Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yati Gembrot

28 Mei 2024   14:26 Diperbarui: 28 Mei 2024   15:17 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Iya, biji itu akan tetap sebutir jagung kering jika tidak ditimbun! Ingat hanya sebutir! Nah, kalau ditimbun, tumbuh, dan  berbuah lebat, ia bisa menjadi satu tongkol jagung yang berisi puluhan bahkan ratusan butir! Intinya berlipat ganda! Paham?"


Ternyata ayahku pintar juga. Walau tidak bersekolah tinggi, ayahku hebat! Aku terheran-heran mendengar penuturannya.


"Iya, Nak! Nah, kamu pun demikian. Jika kamu diolok, diejek, dicela orang, anggaplah itu sebagai proses. Jika biji jagung tidak protes saat diproses, kamu ya ... jangan protes. Nikmati saja. Yang penting kamunya yang harus bertumbuh dan berkembang!" nasihat ayah panjang lebar sambil melanjutkan menyemai butiran biji jagung hingga habis.


"Lagian, kalau mau sukses, seseorang harus rela menderita dulu. Sama seperti 'Tetuko' yang dimasukkan kawah 'Condrodimuko'. Setelah keluar ia menjadi 'Gatutkaca' yang punya otot kawat balung wesi!"


"Apa artinya, Yah?" tanyaku sambil mengikuti di belakangnya.


"Artinya, harus kuat digodok di kawah. Nggak boleh  melawan, nikmati saja. Senyumi saja kalau kawan-kawanmu mengolok dan menghina karena kondisimu! Kita ini 'kan orang miskin. Pantas kita diolok-olok. Karena itu, kamu harus pintar sehingga tidak miskin seperti orang tuamu ini, Nak!" kata Ayah menoleh dan menekankan kata-katanya itu.


"Jangan bodoh. Jangan mau miskin. Kamu harus berusaha agar pintar dan tidak miskin!" pungkasnya. Dikatakan itu sambil menatapku seolah memintaku berjanji untuk melakukannya. Aku sungguh terhenyak mendengarnya.


Sejak itu aku semakin tegar, tidak lagi cengeng. Setiap olokan, hinaan, dan cacian kuanggap angin lalu yang berfungsi sebagai pupuk. Semua memicu dan memacu semangat belajarku. Kukatakan kepada diriku sendiri sambil becermin, "Kamu harus lebih baik daripada mereka!" Aku tersenyum pada bayang-bayang diriku di cermin itu.


Keesokan harinya, sepulang sekolah sekitar jam empat sampai jam lima sore aku datang ke rumah Bu Suyanti. Beliau senang sekali aku mau mengikuti anjurannya. Aku diajarinya mata pelajaran yang belum kupahami. Rencananya, setiap hari satu pelajaran selama satu jam. Setelah itu, aku dimintanya membantu menyapu halaman beliau. Kebetulan Bu Suyanti hidup sendirian sehingga jasaku sangat dibutuhkan untuk sekadar membantu ini itu.


Tiga bulan berlalu dengan cepatnya. Hari itu aku diminta ibu untuk membantu memasak di rumah Bu Lurah. Ini kesempatan baik untuk meminta buku lungsuran. Mas Ibrahim yang dipanggil Baim itu setingkat di atasku. Maka, aku memberanikan diri meminta kepada Bu Lurah.


"Bu Lurah, bolehkah Yati meminta buku lungsuran Mas Baim? Yati mau pintar, tetapi nggak punya buku, Bu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun