Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 173 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagai Cangkang Kerang (part 2)

23 Mei 2024   13:39 Diperbarui: 23 Mei 2024   15:54 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagai Cangkang Kerang (Part 2)

"Borobudur ... Borobudur!" teriak kenek.


"Mbak turun Waing?" teriaknya padaku.


"Iya," jawabku lirih.


"Hati-hati, ya Mbak," pesan si ibu di depanku.


Badanku terasa oleng alias melayang.
Aku merogoh uang ongkos angkot di saku, tetapi kucari-cari baik di saku kemeja maupun di saku rok tidak juga kutemukan. Lumayan panik sehingga terdengar suara.  


"Sudah turun saja, ongkosnya kubayarkan! Hati-hati!"  pesan si Bapak.


"Terima kasih, Pak," jawabku menggangguk santun sambil turun.


Mungkin wajahku merona bagai lobster rebus. Malunya ....  


Begitu turun dari angkot, Arnold ketua kelasku kebetulan sedang lewat bersepeda motor dengan perlahan. Tepat di belakang aku turun dari angkot itu.


"Aka? Kau naik angkot?" tanyanya heran sambil mengernyitkan kening dan menelengkan kepalanya.


Aku hanya mengangguk, lalu dia mengajak aku naik sepeda motornya menuju gedung sekolah karena masih sekitar lima ratusan meter lagi. Apalagi kondisiku luar biasa pusing. Aku berpegangan pada pinggangnya karena kepalaku serasa berputar.


"Aku pusing," keluhku.


"Ya sudah, pegangan! Jangan jatuh, ya!" lirihnya.


Turun dari sepeda motor, tak urung aku pun terhuyung-huyung. Tumbang.


"Nah, 'kan ... kamu ke UKS saja. Mari kubantu!" serunya bergegas menopangku.


Akhirnya, aku harus digendong Arnold menuju ruang UKS dan langsung dikerubuti teman-teman yang sudah hadir.


Singkat cerita, aku tidak diizinkan masuk kelas, tetapi diteleponkanlah kedua orang tuaku. Dimintanya orang tua hadir menjemputku di sekolah. Aku memperoleh izin, beristirahat di rumah selama tiga hari. 

Karena khawatir, orang tua membawaku ke klinik swasta untuk memperoleh pemeriksaan dokter. Alhasil, aku memperoleh sejumlah obat dan vitamin untuk kukonsumsi beberapa hari ke depan.

Sebenarnya, bukan rasa senang yang meliputi hatiku tatkala memperoleh izin tidak masuk, melainkan sebaliknya: rasa sedih dan sesal. Sedih karena harusnya aku kuat untuk menjalani perjalanan dengan moda transportasi murahan itu. Diam-diam aku  bertekad untuk berlatih dengan setiap hari berharap bisa naik angkot agar beradaptasi. Menyesal juga karena aku tidak memperoleh asupan pelajaran selama memperoleh izin tidak masuk sekolah. 

"Ah, kenapa harus sakit segala sih?" senandikaku.


Ya, sudahlah, waktu istirahatku akan kugunakan browsing di internet agar waktuku tidak terbuang percuma.


Sore hari beberapa teman menanyakan kabarku dan hanya kepada Arnold kukatakan, "Kak, beritahukan teman-teman, aku baik-baik saja. Hanya masih lemas dan pusing. Mohon maaf sampaikan kepada mereka aku tak bisa membalas pesannya," tulisku.


"Oke, baiklah," balasnya. "Istirahat saja, besok sore catatan dan materi kusampaikan ke rumahmu."


"Nggak usah repot. Minggu saja ke rumah, ya," sambungku.


"Baik. Sepakat."


***

Saat diizinkan beristirahat di rumah karena alasan sakit itu, tetiba aku memperoleh pencerahan. Kutemukan artikel inspiratif  tentang bagaimana seseorang harus menghargai sesamanya. Kisah yang sangat bagus dan sukses menggelitik nurani. Kucoba merangkum kisah dari artikel tersebut seperti berikut.


Siang itu sepasang suami isteri paruh baya dengan mengenakan busana lusuh sedang menunggu untuk bertemu petinggi salah sebuah perguruan tinggi terkenal. Namun, petugas sengaja mengulur waktu dengan mengemukakan kepada atasan bahwa ada rakyat jelata yang hendak menemui beliau. Hal ini dikatakan sebab sang petugas berpikir orang kampung dan udik ini tidak pantas berhubungan dengan mereka. Setelah sekitar empat jam menunggu, sang direktur pun bersedia bertemu dengan mereka.


