PERTEMUAN JODOH
Ninik Sirtufi Rahayu
Kita tahu bahwa paling tidak manusia memiliki tiga fase dalam kehidupan, yakni lahir, menikah, dan meninggal. Sebagai manusia awam, tentu kita tidak dapat mengetahui dengan pasti bagaimana cara lahir kita, bagaimana cara kita menemukan jodoh, dan bagaimana pula kelak ketika kita meninggal. Kita pun tidak pernah mengetahui siapa yang akan menjadi orang tua kita dan siapa pula jodoh kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berserah kepada Sang Sutradara Agung: semua merupakan kehendak-Nya semata!
Demikian pulalah yang terjadi padaku. Aku tidak pernah mengetahui siapakah jodohku. Pernah memang, saat aku duduk di kelas dua SPG (Sekolah Pendidikan Guru) beberapa anak indekos yang tinggal di rumah kami bermain Jaelangkung. Tahu, kan? Permainan itu berbahaya sebenarnya karena mengundang roh-roh orang yang sudah meninggal untuk menjawab beberapa pertanyaan dari para pemain. Entah bagaimana, aku diminta masuk kamar dan dikunci dari dalam. Beberapa mbak indekos berkerumun di ranjang. Di atasnya ada semacam alat dan mereka tertawa-tawa mendengar jawaban roh yang hadir berupa tulisan dengan menggabungkan huruf yang ditunjuk. Â
Saat itu aku sudah bertunangan dengan teman dari salah seorang guru SPG-ku. Kami bertemu saat aku membantu salah seorang teman untuk ikut membuat dekorasi janur kuning. Di situlah teman-teman pengantin pria, guru biologiku, menghadiri pernikahan tersebut. Salah seorang di antara teman guruku itu, menginginkan aku untuk menjadi istrinya.
Beberapa waktu setelah pernikahan guruku itu, guruku mengatakan bahwa ada surat untukku. Ternyata, surat itu adalah surat cinta dari salah satu temannya. Selanjutnya, aku dipanggil oleh guruku dan ditanyai macam-macam. Seminggu setelah itu, teman guruku datang ke rumah bersama guruku. Di hadapan guruku itulah temannya itu memintaku kepada kakek nenek. Ya, aku tinggal bersama kakek nenekku sejak bayi merah.
Anehnya, tanpa bertanya bagaimana perasaanku, kakek nenek menyetujui permohonannya. Begitu gerak cepat, bulan berikutnya orang tua dan keluarganya datang untuk meresmikan pertunangan kami.
Sejujurnya, aku juga kurang menyukai pertunangan itu. Apalagi teman guru SPG-ku itu tentu saja terpaut jauh denganku: delapan tahun! Kupikir, aku masih terlalu muda. Perihal perjodohan itu diterima oleh kakek nenekku hanya karena masalah biaya hidup.Â
Kakek nenek hanya mengandalkan gaji pensiunan dan hasil indekosan saja. Jadi, karena biayalah mereka menerima lamaran itu. Kakek nenek merasa sudah tidak memiliki biaya untuk hidupku dan biaya yang kuminta untuk rencanaku kuliah selulus sekolah. Kedua beliau sudah merasa angkat tangan. Kakek nenek mengemukakan hal itu, sementara pihak mereka menyetujui untuk memberikan kesempatan padaku melanjutkan kuliah. Maka, dengan terpaksa aku menerima pertunangan itu, tetapi sekali lagi hatiku menolaknya!
Nama tunanganku itu sebut saja Kuntoro, seorang mahasiswa doktoral dan asisten dosen di IKIP Surabaya. Tubuhnya tinggi semampai dengan tinggi badan sekitar 180 cm, sementara aku hanya 151 cm saja. Ketika kami berdiri bersisian, aku hanya sebatas pundaknya saja. Kemudian, mohon maaf, wajahnya dipenuhi jerawat besar yang memerah. Inilah pula barangkali yang menyebabkan hatiku menolaknya. Kupikir saat itu aku masih sangat idealis. Aku ingin pasangan yang setidaknya serasi denganku.
Pada permainan Jaelangkung yang diselenggarakan oleh beberapa anak indekos di salah satu kamar indekos kami, para pemain menanyakan siapakah jodoh kami. Alat permainan itu adalah kayu yang dibuat sedemikian rupa, dengan kaki dan bagian atas bulat dan dapat diputar. Sebuah  pensil diikat menggantung pada alat tersebut. Alat itu diletakkan di atas kertas berbentuk lingkaran sebagaimana alas jam dinding. Angka jam dinding tersebut diganti dengan susunan huruf A hingga Z.
Ketika roh, entah roh siapa yang datang, itu ditanya siapa namanya, pensil akan bergerak menuju huruf dan akan bisa dibaca setelah huruf itu dicatat oleh para pemain. Roh itu menyebut bahwa dirinya dari etnis Tionghoa, meninggal karena kecelakaan. Setelah ditanya apakah berkenan menjelaskan beberapa pertanyaan, menjawab bersedia, ditanyakanlah jodoh masing-masing kami. Roh yang datang itu akan menunjukkan huruf dengan menggerakkan pensil ke arah huruf di bawahnya.
Demikian pula ketika dilontarkan pertanyaan tentang jodohku. Pensil itu bergerak menuju huruf yang ada di bawah pensil yang menggantung. Ketika huruf pertama ditunjuk K, para pemain bersorak gembira karena mereka mengira bahwa roh Jaelangkung itu akan menyebut nama tunanganku. Huruf kedua ditunjuk ke arah huruf U, nah sorak pemain pun riuh. Aku masih kebingungan mengapa mbak-mbak indekos mencoba menanyakan jodohku. Ternyata, huruf ketiga yang ditunjuk bukan N, melainkan S. Wah, permainan semakin seru bagi mereka.
Setelah pensil tidak bergerak lagi dan rangkaian huruf mereka baca, ditemukanlah nama Kusaeni bukan Kuntoro. Mereka, terutama aku, sangat heran dan takut. Kami bertanya-tanya siapakah nama yang disebut roh itu. Akan tetapi, karena kuanggap hanya permainan belaka, aku pun segera melupakannya.
Ketika tanda kelulusan sudah kuterima, Mas Kun datang ke rumah mengajakku ke Kediri seperti biasa. Ya, setiap libur semester beliau pasti akan datang dan mengajakku ke rumah ayahnya di Kediri. Sepulang dari Kediri, dan sesampai di rumah, beliau mengatakan bahwa ayahnya meminta agar kami segera menikah karena berpacaran dan bertunangan lebih dari satu tahun itu tidak baik bagi kami.
Saat itu, entah mengapa, tiba-tiba aku meradang karena janjinya aku diizinkan kuliah. Beliau mengatakan bahwa aku tetap diizinkan kuliah, tetapi harus menikah dulu. Aku marah apalagi aku belum siap untuk menikah.
Hubungan kami pun menjadi renggang. Beberapa bulan selanjutnya aku diterima sebagai mahasiswi di IKIP Malang. Aku tidak memberi kabar apa pun. Lalu, menginjak masa tentamen, surat pertamanya datang melalui fakultas. Surat yang terpajang di semacam majalah dinding kampus itu, beruntung kuketahui dan segera kuambil. Di tempat kos surat itu kubaca isinya mengemukakan bahwa sejak saat itu aku tidak perlu lagi memikirkannya. Nah, saking senangnya, langsung cincin pertunangan kujual kubelikan perlengkapan kuliahku.
Semester dua sejak aku merasa resmi tidak memiliki tunangan lagi, aku menerima pernyataan cinta seseorang yang sama-sama berasal dari kotaku. Dia kakak kelasku sejurusan, putra kedua dari tujuh bersaudara. Kelima adiknya masih membutuhkan biaya pendidikan sehingga dia pun harus mencari penghidupan dengan mengajar di sekolah swasta. Bahkan, seringkali beasiswa yang diterima dikirimkan untuk adik-adiknya.
Aku sangat mencintainya. Bucin istilah sekarang, ya. Cinta yang mampu membuatku bertekuk lutut. Namun, setelah beberapa saat berpacaran, kuketahui bahwa kedua orang tua kekasihku ini tidak merestui hubungan kami. Aku pun limbung. Apalagi kulihat kekasihku juga bermain mata di belakangku. Kepada adik tingkat yang elok wajahnya dikatakannya bahwa aku hanya sekadar saudara jauh, bukan kekasihnya. Aku sangat sedih.
