"Papa Mama juga sama saja! Mereka tidak pernah menanyai Betta sekalipun jadi juara. Apalagi memberi hadiah!" teriaknya lantang.
 "Tapi buat Betty hampir tiap saat dapat hadiah!" protesnya.
"Hmm ...." Â Tante Risa tampak bingung hendak menjawab protes itu.
"Rasanya Betty itu ... Â sekalipun cacat, semua orang justru menyayanginya. Sedang aku yang normal tidak dihiraukan!" Betta mulai sesenggukan.
Dibiarkan Betta menumpahkan isi hati beberapa saat. Kira-kira sepuluh menit kemudian Tante Risa berusaha menjelaskan permasalahan.
"Betta! Bukankah kamu bisa melakukan segala sesuatu dengan mandiri? Jadi wajar dong kalau Papa, Mama, dan Tante lebih memperhatikan adikmu yang tidak bisa mandiri seperti kamu! Lagian, kamu tidak kasihankah melihat adikmu usia empat tahun belum bisa berjalan?" tanya Tante. Matanya mulai berkaca-kaca.
Hening sesaat.
"Bisakah kamu bayangkan, kalau kita seperti itu? Sudah begitu saudara pun membencinya?" Tante mengusap mata yang mengembun. Aliran air bening itu diusap dengan tissue yang diambil dari saku celana kulotnya.
"Sejujurnya ..., kami sangat prihatin dengan kondisi Betty. Kami berusaha agar Betty senang. Tak kaudengarkah tangisannya saat dibawa terapi agar bisa berjalan? Hati Tante seperti diiris mendengarnya. Cobalah bayangkan, seandainya Betta adalah Betty. Bayangkan, bagaimana perasaannya?"
Betta tidak menjawab sama sekali. Dendam dan iri di hatinya kian menggumpal dan sangat menekan.
"Apakah Betta tidak kasihan melihat Betty? Bisakah Betta menerima Betty sebagai adik yang disayangi?"
Betta masih membisu. Bibirnya masih manyun saja.