?" pelototku menyelidik.

"Iya, apa kamu lupa kalau hari ini aku berulang tahun?"

"Ohh, ... maaf! Selamat  ulang tahun, ya Rin! Semoga semua yang kauharapkan tercapai!" ujarku.

"Amin!" jawabnya dengan senyum khas.

Senyum yang membuat semua orang tergila-gila karena dihiasi gingsul dan lesung pipi yang menambah manis penampilan. Rianti memang seorang gadis manis seangkatan dan sejurusan denganku.

Usai menikmati gratisan aku berpamitan. Kali ini aku tidak jadi ke kampus, tetapi akan melanjutkan ke tempat kursus sulam pita di Jalan Argopuro. Ya, sebenarnya tidak penting-penting banget sih, tetapi apa salahnya juga sebagai perintang waktu, 'kan? Sekitar satu jam lebih sedikit, selesailah kursus yang juga membutuhkan konsentrasi penuh itu. Teliti dan telaten sangat diperlukan, selain jiwa seni untuk memadupadankan warna. Sungguh, skill dan art talent sangat dibutuhkan di sini!


***

Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan. Tepat  tiga bulan aku meninggalkan Mas Dewo. Musim hujan masih belum berakhir. Kursusku menyetir sudah selesai, bahkan aku sudah mengantongi SIM A. Karena itu, aku melapor kepada Ayah sambil memamerkan SIM A milikku. Kukabarkan bahwa aku sudah bisa mengendarai mobil. Maka, aku meminta izin untuk meminjam mobil di hari Minggu besok karena ingin melancarkan penguasaan mengendarai mobil.

"Wah, hebat! Ok, kau boleh meminjam mobil, tetapi harus dengan sopir! Bagaimana?"

"Lah, apa gunanya aku lulus ambil SIM A, Ayah?"

"Ya, nanti kamu boleh memegangnya ketika di tempat sepi. Biar sopir baru kita membawamu ke tanah lapang atau tempat terbaik untuk melancarkan keterampilanmu!" kata Ayah tegas.

"Duhhh! Ayah memang tak dapat disanggah!" senandikaku.

***

Hari Minggu yang kutunggu pun tiba. Pagi sekitar pukul delapan, datanglah seseorang mencari Ayah. Penampilannya sangat rapi. Tampaknya dia pemuda baik-baik. Ternyata, Ayah memperkenalkan sebagai sopir baru kami.

Setelah berbicang-bincang sebentar, Ayah mengizinkan aku dan dia berjalan ke mana pun mau. Ayah menceritakan bahwa aku hendak memperlancar kemampuan menyetir. Dia pun menyanggupi akan menjadi instrukturku.

"Maaf, Mbak. Sementara mobilnya saya bawa dahulu. Nanti di tempat yang akan saya tunjukkan, silakan Mbak yang membawanya!" katanya sambil merunduk santun.

Aku cuma mengangguk mengiyakan. Jika Ayah sudah akrab dengannya, aku belum kenal  sama sekali. Sambil mengendarai mobil, dia menceritakan bahwa Ayah adalah orang baik. Ayahlah yang menolong hingga dia berhasil menyelesaikan kuliah. Dengan sesekali menjadi sopir pribadi, atau membantu ini itu, dia bisa membiayai kuliah dan sekolah adiknya.

Konon kedua orang tuanya sudah tiada, sementara dia masih memiliki seorang adik lelaki yang duduk di bangku akhir SMP. Kini setelah wisuda, Ayah meminta menjadi sopir pribadinya. Apalagi, selain Ayah dan Ibu, aku pun harus diantar jemput olehnya. Maka resmi sejak hari ini dialah yang akan mengantarkan ke mana pun kami mau.

Nama panggilannya Prima. Lengkapnya Prima Pratama. Kuperhatikan sekilas kulitnya hitam manis, wajahnya lumayan tampan dengan kumis tipis menghias bawah hidung mancungnya. Bodi atletis yang dimiliki mengesankan sebagai seseorang yang teguh dalam pendirian dan kuat dalam berkeyakinan. Nampak sepintas terkesan pemalu dan tidak banyak bicara.

Dia pun telah mengantongi ijazah sarjana dengan predikat cumlaude dari perguruan tinggi negeri ternama. Maka, sambil menunggu panggilan kerja, dia menerima tawaran Ayah untuk menjadi sopir pribadi kami.

Aku pun dipersilakan mencoba mengendarai kendaraan di perumahan sepi. Jalan mulus lumayan bagus. Ada jalanan lurus dan panjang, ada juga putaran yang tepat sekali untuk berlatih mengendarai mobil. Katanya, dia dulu juga belajar di tempat itu. Namun, tidak kursus, tetapi diajari teman SMA-nya yang berasal dari keluarga berada. Bahkan, sampai saat ini hubungan mereka masih berlanjut. Katanya, teman itu merupakan aset di masa depan! Jika menjadi orang baik, bisa memperoleh teman banyak dan mempertahankan pertemanan dengan langgeng, sama dengan memperoleh rezeki luar biasa. Itulah salah satu prinsip hidupnya.

Dia merasa heran dengan dirinya yang pemalu dan pendiam tiba-tiba bisa bercerita se-nerocos itu kepadaku. Katanya pula, dia mendambakan seorang adik perempuan, tetapi yang dimiliki adalah adik lelaki yang justru menjadi tanggung jawabnya. Itu mungkin yang menyebabkan dia segera akrab. Bahkan, dianggapnya aku sebagai adiknya. Aku pun sama juga sih ... sebagai putri semata wayang sebenarnya aku pun mendamba seorang kakak lelaki yang baik hati, care, humble, bertanggung jawab, dan selalu melindungiku!

Sebelum aku memulai mengendarai mobil Ayah, dia memberitahukan jurus jitunya untuk berkendara. Aku  menyimak tanpa berkomentar, hitung-hitung menambah pengetahuan. Akhirnya, aku berhasil menundukkan mobil Ayah meskipun masih belum sehalus Prima. Tak mengapa. Masih ada kesempatan untuk berlatih, sampai aku diizinkan Ayah untuk membawanya sendiri.

Sampai di rumah Ayah mencecar dengan berbagai pertanyaan, "Bagaimana, Prim. Sudah mantapkah Nin mengendarai mobil?"

"Sudah lumayan, Pak!" jawab Prima santun.

Aku hanya tersenyum, "Masih ada waktu untuk belajar lagi, 'kan?" sergahku.

"Ya, tentu saja masih. Nanti biar Prima yang mengatur waktunya. Sesuaikan dengan jadwal kuliahmu, Nin!" kata Ayah sambil menatap netra Prima.

Karena lapar, aku langsung menyerbu meja makan.

bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun