Kalau urusan boneka, bando, kalung, atau benda apa pun aku bisa mengalah, lah ini yang direbutnya bukan benda mati, melainkan tunangan dan calon suamiku! Bagaimana aku bisa mengalah begitu saja? Karena itu aku memutuskan untuk pergi. Pergi sebelum melihat wajah tunanganku berbahagia di sisi adikku di pelaminan!
***
Maka kemarin aku pergi tanpa memberitahukan ke mana tujuanku. Jangan  heran bila semua penumpang memberi kabar kepada keluarga mereka, sementara aku sama sekali tidak menyentuh gawaiku. Aku justru berusaha membantu para penumpang yang harus dievakuasi. Untunglah sejak bersekolah di bangku SD aku sudah ikut Dokter Kecil, PMR, dan Pramuka sehingga cukup cekatan juga membantu mereka.
Kenek lebih dahulu dievakuasi oleh ambulans yang paling dulu datang. Entah dikirim ke mana. Ibu sepuh, dua wanita hamil, dan dua ibu yang mengalami trauma dan pusing karena mabuk juga sudah dijemput oleh ambulans yang lain.
Pagi itu dengan muka kuyu, aku tetap stay di bus tanpa beranjak. Aku tidak akan pergi sebelum dapat mengambil dua koporku di bagasi. Maka ketika ditanya aku pun menjawab seperti itu.
Bapak-bapak yang sejak dini hari mengomando itu ternyata belum setua yang kukira. Gagah, sigap, dan handsome juga ternyata. Sekadar  berbasa-basi, aku mengulurkan tanganku untuk berterima kasih kepadanya. Dengan senyum manis beliau menanyakan ke mana arah tujuanku, dan entah mengapa aku menjawab spontan, "Belum tahu!"
Tentu saja beliau heran dan terkaget-kaget. Dengan alis mata mengkerut, diajaknya aku menjauh dari kerumunan.
"Sini, Mbak!" ditariknya tanganku sehingga aku tak berdaya.
"Ada masalahkah?" aku cuma mengangguk.
"Oke, kita bisa sharing  selepas ini. Tunggu aku menyelesaikan dulu urusan ini. Selanjutnya urusan Mbak. Perkenalkan, namaku Baskoro. Panggil saja, Bas!"
Kulihat dan kudengar melalui gawainya beliau meminta dikirim satu kendaraan untuk menuju lokasi kami.