Ah, Untung Ada Taman Toga
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Sekarang di rumah sudah ada asisten rumah tangga baru. Kami sangat senang, terutama Mama karena tidak lagi  terlambat masuk kantor.
Sudah seminggu ini kami menikmati masakan si Mbak Ros asisten rumah tangga itu. Masakannya  enak seperti masakan nenek di kampung. Memang sih, Mbak Ros berasal dari desa di dekat rumah nenek.
Siang ini sepulang sekolah Kak Reno dan Kak Rina bertengkar karena punggung mereka katanya terasa sangat gatal. Sejak pulang dari kemping tiga hari, mereka selalu merasa gatal katanya. Padahal, baju mereka sudah dicuci dengan bersih. Bahkan wangi pula.
Ketika merasa gerah kepanasan, Kak Reno membuka bajunya. Tiba-tiba, Mbak Ros berteriak cukup keras.
"Oh, itu ... punggung Mas Reno ada ... ada ... anu ada ...,"
"Ada apa? Ada ulatnyakah?" teriak Kak Reno menimpali Mbak Ros.
Mama yang baru pulang kantor kaget mendengar teriakan mereka. Aku yang sedang mengerjakan PR juga tak kalah kaget. Kupikir mereka sedang bertengkar. Padahal, biasanya Kak Reno dan Kak Rina terkenal sebagai pendiam. Mereka berdua kembar. Usianya 14 tahun. Sementara, aku berusia 10 tahun. Namaku Rina, tetapi aku mewarisi sifat mereka: pendiam.
"Ada apa ini, Ros?" tanya Mama.
"Ini, Bu. Di punggung Mas Reno ada ... ada ... panunya!"
"Hah, panu?"
"Iya, Bu ... tapi jangan khawatir, Ros punya obatnya kok!"
"Ya, sudah. Mana obatnya?"
"Harus Ros buat dulu, ya Bu!" dalih Mbak Ros.
"Lah, kenapa nggak beli di apotek saja, sih?" usul Kak Reno.
"Bukannya Kak Reno alergi obat kulit, ya?" kata Kak Rani sambil membelalakkan netra.
"Oh, iyaa ...!" jawab Kak Reno sambil memukul dahi perlahan.
"Buk, boleh Ros keluar sebentar untuk mencari rimpang lengkuas?" pamit Mbak Ros kepada Mama.
"Rin, tolong temani Mbak Ros ke tanah lapang. Di sana, di samping tanah lapang RT itu ada taman toga. Carilah lengkuas di sana! Jangan lupa membawa alat, Ros!" kata Mama.
"Baik, Ma!" jawabku sambil mengajak Mbak Ros keluar.
"Mbak Ros. Memang lengkuas bisa dibuat obat, ya?" tanyaku keheranan.
"Bisa dong, Dik. Kami di desa memanfaatkan lengkuas sebagai obat panu, bukan hanya sebagai bumbu dapur saja! Kalau di desa kan nggak ada apotek. Jauh sekali tempatnya kalau mau beli obat. Jadi, kami memanfaatkan apa yang ada di sekitar rumah. Misalnya nih, ketika kaki ayam Mbak Ros hampir putus ditabrak sepeda motor, kuparutkan kunyit, kutempelkan, lalu kubebat. Eh, tiga hari pulih juga, loh!"
"Oh, gitu ya ...," aku terheran-heran mendengar penjelasan Mbak Ros mengenai berbagai manfaat tanaman obat yang diketahuinya.
"Iya, nah ... makanya penanaman TOGA digalakkan di mana-mana. Adik tahu kan singkatan TOGA?"
"Iya, Mbak. Tanaman obat keluarga, kan?"
"Betul, Dik. Nah, setiap RT/RW di mana pun harus memiliki taman TOGA seperti itu. Banyak sekali gunanya. Seandainya tidak ada taman TOGA, kita akan bingung mencari rimpang lengkuas siang-siang begini. Mana pasar jauh pula!"
"Iya, ya Mbak! Untung ada Mbak di sini. Kalau tidak, Kak Reno dan Kak Rani itu alergi obat. Bisa makin kacau. Pernah loh, Mbak mereka berdua sakit, entah bagaimana kok seperti janjian gitu. Akhirnya, obatnya diberi Bude yang dari desa tuh. Direbuskan daun binahong!"