"Kami ingin membuat monumen untuk putra tunggal kami yang menimba ilmu di sini karena dia meninggal sebelum menikmati wisuda," kata si ibu.


"Wah, kalau semua mahasiswa meninggal dibuat monument di sini, tentu tidak elok," sergah petinggi.


"Maksud kami, kami akan membuat gedung, bukan sekadar tugu monument," jawab sang ayah menimpali kata petinggi itu.


"Wah, satu gedung biayanya akan sangat mahal, Pak, Bu. Maka, kami kasihan kepada Anda jika harus mengeluarkan dana sejumlah blab bla bla," sambut sang petinggi.


Kedua orang tua tersebut berunding, "Kalau begitu, kenapa kita tidak mendirikan sendiri saja sebuah universitas, Pa?" usul si ibu.


"Baiklah, kita pikir sambil jalan, sambil mencari lahan!" kedua orang tua itu pun berpamitan.


Sang petinggi berpikir dua orang ini sedang tidak sehat akal pikirannya, berhalusinasi tidak jelas pula. Ternyata, kedua orang tersebut pada akhirnya mendirikan sebuah universitas yang dalam waktu singkat dapat menyaingi keterkenalan universitas yang menolak mereka.


Siapakah pasangan tersebut? Laki-laki dan perempuan dengan baju lusuh itu bernama Mr. dan Mrs. Leland Stanford. Setelah ditolak pimpinan Harvard, mereka bangkit dan berjalan pergi. Mereka  melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mendirikan sebuah universitas dengan menyandang nama mereka. Sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh Universitas Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.


*** 


Setelah memperoleh informasi yang tidak kusengaja itu, kukernyitkan dahi. Apalagi dituliskan pesan moral bahwa seperti pimpinan Harvard itu, kita acapkali silau oleh baju, dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita menilai orang dari pakaiannya saja karena pakaian acap menipu.

"Though you cannot go back and make a brand new start, my friend. Anyone can start from now and make a brand new end" ~Dr. John C. Maxwell~


***  

Kembali teringat akan perjalananku menggunakan moda transportasi angkot kemarin. Aku merasakan bahwa Tuhan telah mencelikkan mata batinku. Bahwa orang-orang di sekitar yang kuanggap kelas bawah, berbusana sangat sederhana, bahkan mungkin lusuh, tetapi hatinya sungguh mulia.  Mungkin, tidak terpikir olehku untuk membayarkan ongkos angkot penumpang yang ekonominya jauh berada di bawahku. Akan  tetapi,  dua penumpang sederhana tersebut telah membuka hatiku dengan meneladankan untuk selalu peduli terhadap sesama di sekeliling kita. Maka, jangan pernah menganggap remeh mereka yang tampak luar sangat sederhana, padahal jauh di lubuk hati mereka menyimpan berlian terpendam. Sungguh perjalanan berangkot ria perdana yang sarat pesan.


***

Sejak saat itu, aku bertekad untuk hidup sederhana dan berguna bagi sesama. Aku harus mau dan mampu menjalani hidup sederhana, khususnya tidak alergi naik angkutan kota. Aku  pun bertekad belajar lebih giat. Ingin  kuabdikan diri, ilmu, dan ragaku kepada masyarakat awam, bukan hanya kaum elite, melainkan juga masyarakat bawah  sebagai tenaga medis. Aku   bercita-cita akan mengabdikan diri kepada mereka yang kurang beruntung sebagaimana seseorang yang berpenampilan sederhana, tetapi ternyata berhati mulia yang pernah menolongku.


Bukankah di balik cangkang kerang keras, kaku, kotor, dan kasar itu terdapat mutiara indah yang harus dibuka sebelum mendapatkannya? Aku tak boleh lagi menghakimi sesama sebagaimana pesan, "Don't judge a book by its cover."

Ya, memang barangsiapa menghina sesamanya sama dengan menghina penciptanya. Maka, harus selalu berhati-hati, jangan sampai terpeleset walau di dalam hati untuk menghakimi sesama. Sungguh, sering tanpa sadar hati selalu saja hendak menghakimi. Yang busananyalah, model rambutnyalah, atau apa pun yang netra tak bisa menerimanya. Ya, dari mata bisa jadi malapetaka kalau dimasukkan ke dalam hati, kemudian dikomentari meski masih di dalam hati. Nah, harus benar-benar berhati-hati dengan hati, bukan?  
 
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun