Vivi tertawa, "Ahh, ... enggak. Simpan saja buat besok pagi, bagaimana?"
"Boleh. Kapan pun kamu minta, pasti akan Papa berikan. Bukankah hanya milikmu seorang, Cantik?"
"He he he ... iya sih. Ehh, ngomong-ngomong, sejak kita melakukan yang pertama kali dulu, maaf ... apakah Papa melakukannya dengan Mama juga? Ehh, ... maaf!" kata Vivi sambil menggelendot manja.
Prasojo menggeleng pelan. "Entahlah, sejak bersamamu dulu Papa sudah tidak berselera dengan siapa pun. Apalagi kegiatan mamamu seperti itu. Papa juga lupa tidak memberikan nafkah batin kepadanya. 'Kan sudah ada kamu? 'Kan sejak saat itu kita selalu melakukannya tanpa jeda? Jadi, Papa merasa kebutuhan sudah tercukupi. Tidak tega juga melihat mamamu yang kelelahan saat itu!" kata Prasojo sambil menerawang.
"Kenapa kok tiba-tiba kautanyakan itu? Cemburu, apa gimana?" selorohnya.
"Hehe .... Iya. Vivi akui, cemburu banget. Takut Papa meninggalkan Vivi karena tidak mungkin Vivi bisa dengan orang lain kan? Vivi sudah berubah status. Kalaupun menikah, harus dengan Papa. Tidak boleh tidak!"
"Hmm, ... gitu, ya?"
"Emangnya ... apa yang ada di pikiran Papa saat itu? Apakah Vivi hanya akan dimanfaatkan sebagai pabrik pencetak anak karena kalian belum dikaruniai anak?"
"Nggak pernah terpikir seperti itu, Sayang! Yang Papa lakukan spontan dan murni atas nama cinta, kok! Nggak sampai sejauh itu. Nggak pernah terlintas juga kalau Vivi bakal hamil!"
"Hmmm ... Vivi juga. Rasanya saat itu happy banget. Dan itu sudah sangat cukup!"
"Nah, betul. Makanya, cukup kaget juga saat mendengar Vivi hamil. Sekaligus bangga dan bahagia! Tanpa melihat bagaimana perasaan mamamu!"