"Nah, iya. Betul banget. Binahong sangat bagus untuk obat. Apalagi kalau orang habis operasi. Luka apa pun bisa cepat kering dan pulih, loh!"
"Ohh ... hebat!" teriakku.
"Nah, ini Dik Rina. Inilah rimpang lengkuas itu. Kalau yang itu tuh ...."
"Jahe!" jawabku.
"Kok sudah tahu, Dik?"
"Lah ... ha ha ini kan ada papan namanya, Mbak?"
"Ooohh, iya iya ... ha ha ha ...!"
Kami berdua tertawa bersama. Setelah mencari beberapa rimpang lengkuas kami pulang. Mbak Ros segera mencuci dan memarut lengkuas tersebut. Setelah itu menyerahkannya kepada Mama untuk dilumurkan ke punggung Kak Reno.
"Ma, Rani juga mau dibegitukan!"
"Loh ... kamu juga panuan?"
"Nggak tahu sih, Ma ... tapi biasanya 'kan kami memang begitu? Kalau Reno sakit, Rani pun ikutan sakit toh? Kemarin punggung Rani juga sangat gatal!"
"Coba Mama lihat punggungmu di kamar, ya, Nak," ajak Mama.
Ternyata Kak Rani  pun menderita gatal karena panuan.
Setelah seminggu sejak dibalur lengkuas setiap sore menjelang tidur, punggung Kak Reno dan Kak Rani pun sudah terbebas dari panu, jamur kulit yang sangat menyebalkan itu.
"Ma, bukankah Kak Reno dan Kak Rani rajin mandi dan menggunakan sabun juga, ya ... lalu mengapa mereka panuan?" tanyaku saat selesai makan malam.
"Oh, panu itu jamur kulit yang gampang menular, terlepas rajin atau tidaknya mandi. Kalau sudah kena, ya ... kena saja. Bahkan, kamu pun mungkin tertular entah dari siapa. Yang penting, sekarang kita sudah tahu obatnya. Kalau terkena panu, tinggal parut saja lengkuas ..." Mama belum selesai bicara, tiba-tiba ....
"Iya, ditambah sedikit garam!" tambah Mbak Ros yang sudah di sebelah kami.
"Oh, ditambah garam juga ya, Ros?"
"Iya, Bu! Sebenarnya ada juga obat panu selain memakai lengkuas!"
"Wah, kamu bisa membuatnya juga?"
"Bisa, Bu!"
"Nah, coba ceritakan dulu. Besok baru kamu buat, ya!"
"Baiklah Bu. Obat yang kedua Ros menggunakan buah terong. Buah terong itu dibelah, dikeluarkan isinya. Kemudian tempat isi itu diganti dengan belerang yang sudah dihaluskan ..."
"Hah, belerang?"
"Iya, Bu. Kita bisa membeli belerang di pasar. Belerang itu dihaluskan dulu baru dimasukkan ke tempat isi terong. Setelah itu kedua belah terong yang berisi bubuk belerang disatukan kembali. Terong tersebut dibungkus daun pisang lalu dikukus."
"Wah, ... mengapa harus dikukus Ros?'
"Sebenarnya yang penting itu belerangnya. Daging terong hanya sebagai sarana agar belerang bisa menempel di kulit yang terkena jamur panu. Setelah terong dingin, sore menjelang tidur malam dilumurkan ke kulit yang terkena jamur panu. Dengan demikian, panu pun akan mati dan kulit kita sembuh terbebas dari panu!"
"Waaahhh, ... terima kasih Ros. Kamu sudah memberikan dua resep panu. Ngomong-omong, ampuh yang mana tuh?"
"Keduanya sama-sama bagus, Bu. Saya sudah pernah mencobanya sendiri!"
"Wuahhh, ... ide bagus tuh Mbak Ros! Besok akan saya ceritakan dan tuliskan di majalah sekolah tuh ... ha ... ha ....!" teriak Reno kegirangan.
"Wah, ... Kakak curang. Kakak ambil satu saja dan satunya aku, ya?" teriak Kak Rani.
"Jangan khawatir, Ros masih punya banyak cerita tentang manfaat TOGA kok. Kalian jangan bertengkar lagi, ya ...!" Mbak Ros berusaha melerai dua kakak kembarku.
Mama hanya tertawa melihat ulah keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H