"Kamu disuruh bantu Ayah kok malah melamun? Ada apa?"
Sambil berlelehan air mata, aku pun menceritakan keadaanku di sekolah kepada ayah.
Selesai membantu menugal, ayah bertanya kepadaku sambil memasukkan dua biji jagung ke setiap lubang yang sudah ditugalnya.
"Kamu tahu? Kenapa biji jagung ini harus ditutup dengan tanah?" aku menggeleng perlahan.
"Nah, perhatikan baik-baik supaya kamu pintar. Jangan banyak melamun, ya!" aku pun mengangguk perlahan.
"Biji jagung ini ditutup atau ditimbun dengan tanah agar tidak dipatuk burung atau ayam! Kalau kamu biji jagung ini, ditutup atau ditimbuni tanah seperti itu, kira-kira berat nggak?" tanya ayah.
"Ya, berat!" jawabku.
"Pintar! Setelah ditimbuni tanah, harus kita siram dan kita pupuk. Nah, kalau kamu biji jagung itu, kira-kira sakit nggak diperlakukan seperti itu?"
"Sakit, nggak?!" ulang Ayah agak menggertak karena aku tidak menjawabnya.
"Sakit, Yah ...!" teriakku sambil memandang ingin tahu mengapa diperlakukan demikian.
"Yati ... biji jagung ini akan tumbuh, bertunas, dan berkembang justru jika ditutup atau ditimbun dengan tanah dan diperlakukan seperti itu. Kalau tidak ditutup, ada kemungkinan dipatuk ayam atau burung. Kalau tidak dipatuk hewan, sampai kapan pun ia tidak akan pernah tumbuh, bertunas, dan berkembang. Apalagi  menghasilkan buah berlipat ganda!"
"Oh, begitu? Jadi ... Â memang harus ditimbuni tanah, ya?" netraku berbinar mendengar penjelasan ayah.