Ketika ditanyakan apa bukti cintaku padanya, selalu kujawab dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti membantu membayar SPP-nya karena kebetulan aku juga menerima beasiswa di samping ada dana dari ayah kandungku setiap bulan. Aku juga membelikan kemeja, kaos, dan lain-lain. Kepada adiknya pun selalu kukirimkan beberapa kebutuhan sekolah, seperti buku, tempat pensil, dan sebagainya yang lucu-lucu. Maksudnya sekadar pendekatan agar hubungan kami semakin lancar.
Suatu saat menjelang semester terakhirnya di tingkat doktoral, Â dia meminta agar aku pindah indekos di dekat tempat kosnya agar aku bisa membantunya mencucikan bajunya. Nah, karena aku pun sangat mencintai dan tidak mau kehilangan dia, aku menyetujuinya. Jadilah aku dicarikan tempat indekos yang tidak jauh dari tempat indekosnya.
Saat itu aku sudah berada di semester kelima. Sudah tidak ada lagi mata kuliah yang kuambil karena sudah habis kuambil pada lima semester sebelumnya. Aku tinggal mengikuti PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) selama sekitar satu semester dengan mengajar di suatu sekolah yang ditentukan oleh pihak kampus. Kebetulan aku ditempatkan di luar kota, di SMPN 4 Kepanjen. Jarak antara Malang Kepanjen sekitar dua puluh lima kilometer ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum. Dari tempat indekos bisa kutempuh dengan naik bemo dan lanjut dengan bus arah ke Blitar. Saat itu untuk bus dengan ongkos lima puluh rupiah, sementara bemo seingatku kurang dari itu.
Pagi hari sebelumnya, aku harus membayar uang makan kekasihku di warung sehingga lupa bahwa uangku tidak cukup kugunakan pergi pulang. Yang penting aku sudah bisa sampai di sekolah tempatku mengajar. Ketika hendak pulang, aku menegemukakan kesulitanku kepada guru pamong. Beliau langsung tanggap dan mencari salah seorang guru yang pulang ke Malang dengan mengendarai sepeda motor. Kemudian, beliau menitipkan aku kepada guru yang bersepeda motor tersebut. Bersyukur, aku bisa kembali ke Malang meskipun tanpa ongkos.
Saat sampai tepat di depan indekos, ternyata si kekasih itu telah menungguku di sana. Melihat aku pulang dibonceng sepeda motor seseorang yang tidak dikenalnya, kekasihku langsung meradang dan mengolokku dengan mengatakan, "Dasar wanita bensin!" sambil mencibir dan membuang muka.
Aku pun, karena lelah dan emosi, langsung menjawab, "Ok, Mas. Jika ada lelaki, yang membawakanku sepeda motor enreiyen, aku bersedia menjadi isterinya. Takpeduli itu siapa!" teriakku lantang.
( Note: sepeda motor enreiyen yang kumaksud adalah sepeda motor baru yang belum digunakan sehingga seseorang harus enreiyen agar sepeda motor itu lancar dan tidak rewel ke depannya.)
Ternyata ada orang yang mendengar dan benar-benar membawakanku sepeda motor enreiyen saat aku libur semesteran di desa beberapa hari setelahnya. Beliau sampai tersesat mencari alamatku berbekal  ancer-ancer dari temanku yang masih berada di tempat indekos. Maklum, saat itu belum ada Google Map! Â
Itulah sebabnya aku meninggalkan kekasihku itu hanya dalam hitungan hari! Dan menikahlah aku dengan seseorang yang tidak pernah kuketahui siapa. Namanya? Ternyata persis seperti yang ditunjuk oleh roh saat bermain Jaelangkung! Kusaeni. Duuhh ... merinding disko mengingatnya. Mengerikan sekaligus menyesal juga mengapa saat itu aku ikut-ikutan bermain Jaelangkung, yang meskipun jawabannya benar, berarti aku telah menyekutukan nama Tuhan. Sungguh perbuatan dosa yang tidak aku sadari.
Ya, orang yang langsung meminangku dengan sepeda motor enreiyen itu adalah  lajang  dengan usia terpaut 16 tahun di atasku! Beliau berusia 35 tahun saat aku masih belum genap sembilan belas tahun. Ternyata, dia yang sering bertandang ke tempat indekos baruku yang masih sekitar sebulanan itu sering bertandang ke tempat indekosku. Bukan mencari aku, melainkan mencari teman indekosku yang meminjam mesin ketik manualnya. Ternyata mesin ketik itu oleh teman indekosku, yang sudah menikah dan memiliki satu anak dengan kondisi istrinya sedang hamil tua, digadaikannya!
Itulah kisah perjodohanku yang sangat mendadak. Ya, pernikahanku mendadak bukan karena  by accident, bukaaann...! Aku menikah mendadak karena teriak lantang sayembaraku kepada kekasihku itu ada yang menanggapi. Ya, jodohku ternyata terpaut sangat jauh, lebih jauh dari perbedaan usiaku dengan tunanganku saat aku duduk di bangku sekolah dulu! Dua kali lipatnya, bahkan!
Nah, apa yang pernah disampaikan salah seorang saudaraku ketika aku katakan bahwa aku tidak menyukai karena beda usia kami jauh, benar adanya.
Katanya, "Kamu jangan menghina orang, ya! Jika saat ini kamu menghina dan menolaknya karena umur tunanganmu terpaut delapan tahun, bisa jadi kelak kamu mendapat yang lebih tua!"
Dengan tertatih-tatih aku menjalani pernikahanku karena memang tidak memiliki pengenalan dengan baik sebelumnya. Puji syukur, sampai saat ini kami masih bertahan. Pernikahan kami tahun ini telah berumur 46 tahun. Kami dianugerahi-Nya tiga anak lelaki yang telah mapan dan sukses dalam berkarier.
Seperti kata orang jika suaminya lebih tua, anak-anaknya akan pandai, ketiga putra kami pun semuanya cum laude bahkan beroleh beasiswa strata dua dan tiga di mancanegara. Aku  juga bersyukur diberi-Nya  gen yang baik sebagaimana kata orang bahwa kepandaian itu berasal dari gen ibu. Namun, sejujurnya, semua anugerah itu dari-Nya semata. Aku nggak boleh ceroboh dan congkak mengklaim bahwa pandai itu dari gen ibu.
Ya, memang, sangat bersyukur sebab sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku selalu menduduki peringkat teratas. Bahkan, sejak semester satu di perguruan tinggi, aku sudah memperoleh beasiswa. Inilah keadilan, keajaiban, dan kasih sayang Tuhan kepadaku. Sekalipun aku terlahir dengan kedua orang tua tidak pernah bersatu, bahkan selalu berpisah, diasuh serta dididik oleh kakek nenek, Tuhan memberikan kelebihan kepadaku di dalam segi intelegensi. Meski sempat menjadi anak broken home, tetapi bukan broken heart, aku tetap eksis dalam keyakinan. Pasti ada hal baik yang masih disembunyikan-Nya dalam alur hidupku. Ternyata ada sisi positif dan baiknya, yakni dari bidang kemampuan intelektual ini. Dengan demikian, aku merasa harkat dan martabatku terangkat. Inilah bekalku untuk tetap bersemangat menjalani dan menjalankan hidup yang adalah anugerah-Nya belaka.
Perjodohanku yang ditata-Nya sedemikian rupa adalah anugerah yang tiada tara. Aku tidak diizinkan-Nya berjodoh dengan tunangan dan cinta pertamaku karena Tuhan telah menyediakan jodoh yang sempurna bagiku. Jodohku yang tidak kukenal sebelumnya, tetapi perjodohan kami diberkati sedemikian rupa dan dianugerahi-Nya langgeng tanpa kendala hingga saat ini. Terpujilah Tuhan kekal selamanya, karya ajaib-Nya patut diceritakan kepada generasi selanjutnya, amin!
Ya, tanggal 1 Juni besok, genap 46 tahun Tuhan memberikan jodoh kepadaku. Kami dianugerahi tiga jagoan tampan dengan prestasi sangat membanggakan dan membahagiakan. Sulung telah menjawab keinginan ayahnya sebagai seorang bankir dan ekonom terpandang, tengah pun tak kalah berprestasi di bidang akuntan dan sebagai staf ahli program My SAP, sementara si bungsu menjawab keinginan mamanya sebagai dokter sekaligus dosen. Bungsu ini masih berjuang meraih gelar doktornya di negeri Paman Sam. Sungguh, tidak pernah terbayangkan terbayar sudah sakitnya perundungan masa silam. Kini, hanya syukur dan syukur yang selalu kami kemukakan baik di dalam lisan maupun tulisan.
Malang, akhir Mei 2024
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H