Ajeng sangat tertutup. Dia tidak menceritakan apa pun permasalahannya. Selain pendiam, Ajeng juga tidak ingin masalahnya diketahui masyarakat. Itu karena permasalahannya sangat pelik sehingga hanya Tuhan sajalah yang layak menjadi tempatnya mengadu dan mengaduh. Dia tidak akan melibatkan siapa pun dalam permasalahannya. Termasuk Binar sekalipun.
Ketika Ajeng sedang mandi atau sedang merasakan kesedihan di malam yang sepi, dia melampiaskan rasa hatinya dengan bernyanyi dan bersenandung. Kadang tanpa disadarinya, dari ujung netranya menganak sungai tirta bening. Namun, tak sepatah kata pun sesal atau sedih diungkapkannya. Begitu piawai dia menyembunyikan permasalahan dan kesedihannya.
"Non, kita nonton, yuk. Ada pesta dan ada hiburan di depan kantor balai desa!" ajak Binar dengan mata berbinar-binar.
Malam itu hampir seluruh penghuni desa berduyun-duyun menghadiri pagelaran Band Kampung yang sudah terkenal setidaknya di daerah sekitar kabupaten. Ajeng dan Binar pun tampak ikut berdesakan menuju area paling depan. Karena Binar tahu bahwa Ajeng bisa menyanyi dan pernah menjadi vokalis band saat di sekolah dan kampus, Binar pun meminta mikrofon dan memanggil Ajeng untuk mempertontonkan kebolehannya.
Mendengar suara emas Ajeng, penonton bertepuk riuh rendah memintanya menyanyi kembali. Maka, atas permintaan penonton, Pak Kades meminta agar Ajeng mengisi acara pada pagelaran bersih desa yang akan dilaksanakan beberapa waktu ke depan.
"Jangan khawatir, kami mengundang tidak gratis. Ada honornya!" seru Pak Kades yang dilanjutkan dengan tepuk tangan riuh penonton.
Sang vokalis asli, Astuti, yang adalah istri owner Band Kampung sebagai pengiring nampak sewot mendengar dan melihat gemuruh audience menginginkan Ajeng sebagai vokalis band tersebut. Apalagi sang suami, Bang Doni yang akrab dipanggil Donal itu menyetujui dan mengontrak Ajeng sebagai vokalisnya. Â
"Bang, kok vokalisnya dia sih! Kan aku, istrimu, vokalis aslinya! Kenapa Abang ikuti kata mereka?" tanya Astuti sewot sesampai di rumah.
"Ya, ... kita profesional sajalah. Kan bagus kalau vokalisnya dua!" sergahnya.
"Pamorku anjlok, dong Bang. Abang nggak mikir apa ... kalau bakal tersaingi akunya!" sinisnya.
Hari demi hari Ajeng sibuk mengikuti pelatihan agar saat manggung bareng hasilnya lebih bagus. Sayangnya, Binar tidak selalu bisa mendampingi Ajeng. Ketika Binar mengikuti proyek salon di kota, Ajeng selalu sendiri ke mana-mana, seperti ke pasar dan ke kota terdekat kalau memerlukan ke ATM.